Satu minggu ini aku dan Martin sudah baikan. Kesalku pun sudah hilang. Sudah ku bilang, rasanya itu sabarku tak ada batas. Apalagi saat dia berkata "ojo ngono to". Itu memang jurus andalannya untuk membuatku luluh. Kalau agak kurang mempan, biasanya dia nyiapin coklat, entah itu Cadburry atau Silverqueen.
Sebenarnya ayah dan bunda gak ngijinin aku buat pacaran. Katanya kalo udah lulus SMA aja. Emang sih aku tak dipaksa buat jadi juara. Tapi kata mereka biar aku gak ada beban. Ulangan gak remidi aja udah alhamdullilah. Apalagi ngurusin pacar, bisa kewalahan, katanya.
Mungkin aku sangat penasaran rasanya pacaran apalagi dipanggil sayang. Makanya aku mau nekad. Kalau aku dan Martin pacaran sudah kupastikan untuk backstreet. Dosa sih, tapi kan ini bukan tindakan kriminal. Begitu pikirku.
Satu minggu sebelum Valentine dan hari ulang tahunku, aku berharap Martin bakal menyatakan cintanya. Menjadi sepasang kekasih dimasa SMA yang penuh warna bisa menjadi kado terindah dalam hidupku. Siapa sih yang gak mau?
"Mil, menurut lo Martin bakal nembak gue ga ya pas Valentine nanti? " "Aa? Hmmm... Ga tau deh. Semoga aja ya." Mila menjawab sambil tersenyum kaku. Aku pun membalas sambil menyenggolnya, "Doain ya."
Aku tak sabar menunggu minggu depan. Aku benar-benar berharap bahwa apa yang kuinginkan akan menjadi nyata. Seorang Martin si pemain basket idaman adik kelas bakal nembak aku di lapangan basket sepulang sekolah. Terus dia baaa sebucket bunga mawar dan akhirnya minta aku jadi pacar dia deh. Yang aku harapkan sih begitu. Ga tau deh nantinya gimana.
"Aw!! " Aku memegang mulutku yang habis kena lemparan bola kertas dari pak Drajat, guru matematika killer yang pernah kutemui. "Lagi bayangin apa kamu?" "Ah, engga Pak. Maaf Pak." Aku tertunduk sambil cepat-cepat menulis materi yang tercatat di papan tulis.
Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Beberapa temanku melihat apa yang baru saja kualami. Untung saja Martin gak sekelas sama aku. Dia anak IPS dan aku yang sempat tak percaya diri memutuskan buat ambil jurusan IPA setelah satu minggu berdiskusi sama ayah.
Sebenarnya hari ini Martin mengajakku buat makan sepulang sekolah. Tapi bunda biasanya gak bakal ngijinin aku main selain weekend. Boleh sih tapi cuma buat belajar kelompok kalo pas hari biasa. Mau bohong tadinya, tapi ga tau kenapa aku juga lagi pengen cepet pulang buat ngerjain PR yang bejibun. Bunda pun lebih suka aku stay di rumah nonton drakor daripada nongkrong gak jelas kaya anak zaman now.
--------------------------
13 Februari 2017, tepat sehari sebelum ulang tahunku, dengan mata kepalaku sendiri, ku lihat Martin memegang tangan Mila. Nugu? Milaaa!!! Aku melihatnya di sebuah cafe yang letaknya di dalam mall. Cafe itu adalah tempat pertama Martin ngajak aku buat keluar ngobrol asyik berdua.
Kakiku mendadak lemas. Dadaku terasa sesak. Mataku mulai berkaca-kaca. Apa maksud dari semua ini?
Aku melangkah ke arah mereka berdua secara perlahan. Sungguh aku gak percaya, apa yang kulihat di drama terjadi dalam kehidupanku. Aku berharap ini mimpi. Namun semua terlihat begitu jelas dimataku.
Aku berjalan mendekat menuju kedua insan yang sedang berbahagia di atas penderitaanku. Bianca mencoba merangkul pundakku. Seketika aku mulai menegakkan posisi badanku dan menyeka air mata yang mulai mengalir.
Gak! Aku gak akan meminta penjelasan. Aku gak bakal mengatakan sepatah kata pun. Mungkin hal ini bisa membuatku lebih baik. Daripada mendengarkan ini dan itu, semua akan semakin kompleks. Di kamusku, jika seorang cowok adalah pengkhianat, ga ada kata kesempatan kedua.
"Fanny? " Martin kaget setengah mati melihatku tepat berada di depannya. "Fan... Fan tunggu Fan gue bisa jelasin semuanya." Mila pun tak kalah kaget melihat kemunculanku yang secara tiba-tiba. Aku diam, tetap diam. Bianca pun tak berkata apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
OPPAKU BUDIMAN
RomanceNamaku Stefanny Kim Laura. Ayah orang Bandung, ibu asli Jogja. Lalu dari mana marga Kimnya? Udah baca aja, nanti juga tahu. Pacarku berinisial M, tapi bukan Martin seperti di awal cerita. Makin penasaran? Apa salahnya cari tahu. Hadiah kelulusan...