《7》

90 9 6
                                    

"Tuhan beri aku hati untuk mencintai. Mencintai-Nya dan segala ciptaan-Nya, termasuk dirimu."

~•~

"Mentari!"

Suara itu mengagetkanku. Entah sudah berapa lama aku duduk dengan tatapan kosong. Dengan gelagapan, aku mencari arah suara yang baru saja menyebut namaku. Ralat, maksudku suara yang baru saja ku dengar.

"Iya, pak," sahutku saat mataku berhenti pada satu titik di pojok depan kelas, meja guru.

"Sudah berapa kali saya panggil nama kamu, dan kamu baru menyahut?" guru itu... ku kira sedang kesal.

Bodoh! Bagaimana tidak kesal dengan kelakuanku barusan?

"Iya, pak, maaf," jawabku sambil tertunduk lesu. Malu bercampur rasa bersalah tengah menyelimutiku sekarang.

"Kamu berdiri!" perintahnya tak terbantahkan, "Bawa tasmu sekalian!"

Hah? Diusir nih ceritanya? Sial!

Aku masih duduk dan perlahan mengemasi barang-barangku. Sangat lamban. Hanya perlu memasukkan satu buku paket, satu buku tulis, dan satu tempat pensil saja, tapi aku membutuhkan waktu yang cukup lama untuk tiga benda yang tergeletak di mejaku itu.

"Mentari, apa perlu saya yang bereskan barang-barangmu?" nadanya datar. Tapi sangat menakutkan.

"Tidak, pak. Saya bisa sendiri," aku meringis memamerkan rentetan gigiku.

Setelah selesai dengan kesibukanku barusan, aku berdiri seraya membenarkan posisi rokku. Langkah lesuku membelah heningnya kelas.

"Mau ke mana?" sekali lagi, suara itu membuatku kaget.

"Mau ke luar, pak," jawabku dengan polosnya.

"Siapa yang nyuruh kamu keluar?"

Aku menepuk keningku cukup keras. Hanya menimbulkan suara saja, tidak ada rasa sakit.

Sejak kapan murid yang dicap teladan macam aku jadi sebodoh ini?

Ku hembuskan napas kasar. Kali ini perkataan orang itu membuat jejak senyum di hampir seluruh murid yang duduk di bangku mereka masing-masing. Begitu tenang. Tidak seperti biasanya.

"Mentari," panggil beliau pelan.

"Iya, pak," sahutku cepat.

"Kemari!" titahnya.

Dengan terpaksa aku melanglakahkan kakiku menuju meja guru.

"Duduk di sana!"

Dengan cepat aku menoleh mengikuti arah jari itu menunjuk. Dan jari itu menunjuk sebuah benda yang berada tepat di sampingku saat ini.

"Saya duduk di sini, pak?" tanyaku tak percaya.

"Iya," jawaban ini horor. Singkat, padat, dan samar-samar.

Sudahlah.

Ku lihat dengan seksama bangku yang sudah kosong itu. Ada yang mengganjal? Apa ya? Ya, itu dia.

Tentang Aku dan Sikapmu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang