Saat Mila pergi ke kamar mandi, aku kembali ke kamar, dan menemukan Bintang sudah merebahkan dirinya di kasurku. Dia bahkan menyelimuti dirinya sampai ke leher, seolah ini kamarnya sendiri.
"Aku lelah." Hanya itu yang sempat dikatakannya, sebelum tertidur. Iya, dia tidur begitu saja. Secepat itu.
Sehabis dari belakang, Mila duduk lagi di tempat semula. Sempat kaget melihat ada gundukan kecil di atas kasur, sebelum menyadari bahwa itu Bintang. Lalu, diam.
"Jadi, menurut kamu, naskahku gimana?" Aku berinisiatif untuk bertanya.
Mila malah balik bertanya. "Mau yang jujur atau bohong?"
"Bohong."
Mila menatapku datar. "Naskah Kak Danan jelek."
Aku tersenyum. "Berarti, jawaban jujurnya, naskahku bagus dong? Hehe."
"Kalau jawaban jujurnya, naskah Kak Danan jelek banget."
Senyumku langsung pudar. Aku menunduk, pura-pura merapikan naskah-naskah yang belum dibaca. Padahal aku mau menangis.
Lalu tiba-tiba Bintang bicara dalam tidurnya. "Mama, bikinin aku kue putri salju."
Aku dan Mila saling tatap, lalu Mila tertawa kecil. "Dia biasa seperti itu." Ujar Mila pelan. Dan aku berpikir, Bintang benar-benar cewek yang bawel, bahkan dalam tidurnya pun dia tetap bicara.
"Nih, Kak." Tiba-tiba Mila sudah menyodorkan buku bersampul gambar wajah seorang laki-laki kepadaku. "Ini buku Hermawan Aksan, editornya Dewi Dee Lestari. Judulnya Proses kreatif Menulis Cerpen. Tapi kayaknya bisa juga diaplikasikan untuk nulis novel. Baru kemarin aku beli. Baca-baca gih."
"Buat aku?" Tanyaku ragu. Mila mengangguk.
"Makasi, Mil."
Mila tersenyum malu-malu. "Kak Danan sudah selesai baca Tears In Heaven?" Tanyanya.
"Baru setengahnya, jadi si tokoh utama sakit kanker, ending-nya dia mati ya?" Tanyaku.
"Aku nggak akan kasih tau." Ujar Mila. "Baca sampai habis, bakal ada kejutan."
"Pasti mati."
"Baca aja." Sahut Mila. Dia mengambil naskahku yang lain dan mulai membaca. Mila membenarkan letak kacamatanya yang hampir memenuhi wajahnya itu. Poninya yang panjang terjuntai turun dan cewek itu menyelipkannya ke belakang telinga. Entah kenapa, aku menikmati pemandangan itu.
Sampai sore, kami duduk berdua di kamarku. Tidak saling bicara, kadang aku melirik ke arah Mila dan menemukan cewek itu juga melakukan hal yang sama. Lalu kami akan buru-buru menoleh ke arah lain. Hanya Bintang yang berbicara, masih dalam tidurnya. "Papa, aku nggak mau kuliah hukum," atau "Jojo, kamu nakal," atau "Ah, sakit! Jangan remas susuku."
Yang terakhir itu membuat aku dan Mila terbahak.
Sekitar pukul empat, Bintang terbangun dan terduduk di kasur. Bagiku, bahkan penampakan Bintang dengan rambut berantakan dan mata tertutup sebelah, masih saja membuatku terpesona. Dan mendadak segala sesuatu tentang Mila yang tadinya begitu menarik, kembali jadi biasa-biasa saja.
Sambil menatap Bintang, aku mengangguk saja waktu Mila berkata hendak meminjam keempat naskahku. Dan setelah mereka pulang, aku tiduran di tempat Bintang berbaring tadi, membenamkan wajah di sana, berusaha mencium wangi stroberinya yang masih tertinggal.
***
Sesudah bapakku kembali dari kampung, listrik pun kembali padam tepat pukul sepuluh malam. Semua menjadi gelap, termasuk layar laptopku. Terpaksa aku hanya tiduran di kasur. Dan memikirkan Bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Bintang
RomanceDanan menyukai Bintang, cewek manis hiperaktif yang nyaris selalu kelebihan energi. Saat akhirnya Danan berani mengungkapkan perasaannya pada Bintang, cewek itu malah pergi tanpa memberinya jawaban.