1 (Revisi)

18.6K 793 13
                                    

Duk!

"ANJIR! SETAN! SIAPA YANG LEMPAR PALA GUE?!" jerit cewek memekik sambil memegang kepala belakangnya. Beberapa orang meringis mendengar lengkingan nyaring itu. Pelaku yang ternyata seorang cewek sedang lari tergopoh dengan wajah memelas.

"Duh, Dis, sorry," ujar cewek itu merasa bersalah. "Gue enggak niat lempar ke lo, sumpah," lanjutnya dengan mengacungkan telunjuk dan jari tengah.

Gadis mendengkus sembari mengusap kepalanya yang berdenyut. Walau hanya dilempar kaleng kosong, tapi kalau dilempar dengan penuh tenaga, sakitnya sama saja seperti dilempar batu.

"Trus siapa?" tanya Gadis galak.

"Tuh si tukang micin!" tunjuk Amira --cewek yang melempar kaleng salah sasaran tadi. "Masa tas gue diisiin micin sebungkus?" lanjutnya tak terima, kemudian menceritakan kronologi musibahnya pada Gadis dengan perasaan gondok setengah mati.

Padahal, ia hanya meninggalkan tasnya di kelas seperti biasa untuk membeli makan. Karena adanya kasus si tukang micin, Amira memutuskan hanya membeli makanan dan membawanya langsung ke kelas. Namun, manusia hanya bisa berencana. Tetap saja otak licik seperti si tukang micin tidak bisa ditebak kapan beraksinya.

"Kenapa lo nyalahin dia?" Dahi Gadis berkerut. Amira melirik sekilas lapangan. Di mana si penabur micin itu malah tertawa terbahak bersama teman-temannya. Sudah dipastikan, kalau Amira adalah salah satu lelucon yang cowok itu ceritakan.

"Emang siapa lagi yang suka bawa-bawa micin seruntuy tiap hari?" protes Amira. "Pantes aja otaknya enggak pinter-pinter." Ia menghela napas. Tidak menyangka akan menjadi korban ke sekian dari cowok itu.

Gadis yang memerhatikan Amira jadi tidak tega. Agak menyesal karena sempat menuduh Amira. Tapi, setelah mendengar runtutan kejadian serta alasan yang cukup logis barusan, Gadis berusaha simpati.

"Lo sabar aja." Gadis menepuk pundak Amira sekali. "Bukannya gue enggak mau bantu. Gue enggak kenal dia dan gue juga enggak berharap kenal dia," lanjutnya sambil terkekeh. Ia sudah cukup tahu mengenai sepak terjang si tukang micin. Namun, kelas keduanya saling ujung membuat Gadis jarang saling bersinggungan.

Amira mengulas senyumnya sedikit. "Gapapa. Sorry ya tadi malah lo yang jadi sasaran gue?"

"Selow aja kali."

**

Ali : Kakak tunggu di kampus ya:)

Gadis tidak bisa menahan bibirnya untuk tetap lurus. Dengan refleks sendiri, kedua ujung bibirnya malah tertarik ke atas. Gadis tidak mau disebut gila karena senyum-senyum sendiri. Apalagi saat ini, ia berdiri di depan kelas di mana situasi masih ramai karena baru keluar kelas. Makanya, dia mengulum bibirnya ke dalam. Tidak bisa menapik kalau dirinya super bahagia saat ini.

"Aish, mimpi gue jadi istri dokter bisa terwujud ini mah," gumamnya pelan. Takut orang-orang yang lewat koridor dapat mendengarnya.

"Dis, lo enggak pulang?" tanya Sisi --teman sebangku Gadis sambil memberi jalan pada teman-temannya yang hendak ke luar kelas.

Sebelum menjawab pertanyaan Sisi, Gadis menyempatkan membalas chat masuk itu, lalu memasukkan ke dalam saku. "Gue ada janji sama Kak Ali," jawabnya semringah.

Sisi mendecak. Tidak ada aneh lagi kala Gadis menyebutkan nama itu. "Ya ampun, Dis. Ini ketiga kalinya lo nyamperin dia?" tanyanya tidak percaya. "Enggak malu apa jadi cewek?"

Sebenarnya, Sisi tidak berniat membuat Gadis tersudut. Hanya saja, Sisi jengah melihat selalu Gadis yang mengunjungi cowok bernama Ali itu.

Sisi mengenal betul salah satu mahasiswa kedokteran tersebut. Gadis selalu menceritakannya dengan semangat menggebu bahkan sampai suaranya serak. Sisi senang-senang saja saat melihat Gadis begitu antusias menceritakan seorang cowok idaman. Apalagi Gadis pernah menunjukkan fotonya.

Gadis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang