Aku hanya jiwa yang kosong, sibuk bertanya-tanya untuk apa lahir ke dunia? Jika hanya mendapat rasa sakit.
Pagi itu sedikit mendung, [name] mengusap kedua telapak tangannya yang mendingin—berusaha mendapat kehangatan. Mini market pagi ini lumayan sepi. Bibi pemilik mini market tadi menelponnya, memintanya berjaga karena Hinata tidak bisa melakukan shift pagi. Alhasil, dirinya berada di sini, sibuk menata barang-barang di rak. Beruntung jadwal kuliahnya sore dan ia tidak ada pekerjaan di kafe. Soal gadis yang tampak kacau kemarin cukup membuatnya tertarik, benarkah patah hati rasanya sesakit itu?
Sedikit menguap, setitik air keluar dari sudut matanya. Insomnia setiap malam membuat dirinya mengantuk di pagi hari. Malam nanti, ia juga haru kembali bekerja di klub malam. Ia muak, namun tidak bisa berbuat banyak. Lulus tepat waktu dengan nilai bagus dan cepat mendapat pekerjaan lalu menghasilkan uang banyak-banyak. Jangan berasumsi jika [name] adalah gadis matre yang gila harta, itu sama sekali tidak benar.
"[name]-chan, terima kasih sudah menggantikanku tadi," kata Hinata. Gadis itu mengangguk singkat lalu menghentikan pekerjaannya dan menuju ke ruang ganti. "Tidak masalah," balasnya kemudian. Setelah ini, ia segera menuju ke kampus.
Seragam mini market lengan panjang itu telah berganti dengan oversized sweater yang menenggelamkan tubuh mungilnya. Tak peduli dengan cuaca terik di luar sana, gadis itu tetap memakai baju berlengan panjang dengan alibi ia mudah terserang flu dan kedinginan. Rambutnya digelung tinggi ke atas dengan asal, menyebabkan anak rambut yang tidak terikat jatuh dan menambah kesan berantakan. Gadis itu terduduk di halte menunggu bus, ia menggoyang-goyangkan kakinya sesuai irama musik dari earpod yang terpasang di telinga.
Uang gaji yang ia sisihkan sudah cukup untuk membeli ponsel pintar yang diinginkan. Sulit untuk bertahan hidup di era modern seperti sekarang hanya dengan sebuah ponsel jadul yang hanya bisa dipakai untuk menelepon atau mengirim pesan singkat. Bus yang ditunggu pun datang, gadis itu melangkahkan kaki masuk ke dalam. Sebenarnya ia masih punya banyak waktu sebelum jam kuliah dimulai, ia memutuskan akan tidur di perpustakaan yang dingin dan dipenuhi aroma buku.
Perjalanan hanya menempuh waktu sepuluh menit. Areal yang dipijaknya memang selalu sepi, hanya ada segelintir mahasiswa terbuang yang berada di sini. Kedua maniknya menyipit saat melihat pemandangan menakjubkan di hadapannya. Langkahnya terhenti, ia putuskan untuk melihatnya sampai selesai. Pemuda yang belakangan ini mengusik dirinya, sedang dihadang oleh pemuda lain yang tidak dikenalinya.
Gadis itu menyembunyikan badan di balik pilar penompang yang cukup besar. Aish, ia merasa seperti seorang penguntit sekarang. Sungguh, rasanya [name] ingin langsung lewat menerobos keduanya yang tampak serius dengan masa bodo. Matanya terasa perih dan kepalanya pusing, ia ingin tidur. Tapi otaknya masih mampu bekerja dengan baik, bisa saja ia terlibat ke dalam hal merepotkan—padahal hidupnya sendiri juga sudah merepotkan.
Baru kali ini ia melihat pemuda melabrak pemuda lainnya. Biasanya, para gadis yang melakukan itu dengan teman sepermainan mereka. Ah, jangan-jangan ..., [name] menggelengkan kepalanya cepat untuk mengusir pikiran aneh yang baru saja melintas di otaknya. 'Apa benar mereka itu pasangan gay?' Batinnya konyol.
Gadis itu meringis pelan saat melihat pemuda asing itu melayangkan satu tinjuan keras ke rahang Kuroo, membuat Kuroo terhuyung ke belakang. Gadis itu mengintip, lalu mematikan musik yang dimainkan. Percakapan keduanya tak terlalu jelas terdengar, hanya melihat tatapan keduanya—dan tentu kejadian tadi—gadis itu sudah bisa menyimpulkan sesuatu. 'Perkelahian antar lelaki, huh?'
Niat gadis itu berbalik menuju rute lain untuk ke perpustakaan diurungkan. Ekor matanya menangkap sosok gadis patah hati yang kemarin menjadi pelanggannya di kafe. Ini kesekian kalinya, rumor itu memang benar. Kuroo Tetsurou, sang cassanova kampus yang membuat para gadis rela memutuskan pacarnya hanya demi dirinya. Murahan. Dan gadis itu baru saja menyaksikan langsung gosip yang beredar.
[name] terkekeh kecil lalu kembali menghidupkan musik yang langsung menggema di telinganya. Ia merasa bodoh, waktunya habis hanya untuk menyaksikan hal konyol di hadapannya. Pemuda asing tadi sudah terlihat tenang setelah gadis itu datang. Ia dan gadis itu pun pergi meninggalkan Kuroo yang mengelap darah di sudut bibir dengan punggung tangan.
[name] keluar dari tempatnya, berjalan menghampiri Kuroo. "Karma untuk penjahat kelamin sepertimu," celetuknya datar. Kuroo menoleh singkat seolah tak mempedulikan gadis itu, ia kembali mengelap kasar sudut bibirnya yang terluka. "Kau melihatnya?"
"Tentu saja, indera pengelihatanku masih bekerja dengan baik," jawab gadis itu. Ia membuka tas lusuhnya dan mengeluarkan antiseptik, betadine, kapas, dan plester. "Bersihkan dulu lukamu," tukasnya menyodorkan barang yang dikeluarkan tadi.
Kuroo tak merespon dan hanya pasrah saat gadis itu meletakkan barang-barang itu ke telapak tangannya paksa, tidak menerima penolakan, katanya. "Kau selalu membawa semua ini dalam tasmu?"
Sang gadis mengangguk singkat tanpa mempedulikan tatapan aneh yang dilayangkan Kuroo padanya. "Hm, tentu saja. Kau bisa terluka setiap saat," katanya. Ia menyeret Kuroo untuk duduk di sebuah bangku lalu mengambil kapas yang telah diberi cairan antiseptik dan mengarahkannya untuk membersihkan darah yang agak mengering di sudut bibir Kuroo. "Sakit?"
"Gzz, pelan sedikit," kata Kuroo diselingi ringisan kecil. "Oh, maaf," ucap gadis itu polos tanpa dosa setelah ia sengaja menekan permukaan kulitnya sedikit keras. [name] mendengus, "Begini saja kau sudah kesakitan, dasar lemah," cibirnya tajam.
Kuroo tak menjawab, ia tahu jika gadis di hadapannya sangat pandai merangkai kata, jadi ia pilih tuk diam dan membiarkan gadis itu menghinanya sesuka hati. Lengan sweater yang dikenakan gadis itu sedikit terangkat, Kuroo refleks memegang tangan [name] yang masih membersihkan lukanya. "Kau masih melakukannya?" Tanyanya sambil memandang tangan [name] dalam.
"Lepas," jawab gadis itu dingin. Kuroo melepas tangannya, gadis itu menyelesaikan urusannya cepat, memberi betadine dan terakhir menempelkan plester motif binatang yang tampak konyol di sudut bibir Kuroo yang terluka. "Sudah selesai. Kau berhutang budi padaku, penjahat kelamin," kata gadis itu lalu segera ia membereskan peralatannya kembali ke dalam tas lusuh miliknya.
Gadis itu beranjak, berdiri lalu melangkahkan kaki menjauhi Kuroo menuju tujuan awalnya—perpustakaan yang nyaman dan dingin, juga beraroma buku yang khas. Sedikit melangkah, kedua kakinya terhenti lalu menoleh ke belakang menatap Kuroo yang masih terduduk di tempatnya. Kedua bibir mungilnya terbuka mengeluarkan beberapa kata. "Untuk pertanyaanmu tadi ... aku tak punya alasan untuk berhenti." Ia berlalu, pergi meninggalkan Kuroo tanpa mendengar respon pemuda itu.
"Terima kasih."
Jemari Kuroo meraba plester yang ditempel oleh [name] tadi. "Plester motif binatang, hm? Kurasa aku akan menjadi bahan tertawaan penjuru kampus," kekehnya kecil.
Gadis itu, ia sama sekali tak berubah. Sedikit pun, tidak.[]
TBC
Spesial apdet di hari burung q huehehe. Yuhuu ayem bek, jangan jadi sider plis. Awas kalean 🙄 /heh
Kuminta respon positif buat work satu ini:v thank you wkwk~~
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I DIE TOMORROW
Fanfiction[completed] "Thanks for all scars you gave to me." [Kuroo Tetsurou x reader] (Warn! Contain harsh word, violence, selfharm, suidical and other sensitive content) . . . Haikyuu © Haruichi Furudate Zenorys-copyright © 2018