Distress

1.2K 79 32
                                    

Aku membuka mataku, menghirup udara kamarku yang sumpek ini.


Selamat Pagi.


Aku menyingkirkan selimut yang baru menutupi tubuhku selama dua jam ini. Ya, aku hanya tidur dua jam. aku berharap aku bisa tidak pergi ke sekolah dengan alasan sakit karena—kau tahu—aku hanya tidur dua jam. tapi Mom tidak mengizinkanku, tentu saja. aku melakukan ini setiap hari dan mengharapkan hal yang sama-untuk tidak pergi ke sekolah-tapi itu tidak pernah terjadi. aku selalu berakhir datang ke sekolah terlambat dan dengan yang paling menyakitkan, menatap orang paling kusayang tersenyum bahagia bersama dia. menghabiskan seluruh waktu luangnya hingga aku rasanya tidak ada lagi. aku tahu ini salahku, tapi aku tak menyangka akan sedalam ini rasa sakitnya. aku menyesal.

Ini sudah 6 bulan sejak kejadian malam itu, kalimat dari bibir manisnya yang membuatku berantakkan seperti ini. mereka mungkin tidak melihatnya, tapi aku lebih dari sekedar terluka.

"Ash, I'm with Luke"

Kalimat itu terulang di telingaku, pikiran tentang bagaimana itu bisa terjadi dan apa yang telah kulakukan berkelebat di otakku. Aku sangat bodoh.

Aku menggelengan kepalaku, berusaha untuk tidak lagi memikirkan hal itu lagi. Percayalah, aku mencobanya setiap waktu. Tapi setiap kali aku melihatnya, itu semua kembali lagi. aku tidak pernah selemah ini sebelumnya. aku selalu bisa move on dari siapapun. tapi entah mengapa yang satu ini sangat sulit dilupakan. bukan hanya sulit dilupakan, tapi pikiranku tentangnya juga yang membuatku tidak lagi menyayangi diriku sendiri. Aku berantakkan, sangat. aku mulai menghisap rokok, menghabiskan banyak botol bir dalam sehari, menggoreskan pisau kecil di atas permukaan pergelangan tanganku hingga aku tidak tahu lagi seberapa banyak darah yang keluar, bahkan sesekali aku menghisap ganja yang kudapat dari Joe—pengedar terkenal di sekolah.

Mereka semua-teman sekolahku-tidak tahu apa yang kulakukan. semua yang mereka tahu adalah aku baik-baik saja. Mom dan Dad? mereka hanya tahu bahwa aku sekarang lebih sering menghabiskan waktu di kamar gelapku.

Aku bangun dari kasurku, mandi dan menyikat gigi, menyisir rambut keriting gondrong-yang sudah lama sekali tidak dipotong-ku, dan mengenakan jaket berwarna hijau tua kesukaanku. oh, dan gelang-gelangan untuk menutupi lukaku.

Aku menatap pantulan diriku di depan cermin setinggi tubuhku, memperhatikan lingkaran hitam di bawah mataku yang semakin buruk dan kakiku yang semakin terlihat kecil. aku mengangkat tanganku, menempatkan ibu jari dan telunjuk di kedua ujung bibirku, lalu menariknya, memaksanya memperlihatkan sebuah senyuman. aku harus tersenyum dan terlihat baik-baik saja. Ya.

Aku menepuk-nepuk pipiku, membangunkan jiwaku yang sepertinya masih tertidur.

"Bangun, Ash, bangun. Another morning, another smile" aku berkomat kamit pada diriku sendiri.

Aku menatap sekali lagi bayangan diriku, dan meninggalkan kamarku saat kurasa aku siap—untuk keluar dan menghadapi kepahitan lainnya ketika aku melihatnya nanti.

Aku menuruni tangga dan menemukan Mom, Dad dan kedua adikku sedang menyantap sarapan mereka.

"hey, selamat pagi, Ashton" sapa Mom hangat.

"hai, Mom" aku tersenyum dan duduk di depannya, mengambil selembar roti panggang yang sudah siap untukku.

"dimana Luke?" tanyaku ketika tidak melihat sepupuku di meja makan. kami masih tinggal bersama, benar.

"ia berangkat lebih pagi" jawab Dad cepat.

oh.

"jaket hijau itu lagi? really?" ceplos Lauren yang-padahal-sedang asik dengan telpon genggamnya.

DistressWhere stories live. Discover now