Part 1: Monoton

56 5 0
                                    

Pip...pip...pip...pip...
Alarm berbunyi, tanda liburan berakhir dan hari membosankan dimulai. Ovra beranjak dari tempat tidurnya dan melempar kaki dengan malas seakan tidak punya tujuan hidup. Tetapi memang, kenyataanya begitu.

Ia menatap cermin sebelum membasuh wajahnya. Pupil mata mengerikan itu diharapkannya menghilang. Orang bilang, ia penderita heterochromia. Namun, warna mata kepunyaannya tidak umum, tidak indah, justru terlihat mengerikan menurutnya. Putih dan biru.

Selesai mandi, Ovra memasang lensa kontaknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selesai mandi, Ovra memasang lensa kontaknya. Teman-teman sekelasnya bahkan tidak tahu bahwa selama ini dia memiliki pupil yang seram. Kecuali sahabatnya, Aaron yang selalu menjemputnya tiga puluh menit sebelum bel tanda masuk sekolah berdentang. Rumah mereka berdekatan, hanya selisih 4 blok jika dihitung.

Bel sepeda Aaron terdengar seperti biasa. Ia selalu membunyikannya dua kali. Tidak kurang, tidak lebih. Lelaki itu menyambutnya dengan lesung pipit dalam yang membuat wajah tampannya makin menawan.

"Nenek, aku berangkat dulu!" Pamit Ovra kepada neneknya seraya duduk di boncengan sepeda Aaron.
"Hati-hati dijalan!" Pesan nenek seperti biasa.

Apartemen sederhana berbaris rapi di kanan dan kiri jalan, mengapit sungai kecil tempat gondola-gondola mengapung. Jalan tersebut dilalui Aaron dan Ovra sampai menembus jalan besar. Inilah Venesia, kota yang mereka huni.

"Masih belum terima kenyataan?" Tanya Aaron tiba-tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masih belum terima kenyataan?" Tanya Aaron tiba-tiba.
"Maksudmu?" Ovra balik bertanya.
"Tentu saja matamu, Ovra. Kenapa kamu tidak pernah melepas lensa kontakmu? Aku suka mata aslimu, itu indah. Kau tidak perlu menutupi semua keunikan yang ada dalam dirimu, Ovra."
"Dasar perayu. Aku tidak akan pernah menunjukan mata mengerikan ini kepada semua orang, kamu tahu itu kan?" Sahut Ovra.
"Ayolah, kamu masih berpikir bahwa orang tua-mu membuangmu karena matamu yang unik? Itu kekanak-kanakkan!" Kata Aaron seolah ia dapat membaca pikiran gadis dibelakangnya itu.

Ovra hanya terdiam. Perlahan, ingatannya berputar ke kejadian beberapa tahun silam. Saat ia bahkan belum duduk di bangku sekolah dasar.

"Hei, kamu sudah lihat anak adopsi nyonya Parker? Kalau tidak salah namanya O..Ovra? Dia mengerikan!"
"Ya, kau benar. Terutama matanya yang berbeda dari anak-anak lain."
"Aku yakin, dia cacat sehingga orang tua aslinya meninggalkan anak itu di pintu nyonya Parker 5 tahun yang lalu."
"Kenapa mereka tidak meninggalkannya di panti asuhan saja ya? Aku heran."
"Belum tentu panti asuhan mau menerima monster kecil itu kan, hahahaha."
"Nyonya Parker sepertinya kehilangan pikirannya sampai-sampai mau menerima anak itu."

Mereka melanjutkan obrolan tanpa mengetahui bahwa bahan pembicaraan mereka mendengar itu semua. Hati Ovra rasanya seperti tersayat-sayat. Tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membungkam mulut orang-orang kejam itu. Menangis hanyalah pilihannya saat ini.
"Hei, kenapa kamu menangis?" Tiba-tiba, seorang anak laki-laki yang tidak ia kenal datang menghampiri.
Belum sempat Ovra menjawab, anak itu membuka sebungkus permen dan menempelkannya ke bibir ovra.
"Ini, untukmu. Jangan menangis lagi ya." Anak itu tersenyum hangat. Ovra menerima sebatang permen itu dan memasukan permen berwarna merah itu kedalam mulutnya. Air matanya berhenti mengalir.
"Te...terima...terimakasih." ucapnya pelan.
"Namaku Aaron, salam kenal. Mulai sekarang sampai masa depan, kita berteman!"

Ovra terbangun dari lamunannya ketika sepeda Aaron terparkir di depan sekolah.
"Hei Ovra, ada apa? Kamu marah?" Lelaki itu bertanya.
"Ah, tidak. Aku hanya melamun." Sahut ovra.
"Dari dulu sampai sekarang, kamu tidak pernah berubah, Aaron." Ovra tersenyum tipis.
"Wah, wah, wah. Lihat siapa ini, pangeran dan putri kelas kita! Mesra sekali mereka!" Tiba-tiba, suara yang tidak lain adalah milik Merry, menyambut mereka."Sempat-sempatnya kalian bermesraan padahal 5 menit lagi bel berbunyi. Hmmm...dunia seperti milik berdua ya?"
Merry dan teman-teman cheerleaders-nya memang tidak pernah bosan membully Ovra. Omong kosong mereka senantiasa menghiasi hari-hari ovra di sekolah.
"Lucu sekali Merry. Sebaiknya mulai sekarang ada pelajaran untuk tidak mengurusi urusan orang lain di sekolah ini. Pastinya pelajaran itu akan banyak membantumu." Ovra menepuk pundak Merry dan melewatinya begitu saja. Ia sudah terlalu kebal.
Merry hanya tertawa kesal. Ia merasa dipermalukan di depan teman-teman cheerleaders-nya yang selalu mengikuti kemanapun ia pergi.
Kelas 11A sudah ramai diisi oleh anak-anaknya. Padahal bel masuk belum berbunyi. Inilah bukti kedisiplinan murid SMA Alacriance
Ovra memilih untuk duduk di kursi sebelah Kate, sementara Aaron di sebelah Austin.
Kate adalah anak yang cuek, tetapi tetap bersahabat.
"Hai Kate, bagaimana liburanmu?"
"Membosankan. Tetapi lihat, aku sudah bisa menyelesaikan rubik dengan catatan waktu 30 detik! Keren bukan? Inilah yang kupelajari selama liburan kemarin."
"Keren. Kamu pasti bisa meningkatkannya menjadi 20 detik besok." Ovra yang sebenarnya tidak tertarik, berusaha ramah kepada teman sebangkunya itu.
"Ya, aku tahu aku pasti bisa!" Kate yakin.

Ovra terdiam, seperti biasa. Ia hanya mengamati suasana kelas yang sudah dua minggu tidak ia jumpai.
Di sudut kelas terdapat Abigail dan Irene yang sedang mengobrol dengan asyiknya.
Sementara itu ditengah kelas terdapat Chris, Axton, Scott, dan Frank yang juga asyik mengobrol. Axton juga terlihat berusaha menghabiskan sandwich-nya sebelum guru mendaratkan langkah di kelas.
Sementara itu, anak-anak cheerleaders sedang bergosip sambil membenarkan make up yang sengaja mereka pakai agar terlihat lebih cantik untuk dipandang. Ace dan Melvin yang merupakan anak basket pun ikut bergabung.

Mereka hanyalah sebagian besar dari anak 11A.
KRIIIIIIIING..........

Bel telah berbunyi, namun ketukan hak tinggi Ms.Frances yang khas tidak kunjung terdengar....

GREK!
Pintu kelas terbuka dengan perlahan. Seseorang yang tak asing untuk kelas 11 A masuk ke dalam kelas itu.
"Pagi anak-anak," kata pria umur 20-an itu menatap seluruh anak yang berada di kelas itu.
"Morning, morning, morning Mr. Anthony. Sejak kapan kelas kita menjadi kelas bahasa inggris?" Merry terkikik sambil berkaca, seolah tidak peduli. Axton ingin memuntahkan kembali sarapannya saat melihat perilaku temannya itu. Sementara Ovra tidak memberikan reaksi apapun.
Kelas hening beberapa saat...
"Ehem!" Mr. Anthony dengan sengaja terbatuk untuk mencairkan suasana.
"Permisi, mister, mengapa hari ini Ms.Frances tidak mengajar? Dia sakit?" Tanya Meredith penasaran.
"Aku awalnya juga tidak percaya ketika mendengar kabar mengejutkan ini," Mr. Anthony menghela napas.

"Ms.Frances telah tiada."

Seketika, seisi kelas terkejut, terlalu terkejut sampai hanya bisa diam mematung. Ovra juga sama seperti teman-temannya. Suasana kelas 11A seperti tersambar petir di siang bolong. Mereka masih tidak percaya akan beberapa patah kata yang diucapkan guru magang itu.

Ada apa ini? Ms. Frances, meninggal?

TBC

*Halo! double kill disini
  ㄟ( ̄▽ ̄ㄟ). Di lain part kita akan update gambar-gambar tokohnya. Tunggu ya... semoga suka sama ceritanya*

HALF DEAD; The World Between Dead Or AliveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang