Cerita 4: Si Anak Cacat (A)

85 33 1
                                    

Ahnaf

Di sebuah pagi pertengahan Mei, aku bangun dengan rasa sakit yang melanda perut. Sungguh tak biasa. Sebagai seorang remaja yang hidup liar di tengah-tengah dunia yang keras, aku diberkahi perut yang kuat. Jangankan makanan kadaluwarsa, jamur beracun pun dapat aku lahap tanpa ada masalah.

Hmm ... mungkin gara-gara kemarin, ya?

Ingatanku pun terlempar pada perlombaan makan di sebuah restoran yang ada di alun-alun distrik. Sepertinya aku makan terlalu buru-buru. Aku menguap, lalu mencoba bangkit berdiri.

Kulihat matahari sudah keluar dari persembunyiannya, melayang tinggi di ufuk timur. Aku menyipit, memandang cahayanya dengan mata telanjang. Silau. Sungguh kurang kerjaan.

Aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh badan, tapi karena dingin, aku cuma gosok gigi dan cuci muka saja. Setelah memakai seragam yang lupa disetrika, aku mengambil beberapa potong roti dari lemari.

Hmm ... masih kurang. Aku kembali membuka lemari dan mengambil beberapa roti tambahan. Aku kira ini sudah cukup.

Aku duduk jongkok di atas meja dan menyalakan TV. Terkadang, aku celupkan rotiku ke air tawar supaya lebih berisi. Rasanya hambar dan dingin. Sungguh sarapan yang menyedihkan.

***

Kendati masih sakit perut, aku tetap memaksakan diri untuk bersekolah. Dengan langkah tak bersemangat yang amat menyebalkan untuk dilihat, aku berjalan menyusuri rute yang biasa aku lewati.

"Huh?"

Ketika aku sampai di separuh jalan, secara tak sengaja mataku menangkap pemandangan seorang gadis berambut perak. Mungkin karena merasa di perhatikan, gadis itu menoleh. Aku segera mengangkat tanganku, hendak menyapanya.

"Pagi, Hanifa."

Uniknya, gadis itu malah terperanjat. "A-Ahnaf?!" Hanifa mundur setengah langkah, lalu berlari kabur sebelum akhirnya menabrak tiang listrik. "Aduh!"

"Apa yang kau lakukan, Bodoh?" aku berjalan menghampirinya, mengulurkan tangan. "Bangun. Seragamu kotor."

"Ah ... tak apa, aku bisa send ...."

"Cepet, ah." Aku buru-buru meraih tangan kecilnya dan menariknya ke atas. "Kenapa wajahmu merah lagi? Apa ada yang terluka?"

Hanifa menggeleng cepat. Rambut peraknya yang bergelombang berayun menutupi wajah.

"Sepertinya kau memang sedang kurang sehat." Tapi biarlah. Aku juga sedang sakit perut. "Ayo."

Kami pun berjalan saling bersisian, melangkahkan kaki di dalam kesunyian. Ini agak menggangguku. Biasanya Hanifa adalah gadis yang banyak bicara. Ahnaf ini ... Ahnaf itu ... apa-apa dia tanyakan padaku. Jadi kenapa?

Sepertinya aku mesti memulai pembicaraan.

"Ah. Ngomong-ngomong, pemilihan Ketua Dewan Siswa sebentar lagi, ya?" kenapa juga aku mengungkit soal ini? Seolah-olah aku peduli siapa yang akan memimpin, saja!

"Umm. Dua minggu lagi."

"Ada berapa pasangannya?"

"Yang mencalonkan ada 2. Danish dan Rika. Lalu Fagan dan Akif."

Aku kenal dengan pasangan pertama, tapi untuk pasangan kedua, aku benar-benar gelap petunjuk. Siapa? Tapi, seperti yang aku katakan tadi, seolah aku peduli saja!

"Kau tak ikut mencalonkan?"

Hening sejenak. "Eh!" Hanifa berhenti, lalu menoleh padaku dengan mata melebar. "Eh?! Aku? Kenapa aku?"

Future's VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang