Diandra berjalan menatap pohon nangka yang berjejer rindang, menutupi aspal dari sinar matahari. Tadi subuh sempat hujan, jadi genangan air masih mengisi jalanan yang bergelombang. Bahkan dari berbagai daun pepohonan masih meneteskan butiran air yang masih tersisa. Dingin, Diandra mengenakan jas almamater sekolahnya saat ini. Ia berjalan menuju jalan raya untuk menaiki angkot untuk ke sekolahnya."Angkot!" panggil Diandra sambil melambaikan tangannya. Seperti biasa, mobil kecil yang bermuatan penumpang itu menyalakan sein ke kiri. Dan dengan dipersilakan Diandra masuk dan duduk diantara ibu-ibu yang hendak belanja ke pasar. Bukan hanya ibu-ibu saja, tapi mayoritas memang seperti itulah adanya. Sekitar 8 menit angkot itu mengantarkannya sampai di depan gerbang sekolah. Belum begitu ramai karena bel masuk masih 10 menit lagi.
"Diandra!" panggil seseorang. Diandra menoleh kesamping dan belakang tapi tidak ada orang yang memerhatikannya. Sampai ada suara yang memanggilnya kembali dan Ia baru tahu sumber suaranya ada di atas.
"Woi!" teriak orang itu sambil melampaikan tangannya.
"Apaan?"
"Bilangin ke Pak Satpam, kalau ada yang nitipin makalah Sejarah Indonesia suruh ngasih ke kelas" jawab Petra sedikit berteriak. Aku menoleh ke belakang, pak satpam menatapku lalu tersenyum canggung.
"Pak satpam tadi denger yang dibilang Petra?" tanya Diandra malas.
"Iya neng, bapak denger" jawab pak satpam sambil mengangguk ringan.
Aku kembali melihat ke atas. "Pak satpam udah tau, Tra". Petra melihatku kembali dan mengucapkan kata-kata kotor tanpa bersuara, tapi dapat terbaca jelas kalau dia sedang mengumpat.
"Iya pak, yaudah, naik dulu ya pak"
"Iya, nanti biar Pak satpam kasih ke kelasnya eneng. XI IPA 6 kan?"
"Siap pak, kerja yang bener pak!" pamit Diandra sambil berjalan meninggalkan pak satpam.
Diandra duduk dibangkunya, masih beberapa anak yang datang. Petra yang tadi teriak-teriak di cendela kelas juga malah ga ada di kelas. Diandra memilih duduk dan memainkan ponselnya untuk mencari kesibukan daripada diam seperti orang yang sedang kebingungan untuk melakukan sesuatu.
"Anjas Ndra, astaga gue pengen ngumpat parah!" teriak Rahma sambil mengebrak mejanya pelan. Diandra yang tidak tahu apa-apa hanya menatapnya bingung.
"Lo tau nggak sih Dra, demi apapun gue benci banget sama Dewi"
"Dewi kelas bahasa maksud lo? Anak OSIS juga kan?" tanya Diandra sambil menunggu jawaban.
"Iya, bulu babi emang"
"Sabar kali Ma, emang kenapa sama Dewi? Kalah saingan ya lo sama dia?" tanya Diandra.
"Keong lo, temen lagi sedih juga"
"Iya, iya, kenapa sama si Dewi?"
"Bayangin aja ya Ndra, Agil ngasih tugas ke gue untuk minta tanda tangan kepala dinas kesehatan sama tanda tangan bupati Sragen. Dan karena kantor dinas keduanya arahnya beda, otomatis kita bagi tugas dong. Gue minta tanda tangan ke bupati, sedangkan dia minta kepala dinas kesehatan. Dan gue kira, kemarin dia udah ngasih laporannya ke Agil, ternyata dia belum nyari tanda tangannya sama sekali dan tanpa ada rasa bersalah dia malah bilang 'aduh, sorry ya Ma, gue lupa. Kemarin nyokap gue baru pulang dari Perancis'. Bayangin tuh, anjing banget ga sih?"
"Terus gimana? Lo nggak nyuruh dia lagi?" tanya Diandra.
"Udah, nanti abis istirahat pertama dia mau ke Sragen buat minta tanda tangannya. Dan yang buat gue nggak suka, dia di temenin sama Agil, Dra" ucap Rahma sambil menarik lengan baju Diandra. "Gue ga terima kalau dia jalan sama Agil, berduaan di mobil lagi. Udah salah tapi malah dapet untung, yang kena marah gue lagi. Bulu babi, parasit emang"
"Ya udahlah, Dewi kan salah dan tugasnya harus dikumpulin cepetkan? Jadi ya Agil harus turun langsung kali" ucap Diandra dengan harapan Rahma tidak sedih lagi.
"Ya kenapa harus sama Agil sih? Bukannya nyuruh gue aja? Kan itu masih tanggungjawab gue"
"Iya juga sih"
"Yaudah lah, Agil pasti punya alesan kok" ucap Diandra sambil menepuk tangan Rahma.
🌸🌸🌸
Diandra membereskan buku yang masih berserakan di atas meja. Guru bahasa Indonesianya memberikan jam tambahan 20 menit siang ini.
"Telat, telat astaga mati" gerutu Diandra seraya berlari menuju toilet untuk berganti pakaian. Hari ini ada latihan bola tenis, dan sialnya ini jadwal coach Rangga. Pelatih paling galak diantara 3 pelatih lainnya. Bisa dipastikan kalau nanti, Diandra akan kena hukum 15 set push up dan lari lapangan tenis 3 kali.
"Maaf Coach saya terlambat"
"Kenapa?"
"Tadi pelajaran jam terakhir ada jam tambahan 20 menit"
"Masuk! Ambilin bola yang keluar" ucap Coach Rangga. Diandra diam melihat ke arah beberapa bola kuning kehijauan itu. "Kayaknya bakal ada yang sakit nanti" ucapnya sambil berlari kecil menuju beberapa bola yang berada diluar garis lapangan.
Ball person.
Ball person itu semacam orang yang bertugas mengambili bola yang keluar dari lapangan. Parah, ini lebih parah daripada push up 15 set.
"Dra, awas bola-" teriak seseorang dari arah samping.
"Aduh!"
Bola itu mengenai paha Diandra. Bukan sakit, tapi panas. Diandra duduk sambil menekuk kakinya. Tangannya memegang paha kirinya, bisa dia bayangkan kalau nanti akan ada warna biru keunguan yang menghiasi pahanya.
"Lo nggak papa?"
Diandra masih diam mengelus pahanya. Rasanya tetap panas dan berdenyut ngilu. Ini pertama kalinya dia merasakan pukulan bola yang sangat keras.
"Lo nggak papa?" ulangnya.
"Diem lo ah, dari tadi gue nahan sakit lo malah tanya nggak papa muluk" ucap Diandra kesal sambil mengelus pahanya dan bangkit keluar lapangan.
Rangga yang melihat kejadian itu hanya diam melihat Diandra keluar dari lapangan tenis."Bang, tadi namanya siapa?"
"Diandra" jawab Rangga.
"Gue kejar ya, kasian, mobilnya gue yang bawa" ucap Nabila sambil berlari mengikuti Diandra.
"Terus gue pulangnya naik apa, Bil?"
"Taxi, ditas ada uang!" teriak Nabila.
Diandra duduk di taman sekolah. Tadi ia membeli es batu dan air mineral di kantin. Awalnya ia ingin langsung pulang, tapi kakinya masih terasa ngilu untuk berjalan.
"Lemah banget sih gue, kena bola aja pincang"
"Bukan lemah, tapi emang tadi gue yang salah kok" ucah Nabila sambil duduk di bangku taman.
"Biar gue aja yang ngobatin" ucap Nabila sambil meraih es batu yang dibungkus oleh handuk kecil. "Biasanya abang gue selalu ngobatin gue kalo ada luka kayak gini, dia yang selalu ngasih motivasi gitu"
Diandra tersenyum angguk. "O iya nama gue Nabila, gue adiknya bang Rangga"
"Diandra"
"Gimana kaki lo, udah mendingankan sekarang?"
"Udah kok, makasih"
"Ya udah, berhubung lo udah mendingan gue balik duluan ya" pamit Nabila sambil bangkit dari duduknya. "Sampai jumpa"
Diandra melihat bahu Nabila yang sudah hilang. "Gue pikir mau dianterin pulang, nyatanya ditinggal sendirian" gerutu Diandra sambil berjalan menuju gerbang sekolah.

YOU ARE READING
Tentang Diandra
Teen FictionAku bukan perempuan cantik yang mudah memikat hati pria. Aku Diandra, perempuan cupu yang akan menceritakan lika-liku remajaku, menapak labirin kehidupan bersama jarum tajam yang menyayat setiap langkahku. Disini aku, Diandra,tokoh utama yang akan m...