INVISIBLY - 3 (END)

17 2 2
                                    

Aku menaiki bus sekolah dari persimpangan Jalan Pelita. Tidak ada bangku kosong lagi, aku terpaksa berdiri bersama dua laki-laki. Aku bingung sih, ada beberapa laki-laki yang mendapat tempat duduk, tapi tidak seorangpun mengalah untukku. 

Nggak lama, mataku bertemu dengan seorang laki-laki yang tidak asing lagi di mataku. Iya, dia laki-laki yang  belakangan ini bikin penasaran. Dia memakai batik dan celana abu-abu. Tidak ada yang khas dari batik yang Ia pakai. Itu artinya.. Ya, dia satu sekolah denganku. Yang aku tahu, sekolah yang memakai batik bebas dan dilewati bus sekolah ini hanya sekolahku saja. Sudah pasti, dia anak Pelita.

Dia tersenyum, kemudian berdiri. Matanya seolah memberi tanda kepadaku untuk duduk di tempat itu. Tapi aku tidak mau GR, jadi aku diamkan saja.

"Maaf, Mas, bangku ini untuk cewek itu yang berdiri." 

Aku segera menoleh ke sumber suara. Ternyata tempat duduk itu sudah di tempati anak sekolah lain, dan anak Pelita seperti tidak terima. Aku melihat sekelilingku, dan memang hanya aku perempuan yang berdiri. Sudah pasti, itu tempat duduk memang untuk aku.

"Tapi si mbak nggak mau duduk. Daripada mubazir, saya yang duduk saja." Balas anak laki-laki sekolah lain itu.

"Nggak bisa, Mas. Saya mau kasih tempat duduknya untuk dia." Balas dia tidak mau kalah. 

"Mbak," Panggi anak laki-laki sekolah lain itu. Aku hanya diam karena canggung. Sekarang aku dan kedua laki-laki itu menjadi pusat perhatian di dalam bus. "Mbaknya nggak mau duduk kan? Saya yang duduk saja ya."

Belum aku membalas, dia main menyimpulkan sendiri. Ya sudah, aku buang muka saja, seolah tidak terjadi apa-apa di sini.

Tiba-tiba suara keributan terdengar dari mereka berdua. Si anak sekolah lain berteriak, "Maksud lo apa?"

Si anak sekolah lain tiba-tiba menonjok wajah anak pelita, dan anak pelita membalasnya tidak mau kalah. Sungguh.. Aku nggak bisa melihat adegan tonjok menonjok. Aku lihat perubahan emosi dari anak Pelita, seolah tidak suka dengan sikap anak sekolah lain itu yang semena-mena, yang tiba-tiba merebut kursi dan menonjok wajahnya.

Bus langsung berhenti mendadak. Aku reflek memegang tiang dekatku. Kedua laki-laki itu yang tadinya berantem langsung jatuh.

"Kalian kalau mau ribut mending keluar dari bus ini." Ucap sopir bus sekolah. "Ayo buruan, tunggu apa lagi? Atau mau saya bawa ke polsek terdekat biar diselesaikan di sana?"

Suasana bus mendadak tegang. Anak Pelita itu memilih untuk turun sedangkan anak sekolah lain memilih untuk tinggal.

Tentu, aku memilih untuk ikut dengan anak Pelita itu. Mata semua orang di bus itu sudah menatapku sinis, aku tidak suka.

"Kenapa ikut turun?" Tanya laki-laki itu.

"Nggak suka suasananya."

"Maaf ya udah bikin nggak nyaman dan nggak jadi pulang." Ucapnya. 

Nggak lama, anak itu memberhentikan taksi. Aku pikir itu untuk dia, ternyata tidak. Dia menyuruhku masuk. Aku menurut saja, kapan lagi pulang diantar laki-laki cakep berwajah galak.

"Antar ke rumahnya, ya, Pak. Ini ongkosnya, kalau argonya lebih dari ongkosnya, telepon saya saja." Ucap laki-laki itu. 

Herannya, sopir taksi mengikuti perintah dia. Dan, bagaimana cara sopir taksi itu menelepon kalau orang itu tidak memberi nomornya? Dasar aneh. Tapi aku yakin, uang yang Ia beri itu lebih dari cukup sih.

Esokan harinya, anak perempuan di kelasku heboh kalau idolanya, Ocang, habis babak belur. Sudut bibirnya agak biru, katanya. 

Aku pergi ke kantin, dan tidak sengaja berpapasan dengan laki-laki itu. Aku senyum, tapi dia tidak membalas senyumku. 

"Cie, akhirnya naksir juga lo sama Ocang." 

Aku sampai lupa kalau aku lagi bersama Gita. Jadi.. Dia yang namanya Ocang? Jujur, memang sih dia berkarisma banget. Apalagi setelah kejadian kemarin. Mungkin kalau Gita tahu, dia akan menggerutu kali ya.

"Nanti pulang nonton futsal yuk. Kelas 3 lawan kelas 2. Ada Kak Ocang juga." Ajak Gita. Aku menyetujui hal itu, berhubung hari ini hari Jumat dan besoknya libur.

Pertandingan itu mulai sekitar pukul 2 siang, setelah mereka solat Jumat. Aku dan Gita mengambil tempat paling atas. 

"Gilaaa, Ocang ganteng banget." Puji Gita.

Akupun bertanya, "Mana Ocang? Kok nggak ada yang nama punggungnya Ocang?"

"Itu, yang nomor 9, namanya Mahesa."

"Mahesa?"

"Iya, nama aslinya Mahesa. Rangga Mahesa." Jelas Gita.

Shit. Aku teringat Rangga Mahesaku. Apakah dia Rangga Mahesaku? Atau namanya saja yang mirip? Tapi dia pulang ke arah yang sama denganku. Tapi.. Rangga Mahesa bukan seharusnya kelas 2 SMA ya?

"Username instagramnya apa, Git?" Tanyaku. 

"Yee, akhirnya terpesona juga kan lo sama dia!" Ucap Gita. Dia bukannya langsung memberi tahu, malah mengambil ponsel dan membuka instagram. "Nih, buka pakai punya gue aja. Dia diprotect, jadi percuma kalau lo  buka dari hp lo."

Aku mengambil ponsel milik Gita. Aku mulai scroll feed instagram Rangga Mahesa.

Pada foto tiga terakhir, aku melihat foto masa kecilnya. Shit... Dia Rangga Mahesa, si mata sipit, rambut ikal, dan berkulit sawo matang. 

"Kenapa, Ra?" Suara Gita menyadarkanku. "Lo langsung naksir berat ya?"

"Git, waktu itu gue cerita kalau gue pernah dimiripin dengan Dora kan waktu SD? Dia orangnya."

"HAH? SUMPAH LO?" Teriak Gita. Aku tidak panik, karena suasana lapangan sedang ramai. "Kok bisa?"

"Gue nggak tahu. Gila.. Gue nggak nyangka." Ucapku pada Gita. 

Aku memutuskan untuk menceritakan semua tentang aku dan Rangga. Gita sangat tidak percaya dengan ceritaku. Ia minta aku membuktikan semua itu. "Kalau memang benar itu Rangga lo, coba nanti setelah pertandingan lo harus samper dia. Jujur, gue nggak percaya."

"Sumpah, Git. Gue kangen banget sama dia. Waktu gua kelas 5 SD, hidup gue merasa ada yang kurang aja karena jarang ketemu dia. Bahkan gue hampir bernekat untuk kirim surat pas tanggal 14 Februari 2009, tapi nggak jadi."

Sumpah, kok aku bisa sebodoh itu nggak bisa mengenali seorang Rangga Mahesa ya? Jujur, fisiknya berubah parah. Kulitnya yang sawo matang sekarang jadi putih. Tapi matanya itu. Pantas aku merasa tidak asing dengan dia.

Pertandingan telah usai sejak satu jam yang lalu, dan aku masih mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Rangga yang merebahkan tubuhnya di lantai.

"Kak Rangga.." Ucapku. Rangga menoleh! Ia mengerutkan dahi, kemudian alis kanannya terangkat. "Nama ibu Kak Rangga itu Rini bukan?"

"Iya." Jawabnya singkat.

"Kak Rangga masih inget aku?" Tanya aku berhati-hati. Dahinya makin mengerut.

"Sorry?"

"Aku yang kemarin Kak Rangga cariin taksi. Aku yang pernah satu SD dengan Kak Rangga. Aku yang pernah satu jemputan dengan Kak Rangga. Aku yang satu komplek dengan Kak Rangga."

Temannya yang duduk nggak jauh dari Rangga ikut heran denganku, seolah aku penggemar fanatik Rangga yang mengaku-aku agar bisa dekat dengan laki-laki itu.

"Maaf.. Kayaknya lo salah orang. Gue nggak kenal lo. Bahkan nggak pernah melihat lo sebelumya."

What the.. Sumpah, dia tidak ingat aku? Bahkan kejadian kemarin juga Ia tidak ingat?

Aku pikir, selama ini dia juga merindukanku. Nyatanya seperti ini. Aku rasa terlintas namaku di pikirannya juga tidak.

Aku menahan rasa malu dan sedih sekaligus. "Oke, kak. Terima kasih, maaf mengganggu."

Sudah cukup banyak memori tentang dia, mungkin ini waktunya untuk menghapus semuanya. Untuk apa aku menyimpan kenangan bersama orang lain ketika orang itu tidak melakukan hal yang sama. Bahkan ternyata orang itu tidak pernah menganggap aku ada di hidupnya.

INVISIBLY [ SHORT STORY ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang