Gadis yang memakai bathrobe itu hanya berjalan mondar-mandir, gusar melihat tumpukkan baju di hadapannya. Oikawa bilang, itu baju milik saudara perempuannya yang kerap kali menginap di apartemennya. [name] percaya saja dan tidak menuduh jika itu adalah milik 'mainan' atau kekasihnya. Sudah dipinjamkan, berprasangka buruk pula. Itu tidak baik. Meski gadis itu tidak menunjukkan tata krama dan seringkali bersikap serampangan, tapi gadis itu tetap mengerti situasi. Ia sedang lelah hanya untuk mengejek atau berdebat tentang hal tak penting. Ia mengangguk saja saat ia hendak membersihkan dirinya.
Dan sebuah masalah besar, gadis itu kini duduk termenung di pinggiran ranjang. Bukan apa, remeh malahan, masalahnya sangat sepele. Tidak ada baju yang berlengan panjang. Mayoritas baju tanpa lengan, bahkan ada yang merangkup crop tee. Sebenarnya, saudara perempuan Oikawa itu orangnya seperti apa?
Tak habis pikir, [name] masih berkecamuk dengan pikirannya. Tak mungkin ia hanya memakai bathrobe saja. Kesannya seperti mengundang sisi serigala Oikawa. Bagaimana pun pula, Oikawa itu seorang laki-laki yang telah melalui fase pubertas. Hormon lelaki itu mengerikan, sebaik apapun ia dan seberapa manis janjinya padamu, habislah jika ia dirubung nafsu.
Meski mengklaim dirinya rusak, [name] tidak separah itu. Paling parah, ia hanya pernah mencoba mencicipi minuman beralkohol berlabel vodka. Sekali teguk, ia langsung hilang kesadaran dan terkena hang over pagi harinya. Itu membuatnya kapok dan tidak mau menyentuh alkohol lagi, apapun jenisnya, meski itu memiliki kandungan alkohol terkecil pun.
Gadis itu mengacak rambutnya yang masih basah. Lalu ia mengambil baju dengan lengan terpanjang dan paling tertutup di antara tumpukkan itu. Hanya sebatas lengan atas, tidak sampai ke pergelangan tangan. Kaus itu menempel dengan pas, mencetak lekuk tubuhnya. Ia mendumal pelan, beruntung saja ia menemukan sebuah celana training panjang di lemari. Akan mengerikan jika hanya terdapat hot pants atau mini skirt. Jika itu terjadi, ia bersumpah akan mencekik leher Oikawa, paling tidak, sampai lelaki itu pingsan.
Suara ketukan pintu membuatnya sempat terhenti mengeluarkan sumpah serapah. "Ada apa?!" Tanya gadis itu dengan suara dikeraskan, efek kesal sepertinya.
"Aku membawakan hair dryer untuk mengeringkan rambutmu," sahut Oikawa dari balik pintu. Ah, [name] pun menyadari jika rambutnya sedari tadi meneteskan air. Gadis itu terlalu malas untuk sekedar memeras air di rambutnya dan mengeringkannya dengan handuk. Memakai benda yang ditawarkan Oikawa memang ide yang bagus.
Gadis itu dengan cepat memakai bathrobenya, tak peduli jika baju handuk itu lembap. Saat tangannya membuka kenop pintu, Oikawa memberikan tatapan bertanya. "Kenapa kau masih menggunakan bathrobe?" Tanyanya dengan satu alis terangkat.
"Harusnya aku yang bertanya, ada apa dengan baju kurang bahan milik saudaramu itu?" Ucapnya balas bertanya dan langsung mengambil hair dryer di tangan Oikawa.
Mendengar hal itu, Oikawa memasang ekspresi berpikir sambil menatap langit-langit kamar. Entah apa yang ia lihat di sana. Ia lalu menggaruk tengkuknya dan terkekeh canggung. "Aku lupa jika kakakku orangnya seperti itu. Kau kedinginan? Biar kunyalakan pemanasnya," katanya.
[name] menggeleng. "Tidak usah. Pinjamkan saja aku jaketmu," katanya pelan.
"Kenapa? Apa karena luka itu?"
[name] langsung menatap sengit Oikawa di hadapannya. Ia benci jika menyinggung tentang luka itu. Bekasnya masih berkedut perih, tapi itu tak sebanding dengan penderitaannya selama ini. "Tidak usah sok tahu," ucapnya masih dengan tatapan nyalang.
Oikawa meraih tangan [name] dan menggenggamnya erat, ia menyingkirkan bathrobe yang menutupi lengannya. Gadis itu meringis karena merasa pedih akibat luka yang belum kering, sementara Oikawa meringis karena melihat luka itu. Rasanya pasti sakit. "Lepas," bisik gadis itu pelan.
"Luka ini harus diobati," balas Oikawa. [name] menggeleng lemah. "Kubilang lepas, kau tidak tuli, 'kan?" Suaranya berteriak, namun ada getaran di dalamnya.
Seorang [name] tidaklah sekuat itu, ia begitu rapuh dan sangat pandai menyembunyikan kerapuhannya. "[name]. Turuti perkataanku atau aku akan memperkosamu di sini."
Kedua bola mata gadis itu membola, ia menatap tajam pemuda yang masih menggenggam tangannya lalu berdesis. "Kau takkan berani."
Oikawa tertawa pelan, tangan yang lainnya membelai lembut pipi halus bak porselen yang sebenarnya tak pernah mendapat perawatan khusus. "Tentu saja aku berani, sayang. Kau wanita dan aku pria, dan lagi, kau sedang dalam keadaan lemah sekarang. Jadi, turuti saja perkataanku, ok? Kita obati dulu lukamu," ucap Oikawa kemudian menarik tangan gadis itu hingga ia terduduk di sofa ruang tengah yang tampak luas.
"Dasar brengsek!" Maki gadis itu, namun tak dipedulikan oleh Oikawa yang tengah sibuk dengan kotak P3K yang baru saja diambilnya.
"Buka bathrobemu," perintah Oikawa, melihat tak ada reaksi, Oikawa pun berdecak gemas. "Buka, atau aku yang akan menelanjangimu sekarang juga," katanya penuh penekanan dan ancaman.
Gadis itu merotasikan kedua bola matanya jengah. Ia tak menyangka jika Oikawa bisa semenyebalkan ini. Ia tahu, pemuda di hadapannya tak bermaksud, tapi tetap saja, itu membuatnya muak. Dengan setengah hati, ia melepas bathrobe yang melekat di tubuhnya. Oikawa sedikit terkejut, gadis di hadapannya ternyata memiliki tubuh yang bagus. Ah bukan, ia segera menepis pikiran kotor yang mampir begitu saja di otaknya.
Kulit pucat milik gadis itu dihiasi luka sayatan dan memar. "Siapa yang membuatmu seperti ini?"
Satu alis gadis itu terangkat, "Tentu saja, aku sendiri. Aku senang melakukan selfharm. Kurasa kau sudah tahu hal itu," jawab gadis itu enteng.
Oikawa menghela napasnya, tangannya sibuk dengan obat luar dan plester. "Bukan, tak mungkin menyayat lengan dapat menyebabkan memar di sekujur tubuh. Siapa yang melakukan ini padamu?" Tanyanya lagi.
Gadis itu bungkam, enggan menjawab. Lidahnya terasa kelu dan kaku. Melihat reaksi gadis di hadapannya, Oikawa hanya memberikan tatapan sendu. Gadis ini belum siap menceritakannya, ia pikir ia mengetahui tentangnya. Dugaannya salah, masih banyak misteri yang meliputi gadis itu.
"[name], jika kau tidak dapat mencintai orang lain, setidaknya, cintailah dirimu sendiri."
[name] tertegun, tanpa dikomando, setetes air mata meluncur begitu saja dari pelupuk matanya. Oikawa menghapus lembut air mata dari pipi gadis itu. "Jika aku bisa, aku ingin. Tapi, apa gunanya? Jika yang ku terima hanya rasa sakit tak tertahankan? Aku lelah," katanya terisak. Sial, ia benci menangis. Ia benci menjadi lemah, terlebih, ia benci dikasihani. Ia tak butuh semua itu.
Oikawa mendekap tubuh gadis itu, berusaha menenangkannya. Gadis di dekapannya telah menjalani kehidupan yang berat. [name] sempat mematung, hidungnya tergelitik aroma tubuh Oikawa yang membuatnya tenang. Ragu, pada akhirnya ia pun balas memeluk Oikawa. Setidaknya, hal itu bisa membuatnya tenang untuk sementara.
"Kau bisa cerita padaku jika sudah siap. Aku akan selalu ada untukmu," ucap Oikawa sambil mengelus puncak kepalanya. Biasanya, gadis itu akan memberontak dan mengeluarkan umpatan kasar. Hanya kali ini, ia membiarkan sisi rapuhnya terlihat. Hanya di depan Oikawa Tooru, yang dipikir dapat menjadi tempatnya menemukan kasih sayang.
Tapi hei, apa gadis itu lupa suatu hal? Suatu janji penting yang dulu kala dibuat, yang hanya kedua orang itu yang tahu. Dirinya dan juga dia. Penyelamatnya.[]
TBC
Janji deh, chap depan giliran si kucing garong :) /ditimpuk
Dan iya ya, kalo kalian nyadar, si rea gapunya kepribadian tetap ya? Tadinya malu malu langsung beringas gitu -_- tapi aku udah netepin kalo dia karakternya itu kasar, hobi ngumpat, sok kuat padahal lemah. Jelek banget ya, wkwk 😂 gapapa, kuroo tetep cinta kok 🌚
KAMU SEDANG MEMBACA
IF I DIE TOMORROW
Fanfiction[completed] "Thanks for all scars you gave to me." [Kuroo Tetsurou x reader] (Warn! Contain harsh word, violence, selfharm, suidical and other sensitive content) . . . Haikyuu © Haruichi Furudate Zenorys-copyright © 2018