Chapter 9 (Dirumah sakit)

0 1 0
                                    

*Rumah sakit



Tinggallah kaca putih yang membatasi ruangku dan oppa. Dia sedang duduk di kursi roda, membaca buku.

Topi dari rajutan wol hitam di kepalanya, mengungkapkan keadaan sebenarnya. Lebih dari siapapun untuk dapat kupercaya. Oppa mengidap kanker.

“Jin Rae”
Detik ini, oppa telah menoleh kearahku berdiri. Mata kami saling bertemu, mengungkapkan lebih dari apapun yang dapat terucap oleh mulut.

Penyesalan, itu yang memenuhi hatiku. Setitik kesalahan mengaburkan pandanganku dari kebaikan yang banyaknya tidak dapat terhitung.

Langkahku benar-benar terhenti, mematung begitu saja, saat tinggal selangkah lagi meraihmu oppa.
Jin rae..Kau..!!”
Sebelum sempat oppa menyelesaikan kalimatnya, terlebih dahulu aku telah lemah. Bersimpuh dan memeluknya erat-erat.

Tidak peduli pelukan itu akan membasahi oppa juga. Tidak peduli apapun, aku hanya ingin memeluknya, merengkuhnya lebih erat lagi.



Bel akhirnya berbunyi, tanda pelajaran telah usai.

Matahari telah membenamkan dirinya lebih awal, sehingga jingga keemasan yang hangat memancar melalui candela kaca.

Ini menjadi hari terakhirku di sekolah, karena besok tepat ujian itu akan berlangsung.

Seharusnya aku senang akan segera mengakhirinya, bahkan aku telah menunggunya saat-saat seperti ini sejak dulu. Tetapi, hatiku tidak merasakannya. Justru merasa ada sesuatu yang hilang dalam diriku ketika telah sampai di titik ini. Kenyataan memang berbeda sekali ternyata.

“Jin Rae aku pulang dulu ya”.
Itu Yun Ae, teman sebelahku. Entah sejak kapan kami mulai menjadi sahabat. Saling membantu dan mengingatkan, bahkan sempat beberapa kali berjalan kesekolah bersama atau berbelanja setelah pulang sekolah. Aku merasa hangat memilikinya, meski dengan waktu yang terbatas.

Langkah-langkah kaki yang tidak sabaran keluar dari gerbang membuatku mendongkakkan kepala memperhatikannya. Aku sengaja tinggal sebentar di hari terakhir ini, agar sekali lagi dapat mengamati lebih banyak. Dan duduk di kursi pojok menjadi kesukaanku, sekali-kali pemandangan menarik dari luar menarik perhatian. Mereka, teman-teman sekolahku nyatanya lebih banyak dari yang kukira. Teman-teman tanpa nama.

Meski begitu, dilain masa tanpa mengenal ataupun menyapa, mereka memaniskan cerita-cerita kita tanpa disadari.

Hanya gema sepatuku yang meninggalkan koridor satu-satunya bunyi yang terdengar. Hanya dalam beberapa menit sekolah telah benar-benar menjadi senyap tak berpenghuni. Langit juga telah berubah menjadi lembayung menutup hari. Bukan apa-apa ketika sekali lagi kutatap gedung sekolah ini, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan lebih besar dari pada yang terlihat. Makna dari semuanya yang tidak akan pernah bisa kuulangi kembali.

“Jin Rae”
Aku berbalik ke arah sumber suara. Disana Jay berdiri menatapku. Entah bagaimana aku bisa merasakan Jay semakin dewasa dengan seperti itu. Memang juga kenyataanya seperti itu. Sejak sakitnya oppa menjadi alasan bagi kami untuk menjalin hubungan baik lagi, Jay berubah sangat banyak. Dia tidak lagi berbicara tanpa perlu bahkan juga kepada oppa. aku seperti menemukan Jay yang lain darinya. Sungguh begitu mengejutkan itu terjadi begitu cepat.

Masih sangat jelas bagaimana dulu Jay bersikap kekanak-kanakan, membuat keributan dan selalu saja absen dari kelas. Sikapnya tidak pernah peduli pada apapun. Aku menyebutnya seorang yang tidak peduli masa depan. Tapi bagaimana itu sekarang? Jelas-jelas tidak berlaku.
“Ayo pergi bersama”. Jay menarik tanganku bersamanya. Tanpa bisa menolak aku mengikuti di sisinya. Berjalan berdampingan ke tujuan yang tidak kutahu.

“Kita akan pergi ketempat oppa” Jay memberi keterangan setelah sesaat langkahku terhenti.

Aku mengangguk menyetujui. Kami berjalan kembali dalam hening. Sejujurnya aku tidak terlalu menyukai ini, Jay berjalan begitu lambat tanpa berbicara sedikitpun. Lebih nyaman jika dia bercerita tetang cerita konyol yang akan membuatku tertawa, sepertinya itu tertelah entah kemana sekarang. Padahal seminggu tidak mendengarnya terasa aneh bagiku. Sudah seperti menjadi kebiasaan ketika aku dan Jay tertawa saat pulang bersama.

Tidak bisa terelakkan, rasa sedih yang mendalam juga dirasa Jay begitu dia tahu keadaan oppa. Pernah suatu hari secara tidak langsung Jay memberitahuku bagaimana oppa sangat berarti baginya “Aku merasa memiliki seorang Hyung”. Dan melihat caranya menyembunyikan rahasia oppa dariku, membuatku tahu beartinya oppa untuk Jay.

Jay menyembunyikannya dengan permintaan oppa, kenker itu, lebih dari berminggu-minggu. Dia menyimpan sedihnya sendiri sebelum mengatakan apa-apa padaku, berpura-pura tidak ada yang terjadi. Mungkin aku tidak akan sekuat itu jika aku berada di posisinya.

“Baru kali ini aku merasa menjadi malaikat saat aku menyerah”. Jay tersenyum simpul dengan perkataannya yang tidak kumengerti. “Padahal aku berpikir untuk menang. Aku berusaha dengan keras untuk mendapatkan itu. Bukan hal yang mudah juga untukku mengakuinya, sampai akhirnya menjadi sangat jelas.” Jay menarik nafas panjang “Tapi tidak apa-apa dengan ini, aku lebih ingin menyerah”.
“Kau bicara apa sih?”
Jay tersenyum memandangku yang begitu bodoh dengan perkataannya “Kau pasti tidak belajar?”
“Apa?” aku melotot kearahnya.
“Ngomong-ngomong kali ini oppa yang menyuruhku membawamu ke sana.”
“Kenapa kau biasa saja?” Jay menambahkan dengan nada tak percaya.
“Memangnya aku harus bagaimana?”. Jay meninggalkankanku di belakang




Next aja guys..😘😘
Makasih banyak Loh udah ngeluangin buat baca ff aku...
Jangan lupa vote dan komentarnya
Aku butuh banget buat ngoreksi😮😳😁

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LolipopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang