Begini kah rasanya merasakan kesepian dan kesunyian harus hidup dalam ketidak adilan? Kesalahan? Aku benar-benar telah salah mengambil keputusan. Ayah benar, tak semua hidup sama seperti orang lain. Tak selamanya masalah bisa diselesaikan begitu saja. Tak selamanya mudah untuk kita berbicara "aku kuat" atau "aku sudah menebak apa yang akan terjadi" atau "aku pasti bisa menghadapinya". Ini lah yang aku rasakan saat memutuskan untuk tidak tinggal bersama dengan ayah dan kakak lelakiku. Aku kira pergi meninggalkan mereka setelah ibu meninggal adalah keputusan yang baik. Ternyata aku salah. Aku salah perkiraan. Aku salah membayangkan. Hidupku semakin berat saat tak bersama mereka. Keinginanku yang kuat akan melanjutkan pendidikan yang dibayari oleh saudara dari almarhummah ibu mengharuskan aku pisah dengan mereka. Aku salah. Bayanganku salah akan indahnya kota yang aku tuju. Lebih tepatnya keputusanku yang menentang firasat ayah.
Aku tersesat. Tak bisa kembali sesuka keinginanku. Aku terjebak dengan orang-orang yang melarangku ini itu. Aku tidak terbiasa dengan itu. Dan harus terbiasa dengan itu. Aku bukan diriku yang sebenarnya. Aku palsu. Ini bukan diriku. Bukan duniaku. Semakin berat dan aku sudah merasa tak mampu.
Tetesan air hujan mengikuti irama kesedihanku, perlahan langkah kaki ku ayunkan. Terus maju melangkah walaupun terasa berat. Tetapi tujuanku kali ini ke arah masjid untuk melaksanakan sholat tawarih, sholat di malam hari yang biasa dilakukan saat kita berpuasa. Walau berat , ku paksakan untuk tetap sholat tawarih dan membayangkan betapa telah lelah aku sudah berdiri disini dengan tidak menjadi diriku sendiri.
Langkah kaki ku akhirnya berhenti di depan tangga masjid. Bergegas ku lepaskan sendal yang memikat di kedua kaki lemah ini. Ku kuatkan untuk menaiki tangga demi tangga yang dipenuhi sisa percikan air hujan di malam ini. Berhenti. Sudah berhenti aku tepat diatas keset berwarna merah itu. Masih terlihat sepi. Hanya dipenuhi dengan beberapa nenek-nenek yang sedang duduk diatas kursi plastik hijau. Nenekku juga sudah berada disana. Iya aku sekarang tinggal dengan nenekku dirumah yang cukup besar tapi begitu hampa ku rasa.
"Maaf nak, bisa ke bagian atas saja. Disini untuk nenek-nenek dan ibu-ibu. Remaja silahkan ke atas. Naik tangga sebelah sini" ujar seorang ibu yang tengah memakai rukuh tepat di sebelahku berdiri.
"Oh baik. Permisi" ujarku kembali padanya dan perlahan menaiki tangga demi tangga yang di dominasi warna coklat itu.
Masih terlihat sepi bahkan lampu masih gelap dan karpet masih dilipat rapi. Baru saja ku letakkan tas berwarna biru ini dilantai. Tampak seorang bapak-bapak menyalakan semua lampu dan kipas yang menempel kuat didinding dan ditembok. Lipatan beberapa karpet pun segera dibuka satu per satu olehnya.
Aku memutuskan untuk pindah duduk di atas karpet yang telah digelar. Aku percepatkan gerakan tanganku untuk memakai rukuh yang didominasi dengan warna coklat muda dan oren tua dengan dipenuhi bunga-bunga di beberapa sudut. Aku tajamkan pandangan ini ke arah depan dinding jam yang menempel erat di dinding. Jarum jam terus bergerak mengelilingi angka-angka itu.
Bagian atas sudah mulai dipenuhi dengan gadis-gadis kecil, remaja dan ibu-ibu yang masih kuat untuk menaiki tangga di masjid ini. Aku masih tetap fokus memperhatikan jam dinding yang besar dihadapanku itu. Hanya sesekali memperhatikan sekeliling. Tetapi, tatapanku mulai goyah melihat gadis kecil yang mengenakan dress panjang yang dibagian tengahnya tertulis "Hijab is your day". Seketika hati ini terketuk. Keinginanku meninggi. Meninggi saat melihat gadis kecil itu bahagia. Berputar-putar memegang dress panjangnya dengan senyuman yang begitu kuat memaksaku untuk ingin seperti dirinya saat ini. Aku ingin kembali seperti gadis kecil itu.
Tiba-tiba gadis kecil itu menghampiri ke arah ku duduk. Perlahan dia mendekati dengan raut wajah polos dan begitu penasaran kenapa aku terus memperhatikannya. Gadis kecil itu semakin dekat dengan ku. Kepalanya sedikit dimiringkan dan beberapa kali matanya berkedip. Persis didepan raut wajahku yang masih tetap fokus memperhatikan gerak geriknya. Gadis kecil itu merentangkan tangannya ke pipiku.
"kakak kenapa? Tampak begitu sedih."
Dia kembali beberapa kali berkedip. Menatapku begitu penasaran. Terlihat dari mata kecilnya seakan mempunyai banyak pertanyaan untuk diajukan kepadaku malam itu.
"kakak ingin seperti aku?"
"jangan bersedih kalau semua orang tidak suka. Kakak harus tetap bahagia. Harus tampak senang seperti ini"
Gadis kecil itu tersenyum seakan memberi isyarat bahwa aku juga harus tersenyum. Aku begitu terkejut dengan perkataan singkatnya itu. Dia masih kecil bagaimana bisa berbicara seperti itu. Umurnya terlihat masih sekitar 5 tahunan. Begitu mudah dia mengatakannya. Apa yang bisa membuatnya berbicara seperti itu?
"Kamu ngapain disini? Buka ini apa lagi. Ayo pulang"
Tanpa aku mengetahui kapan ibu itu datang. Dia langsung menghampiri gadis kecil yang baru saja meninggalkan ku dengan senyumannya. Ibu itu terlihat kasar membuka jilbab yang dipakai gadis kecil itu. Ibu itu menyeretnya ke bawah. Gadis itu hanya diam dan tersenyum ke arahku.
"Aneh sekali. Kenapa masih saja ada ibu yang kejam menyuruh anaknya membuka jilbab dan melarangnya dimasjid?" sambung ibu-ibu disebelahku duduk yang tengah membicarakan apa yang aku pertanyakan di dalam hati.
Aku begitu terketuk. Aku mengetahuinya sekarang. Gadis kecil bukan sebutan yang cocok jika kita mengetahui tentang pembicaraannya. Gadis kecil untuk sebutan karena umurnya masih sangat jauh di bawahku tetapi karena pembicaraannya terhadapku, dia gadis dewasa yang begitu kuat. Aku terdiam dan berfikir , tak semua gadis kecil begitu bahagia tetapi dia berusaha untuk membahagiakan dirinya sendiri dan bertingkah sesuai dengan umurnya. Berusaha bahagia karena gadis kecil mempunyai pandangan di beberapa orang bahwa disaat itulah kamu benar-benar bahagia. Tentu tidak. Pandanganku salah. Gadis kecil itu tak seberuntung diriku saat kecil. Bahagia tercipta bukan karena kita ingin kembali menjadi gadis kecil. Tak perlu. Aku bisa berusaha membuat diriku bahagia walaupun telah salah mengambil langkah karena gadis kecil itu telah memberi pandangan dengan perkataan singkatnya terhadapku. Bahwa tak semua gadis kecil mempunyai nasib kebahagiaan yang sama.