INVISIBLY - 2

20 2 0
                                    

"Git, menurut lo, gue cocok nggak kalau pakai poni?" Tanyaku pada Gita.

"Hmm, bagus aja kok. Asal jangan poni rata. Kalaupun pengin poni rata, dibikin tipis aja kayak cewek-cewek korea." 

Begitu saran Gita untukku.

Sebenarnya aku ragu untuk memakai poni rata. Takut gagal dan malah jadi kayak dora.

Poni Dora, hal itu mengingatkan aku pada satu masa di mana aku dimirip-miripi Dora The Explorer.

Waktu itu ketika aku kelas 4 SD, rambutku pendek sebahu dan memakai poni. Iya, persis rambut Dora. Ditambah, aku gemuk dan pipiku chubby. Untung pubertasku berhasil. Aku sudah memiliki badan ideal dan tidak se-chubby dulu. 

Seandainya waktu itu tidak melewati TK yang dindingnya bergambar Dora The Explorer, Aku tidak akan dipanggil Dora. Semua ini karena Aldi, teman Rangga yang baru ikut jemputan awal tahun ajaran baru. Karena Aldi, teman-teman semobil ikut memanggilku Dora. Ketika kami melewati TK itu, pasti Aldi selalu heboh, "Eh, ada Rara di sana! Kamu ngapain Ra di sana?"

Tito, teman sekelas Rangga juga, ikut mengata-ngatai aku dengan memanggilku Dora. Rangga juga ikut meramaikan, tapi setidaknya bukan dia yang pertama.

Aku nggak sedih dipanggil Dora. Nggak tahu kenapa, nggak sedih aja gitu. Mungkin karena Aldi ini tipikal orang yang humoris, bahkan kalau berbicara atau menceletuk pun bikin aku ketawa. Nggak cuma aku, tapi satu mobil jemputan.

Mendadak aku kangen teman seperjemputan deh. Sudah hampir 4 tahun aku tidak mendengar kabar mereka, padahal rumah kami berdekatan. Apalagi dengan Rangga, apa kabar ya dia?

Jujur, terakhir aku bertemu Rangga itu kelas 5 SD, itu pun karena aku sering ke rumah dia buat ajak adiknya, Ranggi, bermain sepeda. 

"Ra, Kak Ocang kenapa ganteng banget ya?" tanya Gita kepada aku.

Aku mengerutkan dahi. "Siapa dia?"

"Itu loh, kakak kelas yang suka ngolekin Putra." 

Jujur, aku tidak begitu tahu tentang orang-orang di sekolah ini. Aku tahu Putra, tapi tidak tahu Ocang. Dan memang, setiap hari Jumat, pasti Putra minta seribu atau duaribu dengan alasan disuruh kolekan oleh kakak kelas yang bernama Ocang.

"Ocang tuh penjual susu kacang di kantin?" Tanyaku spontan. Bukan tujuan untuk melawak, tapi beneran aku tidak tahu.

Gita menangkup wajahku, Ia mulai meremas-remas kedua pipiku hingga merah. "Makanya jangan ansos-ansos amat!"

Untuk kalian yang tidak tahu, ansos itu artinya antisosial. Maksud Gita, aku nggak suka bersosialisasi sampai nggak tahu siapa itu Ocang.

Siapa bilang aku nggak suka bersosialisasi? Buktinya aku sekarang bisa berteman dengan Gita, dan teman sekelasku tentunya. Mungkin Ocangnya aja kali yang kurang terkenal sampai aku nggak tahu.

Kalian pasti bingung ya apa artinya ngolek/kolekan? Ok, biar aku jelaskan. Kolekan itu istilah halusnya memalak diranah persekolahan. Jadi, kakak kelas 3 SMA biasanya akan meminta kolekan kepada adik kelas 1 SMA. Kolekan itu berupa uang dan ada waktu pengumpulannya. Yang aku dengar sih, biasanya anak laki-laki tongkrongan kelas satu disuruh mengumpulkan uang sebanyak satu juta dalam satu minggu. Katanya, itu untuk melihat seberapa kompak angkatan aku, apakah ketika teman seangkatannya ada yang susah akan dibantu atau tidak. Aku juga nggak tahu uang itu untuk apa. Palingan juga untuk hura-hura. Entahlah, aku tidak peduli.

Jujur, aku bingung kepada mereka yang masih mau menongkrong dan dikolekin kakak kelas. Apakah ini salah satu tolok ukur mereka bisa dikatakan populer atau tidak? Karena yang aku lihat, mereka yang populer yang dikolekin kakak kelas.

Itu kalau di sekolahku. Aku tidak tahu bagaimana di sekolah kalian karena setiap sekolah punya tradisi masing-masing.

Ini bukan hari pertama atau minggu pertama atau bulan pertama aku bersekolah di SMA Pelita, tapi sudah hampir tiga bulan, dan aku masih tidak tahu wajah Ocang seperti apa. Di saat semua perempuan di kelasku mengagumi ketampanan dan karisma seorang Ocang, aku tidak tahu dia yang mana.

Setiap hari aku pulang menggunakan bus sekolah gratis. Aku bersyukur pemerintah mengeluarkan bus itu. Walaupun unitnya tidak banyak dan pemberhentian terakhirnya tidak sampai di depan jalan komplekku, lumayan bisa mengirit uang jajan. 

Pemberhentian terakhir bus sekolah yang aku naiki itu di SPBU batas. Dari sana, aku tinggal jalan sedikit ke arah Giant lalu naik ojek yang memangkal di depan sana.

Anyway, sudah tiga hari aku satu bus dengan laki-laki berseragam yang sama dengan ku, putih abu-abu. Aku tidak yakin dia dari sekolah yang sama denganku sih, tapi.. Mukanya begitu familiar. Apa dia memang teman sekolahku ya? Eh, tapikan ini bus sekolah...... Sudah jelas dong pasti isinya anak sekolahan.

Wajahnya oval, alisnya lurus dan cukup tebal, matanya agak sipit, kulitnya putih dan bersih, dan ada kumis tipis. Orangnya cukup tinggi dan rambutnya agak botak. Mukanya agak jutek menurutku. Seandainya aku punya keberanian, pasti sudah aku tanya dia bersekolah di mana.

Jujur, aku iri dengan laki-laki itu, mukanya bersih dan mulus kayak pantat bayi. Aku merasa gagal jadi perempuan karena banyak jerawat tumbuh di bagian dagu, apalagi ketika masa-masa pra-menstruasi. Mukaku macam panen jerawat.

INVISIBLY [ SHORT STORY ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang