[11] Kisah Lalu

564 67 12
                                    

"Jadi, hanya seperti itu saja kisah ayah dan ibu?" tanya seorang remaja lelaki dengan wajah yang mirip dengan ayahnya, tetapi memiliki warna mata yang sama seperti ibunya.

"Ya, begitulah," jawab Petra sambil tersenyum malu. Mulanya Petra tak ingin menceritakan 'kisah cinta'nya pada Levine tapi bagaimana lagi, putranya memiliki sifat pendikte yang sama seperti ayahnya.

"Wow, apa ibu tahu? itu adalah kisah cinta yang unik! kurasa aku akan membuat cerita untuk kisah kalian berdua!" ujar remaja lelaki yang duduk di sebelah Petra dengan nada cerianya.

"Yaampun, Levine, Lavine! apa kalian tidak bisa berhenti menggoda ibu?" tanya Petra sambil menutup wajahnya yang memerah karena malu. Levine dan Lavine tertawa bersama, kedua lelaki kembar itu memang suka menjahili dan meledek ibunya. Bahkan sejak mereka lahir.

"Ada apa ini?" suara bariton yang terdengar tak suka itu mendekati ruang makan, tempat dimana mereka sedang berbincang.

"Tidak, tidak ada apa-apa, kok," ucap Levine sambil membetulkan posisi duduknya. Sementara Lavine masih dengan posisi kepala yang disangga dengan tangan-di atas meja-sambil tersenyum lebar kearah sang ayah.

"Hentikan itu, Lavine."

"Hentikan apanya?"

"Menyengir seperti itu. Gigimu bisa kering nanti," ucap Levi sambil menyeruput tehnya dengan cara yang 'unik'. Levine dan Petra tertawa, sementara Lavine langsung menutup mulutnya.

"Omong-omong, apa yang sedang kalian bicarakan?"

Levine berdehem. "Sebenarnya ayah, kami cuma bertanya kepada ibu bagaimana kisah cinta kalian dulu,"

"Iya itu benar! tapi ibu tidak menceritakan kisahnya secara keseluruhan, bagaimana bisa saat di pernikahan paman Eren dan bibi Mikasa paman Jean dan ibu seperti sedang berpacaran tapi kemudian malah menikah dengan ayah? bagaimana itu bisa terjadi ayah?" si periang sekaligus hiperaktif Lavine menyambung ucapan kakaknya.

"Ibu kalian tidak menceritakan secara keseluruhan?" kedua lelaki kembar itu mengangguk.

"Kalau begitu baguslah," lanjut Levi sambil mulai menyeruput tehnya lagi.

"Argh! ayah! kukira kau akan menceritakan seluruh isi ceritanya pada kami," Lavine merentangkan kedua tangannya di meja makan, dan langsung dihadiahi tamparan di punggung tangannya oleh Levi.

Lavine mengelus tangannya yang dipukul Levi kemudian berujar dengan manja,"Ayolah, ceritakan kisah kalian pada kami,"

"Tidak, aku tidak mau menceritakannya," ucap Levi dengan enteng. Tangannya yang satu digunakan untuk membuka Koran harian sementara yang satunya lagi menggenggam tangan Petra di atas meja.

"Ayah, bukankah tempat laundry milik ayah itu ada di Kyoto, Jepang?" Levi hanya berdehem menanggapi putranya sementara matanya menyapu deretan kalimat yang ada di Koran.

"Lalu kenapa sekarang kita pindah ke Landon?" Tanya Levine lagi.

"Ah! iya! betul! kenapa kita pindah ke Landon? kita bahkan tak pernah mengunjungi Jepang sedari lahir." Levine mendang kaki adiknya yang berada di bawah meja. Sungguh, kerap kali ia dibuat kesal dengan tingkah adiknya yang menyebalkan dan juga cerewet.

Mata Levi masih menatap Koran saat ia berkata, "Seharusnya kalian sudah tahu jawabannya kalau kalian sudah mendengar kisah dari ibu kalian,"

"Maksudnya?" lagi-lagi Lavine yang bertanya.

"Lavine, untuk sekali saja, biskah kau diam?" Tanya Levine yang mulai geram.

"Memangnya kenapa?"

Stay a WhileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang