4

136 17 0
                                    

Menjelang sore, kami kembali ke Denpasar, Bintang mengantarku balik ke pet shop. Dan seperti saat berangkat, sepanjang perjalanan pulang, Bintang yang menyetir sambil terus-terusan berceloteh.

"Pas jatuh tadi, sakitnya masih bisa aku tahan, tapi yang nggak tertahankan itu malunya." Ujarnya sembari cekikikan, sebelum dia mulai mengoceh lagi tentang hal lain lagi.

Aku melirik cewek itu. Benar kata Mila, aku baru memperhatikan ada bekas jahitan di siku kiri belakangnya. Jahitan yang cukup panjang, kira-kira dua puluh centimeter, memanjang dari siku ke lengan belakangnya. "Itu kenapa?" Tanyaku spontan sambil menunjuk bekas luka itu.

Bintang melirik telunjukku, lalu melirik lengan kirinya. "Oh, ini jatuh, waktu aku masih SMP di Jakarta. Hehe. Jelek ya?"

"Nggak kok, nggak kelihatan."

"Bohong." Bintang menjulurkan lidahnya. Lantas, dia mulai bercerita tentang kejadian waktu terjatuh dulu. Intinya sama seperti kejadian barusan. Waktu itu, di sekolah, Bintang melompat-lompat dari satu bangku ke bangku yang lain. Lalu keseimbangannya hilang, dan dia jatuh di lantai. Dan sikunya patah.

Aku langsung meringis. "Terus sampai sekarang kamu masih aja nggak bisa diam? Nggak kapok?"

"Energiku terlalu besar, rasanya aku pengin terus bergerak." Bintang berkata, lalu nyengir. Dan tanpa ada hujan dan angin, dia pun mulai mengoceh lagi. Mulai dari masa-masa indah bersama kedua orangtuanya, sampai cerita tentang teman-teman beda spesiesnya di penampungan.

Karena asyik mendengar celotehan Bintang, tidak terasa, kami sudah sampai di Denpasar. Saat mobil berhenti di depan pet shop, ada dua orang yang sedang duduk di emperan. Seorang laki-laki dan perempuan setengah baya. Mungkin orangtua Bintang, pikirku. Begitu Bintang memarkir mobilnya di pinggir jalan, cewek itu keluar dan memeluk secara bergiliran berdua orang itu.

"Hai, siapa ini?" Tanya si perempuan, ketika melihatku turun dari mobil. Aku pun mengamatinya. Rambutnya panjang sepunggung, dengan kulit putih bercahaya. Kalau beliau ibunya Bintang, jelas kulit putih itu tidak menurun ke anak perempuannya. Beliau juga tidak mirip Bintang, namun tetap cantik, cuma tidak seperti Bintang.

"Oh, ini Danan, temen kuliah saya, Ma." Kata Bintang. Mendengar kata 'Ma', aku langsung menyimpulkan perempuan ini memang ibunya Bintang. Dan mungkin si laki-laki adalah ayahnya.

Lalu si laki-laki bangkit berdiri, menghampiriku dan menyodorkan tangannya. Aku menyambutnya. "Saya Danan, Om." Ujarku kaku.

Laki-laki itu tinggi (hampir menyamaiku), mengenakan pakaian batik dengan dominan warna hitam. Rambutnya pendek rapi, dengan wajah tirus, dan tampak bersih, seperti habis bercukur. Dan laki-laki itu sedikit mirip dengan Bintang.

"Halo, Danan. Jagain Bintang ya, dia anaknya nggak bisa diam." Ujarnya.

Aku agak kaget disuruh menjaga Bintang, namun aku berusaha menjawab sopan. "Iya, Om. Pasti saya jagain." Sahutku mantap.

Kedua pasangan itu pun masuk ke rumah di sebelah pet shop bersama Sasa si anjing kampung dekil.

Bintang masih memegang tali pengekang Juna, berdiri sambil menatapku. "Junanya gratis, tapi talinya seratus ribu." Ujar Bintang.

Aku bengong selama dua detik. Lalu mengangguk dan memberinya seratus ribu dari dompetku. Aku pun meraih tali Juna dan membawanya ke motorku. Lantas, aku bingung bagaimana cara membawa si anjing dengan selamat, karena kemungkinan besar si anjing akan melompat dan terseret sepanjang perjalanan.

Setelah mencoba beberapa cara untuk membawa Juna, aku menyerah dan berkata pada Bintang bahwa aku belum berani membawa Juna mengendarai motor, lalu Bintang menawarkan diri untuk mengantar anjing itu dengan mobilnya. Aku setuju. Kami pun berangkat. Aku jalan duluan menggunakan motor, dan Bintang bersama Juna mengikuti dengan mobil.

Jejak BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang