Prolog (Revisi)

27K 1.1K 18
                                    

Ruangan persegi berdiameter meter itu masih terasa senyap. Seorang anak berok biru tertunduk. Tampak merasa bersalah. Walau ia tidak tahu persis kesalahannya di mana, tapi tiba-tiba dipanggil ke Ruang BK tanpa aba-aba, siapa yang akan tetap berpikir baik-baik?

"Gadis?"

Anak yang dipanggil itu mendongak. Wajah polosnya hanya mengerdip sesekali. "Iya, Bu?"

Bu Arini memandang siswinya itu dengan tatapan lembut. Senyum tipisnya menyiratkan banyak hal. Entah itu kabar baik atau buruk. Terkadang, senyuman hanya sebuah prolog dari sebuah kisah yang menyedihkan.

"Saya buat masalah, ya, Bu?" tanya Gadis sambil menggaruk kepalanya. Bu Arini terkekeh. Wanita muda menjelang keriput itu menggeleng-geleng.

Gadis hanya menunggu jawaban Bu Arini. Ia menggigit bibir bawahnya. Ia teringat saat ulangan Matematika kemarin. Dia sempat melihat contekan. Hanya Budi, teman sekelasnya, yang memergokinya. Apa anak itu yang melaporkan perbuatannya itu?

"Apa Ibu harus manggil kamu karena masalah aja?"

Gadis menggeleng dengan muka polos.

"Ini, Dis." Bu Arini menggeserkan sebuah map biru ke depan Gadis setelah sebelumnya menghela napas seakan-akan beliau sedang mengeluarkan beban berat.

"Kenapa, ya, Bu?" Gadis memerhatikan tulisan di depannya dengan kernyitan heran. Di sana, ada data diri Gadis yang pernah ia isi minggu lalu. Perasaan, Gadis mengisinya sudah segenap jiwa dan raga tanpa ada kebohongan. Namun, kenapa Bu Arini seolah ingin memberikan kabar buruk?

"Soal cita-cita kamu, Dis."

Gadis sontak melihat kolom cita-cita. Lagi-lagi, Gadis dibuat keheranan. Tidak ada salah tulis atau coretan karena Gadis memang menulis kolom itu sepenuh hati. Atau jawabannya yang salah? Apa zaman sekarang jadi dokter disamakan sebagai dukun? Atau Gadis terlihat aneh kalau menjadi dokter?

"Gadis enggak pantes ya Bu jadi dokter?"

Bu Arini menggeleng dengan senyuman tidak selebar beberapa saat lalu. Gadis jadi berasumsi negatif kalau sudah seperti itu.

"Enggak salah. Cita-cita kamu bagus kok!"

"Terus kenapa, Bu?"

Bu Arini menelan saliva dan membasahi bibir berlapis lipstick merah itu. Beliau mengedarkan pandangan sebentar sebelum menatap Gadis kemudian.

"Maaf sebelumnya," kata Bu Arini. "Menurut catatan dari sekolah, Gadis itu buta warna parsial, ya?"

Beginilah jadi guru BK. Kadang harus berpikir keras untuk memikiran kata apa yang paling cocok agar tidak menyakiti siswanya. Apalagi Gadis masih tingkat satu jenjang SMP. Rasanya tidak tega melihatnya kecewa.

"Iya, Bu."

"Begini ...." Bu Arini berdeham. "Untuk menjadi dokter itu, persyaratannya tidak boleh buta warna—"

"Parsial juga, Bu?" potong Gadis cepat.

Bu Arini mengangguk. "Maaf, ya, Sayang. Bukannya ibu mau merusak mimpi kamu. Tapi, lebih baik kamu tau sekarang, Gadis."

Gadis terdiam. Lidahnya kelu sesaat Bu Arini mengatakan kalimat menyakitkan barusan. Siapa yang tidak sedih jika mimpinya terpaksa dihambat oleh kekurangan yang tidak bisa dihindari?

Bu Arini sudah mati-matian agar kata-kata yang keluar tidak terdengar buruk di telinga Gadis. Namun, sebagus apa pun kalimat yang dirangkai jika isinya tetap buruk, tidak akan bisa merubah apa pun.

Sebenarnya beberapa saat lalu, beliau mempertimbangkan antara memberi tahu Gadis sekarang atau nanti. Tapi, tentu akan sama saja. Lebih baik Gadis tahu sekarang daripada anak itu sudah berjuang hebat-hebatan lalu endingnya akan mengecewakan.

"G-gitu, ya, Bu." Gadis menahan isakkan yang sudah tertahan di pangkal tenggorakan. Matanya mulai digenangi liquid.

Bu Arini mengangguk. Ia pun memberikan beberapa wejangan yang semoga bisa diterima Gadis dan anak itu bisa berlapang dada. Gadis hanya mengangguk tanpa memberikan pembelaan apa pun. Lagian, siapa yang mesti bisa dipersalahkan?

"Kalau gitu, Gadis pamit, ya, Bu."

Bu Arini tersenyum tipis. Gadis pergi dengan perasaan amat berat. Rasanya belum rela melepas angan yang tiap malam menemaninya.

"Bocah lo! Gitu aja nangis!" cibir seseorang yang sontak membuat Gadis menoleh. Dia Budi, laki-laki kurus kurang gizi sekaligus teman sekelasnya yang ingin Gadis usir jika bisa.

"Apaan, sih, lo?!" Gadis mengusap air matanya yang sempat jatuh ke pipi. "Bocah manggil bocah!"

Budi mendengkus. "Sori, ya, gue keluar masuk BK biasa aja tuh. Enggak kayak lo langsung mewek. Mau gue panggilin nyokap lo, hah?! Biar dikasih ASI lagi?!" Anak itu tertawa terbahak hingga matanya tertutup saking lucunya.

Wajah Gadis memerah. Emosinya sedang tidak stabil sekarang. Tanpa memikirkan efek berikutnya, Gadis mengambil batu yang ada di pot depan ruang BK tersebut dan melemparnya ke arah Budi.

DUK!

"Mampus!"

**

TBC

Gadis [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang