6

100 12 0
                                    

Dalam perjalanan menuju mall di daerah Kuta, tempat Bintang akan berbelanja baju untukku, handphone-ku bergetar. Anjani—calon pacarku sejak setahun terakhir—yang menelepon.

"Halo," sahutku pelan. "Ya? Oh, sekarang? Beliin kamu Kiranti? Oke, tunggu ya." Aku mendekap handphone-ku, lalu melapor pada Bintang. "Tang, gebetanku lagi dapat, dia minta dibeliin Kiranti. Anterin aku pulang ya."

"Apa nggak ada orang lain yang bisa disuruh? Apa kamu kacungnya? Apa kalau nggak dibeliin Kiranti, dia bakal mati kehabisan darah?" Tanya Bintang bertubi-tubi. Aku tidak menjawab.

Tiba-tiba, dengan gerakan cepat, Bintang mengambil handphone-ku, lalu menjepitnya di antara pipi dan bahu kirinya. Lalu mulai mendesah-mendesah penuh gairah. "Ah, oh, Danan sayang, pelan-pelan dong. Sakit. Oh, ah, sakit Danan. Ah, ah, yes! Ah! YES! YESSS! DAANAAAAN! AHHH! YEEEEESSSS! YEEEESSSSSSSS!!!" Kemudian dia mematikan handphone. "Sekarang, gebetanmu nggak bakal ngerepotin kamu lagi." Ujar Bintang santai.

Aku cuma bisa bengong.

Kami sampai di sebuah mall di Kuta, dan Bintang langsung menyeretku menuju bagian perlengkapan olahraga dan mendaki gunung. Aku hanya diam saja dengan pikiran menerawang. Sepertinya hubunganku dengan Anjani sudah berakhir, pikirku. Sementara itu, Bintang sibuk membelikanku baju kaus lengan panjang, celana panjang jeans, dan sepatu dengan harga hampir dua juta rupiah. Seumur hidup, aku belum pernah membeli barang semahal itu. Belum cukup sampai di sana, Bintang juga membelikanku jaket tebal dan sebuah ransel yang biasa digunakan untuk mendaki gunung.

"Sebagai pegawaiku, kamu bakal sering tugas ke luar, dan bawa banyak perlengkapan. Makanya kamu perlu jaket dan tas ini. Paling nggak, kamu nggak akan masuk angin." Tutur Bintang.

"Oke." Sahutku lemas.

"Ada lagi yang kamu butuhkan?"

Aku menggeleng. Sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan. "Rasanya, nggak." Sahutku akhirnya.

Bintang manggut-manggut, lalu berjalan ke kasir dengan membawa barang-barang yang tadi aku coba dan sesuai dengan seleranya. Kali ini, Bintang menghabiskan lebih dari tiga juta rupiah. Aku cuma bisa menelan ludah.

***

Selesai berbelanja, kami bermobil lagi menuju arah rumah Bintang. Sepanjang jalan, cewek itu bercerita bahwa dia merindukan Sasa, dan hendak mencari anjing itu. Aku tahu Bintang tidak akan menemukannya. Anjing itu sudah mati.

Di belokan kedua sebelum rumah Bintang, cewek itu menghentikan mobil. Bintang menyambar plastik hitam di jok belakang, lalu turun dari mobil dan memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami berjalan menuju sebuah rumah besar dan berhenti di depannya, bersembunyi pada bayangan pagar rumah.

"Bintang, kita mau ngapain sih?" Tanyaku. "Kita mau nyari Sasa atau apa?" Tanyaku lagi.

"Memungkinan besar, Sasa sudah diculik tukang sate, dia tidak akan selamat." Bisik Bintang. "Sekarang kita akan menyelamatkan anjing yang masih bisa diselamatkan." Bintang menunjuk sesuatu dari celah pintu pagar. Seekor anjing putih kecil dirantai di sudut halaman rumah itu.

"Itu anjing yang disiksa si gondrong kan? Ini rumah si gondrong ya?"

Bintang mengangguk. "Sudah berhari-hari dia dirantai dan nggak dikasih makan. Lihat, badannya sampe kurus begitu." Bintang menunjuk anjing kecil itu lagi.

"Terus sekarang kita ngapain?"

"Kita bakal melompati pagar ini." Ujar Bintang kalem, seolah melompati pagar rumah orang tanpa izin adalah hal yang wajar dan tidak melanggar hukum. "Lalu, aku akan menyelamat si anjing kecil itu. Dan memberi pelajaran kepada si Gondrong itu. Dan kamu bakal membantuku membereskan semua ini."

Jejak BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang