Sore hari... di teras rumah...
Langit yang tadinya biru berubah menjadi gelap. Perlahan-lahan langit mulai menumpahkan butiran hujan. Aku menatap langit. Berharap agar hujan lekas reda.
Bukan karena aku tak senang pada hujan. Bagaimana pun hujan merupakan rahmat, bukan?
Melainkan aku ingin mengingat tentang dirinya. Dirinya yang selalu hadir saat langit senja muncul. Cahaya matahari yang menambah keindahan langit membuatku dapat merasakan kehadirannya.
Aku tahu. Aku tak boleh terlalu memikirkannya. Namun mau bagaimana lagi? Setiap aku mencoba berhenti memikirkannya di pagi hari, dan ketika senja aku malah semakin memikirkannya.
"Ummi."
Aku tersadar. Ternyata sedaritadi aku bersama bocah kecil cantik ini. Fatiya, umurnya baru menginjak delapan tahun. Salah satu anak yang mengaji bersama ku. Dan mereka yang mengaji dengan ku biasanya memanggil ku Ummi.
"Ada apa, Tiya?"
"Tiya boleh tanya Ummi sesuatu ngga?" Tanya pada ku. Sebenarnya hari ini tak ada jadwal mengaji. Namun orangtua Fatiya menitipkan anaknya padaku.
"Tiya mau tanya apa sama Ummi?"
Fatiya terlihat agak berpikir. Wajah imutnya yang semakin imut dengan jilbab pink yang ia gunakan.
"Pacaran itu apa sih, Ummi?"
Aku sedikit terkejut. Ia bertanya dengan polosnya. Ia bahkan baru berusia delapan tahun, dan sekarang malah bertanya tentang itu. Apa jangan-jangan.... astaghfirullah, aku tak boleh su'udzon.
"Memangnya kenapa Tiya tanya itu?" Tanganku membenarkan jilbab yang ia kenakan. Ah.. begini rasanya memiliki anak..
"Tadi Mario teman Tiya, marah-marah sama Tiya, Ummi."
"Loh, marah-marah kenapa?"
"Waktu berangkat sekolah, Tiya liat Mario sama Dini berangkat kesekolah bareng, Ummi. Trus mereka juga pegangan tangan."
"Tiya kan juga mau pegangan tangan sama Dini. Jadi, Tiya lepasin pegangan tangan mereka, Ummi."
Aku menahan tawaku. Lucu sekali. Anak kecil jaman sekarang bahkan sudah mengenal pacaran. Aku menatap Tiya. Dia sepertinya berusaha mengingat lebih detail kejadiannya.
"Oh iya, pas kita udah disekolah. Dini langsung lepasin tangan Tiya trus pergi gitu aja. Mario udah manggil tapi Dini pergi aja. Abis itu, Mario ngeliatin Tiya ngeri banget. Mario bilang gini ke Tiya, "Tiya kamu kenapa sih? Kamu gatau aku sama Dini pacaran? Jangan ganggu aku lagi Tiya!"
Kulihat mata Fatiya berkaca-kaca. Ya Allah, kenapa ia menangis? Apa karena dia cemburu? Sudah seperti orang dewasa saja...
"Tiya kenapa sedih?" Tanya ku hati-hati. Aku takut tangisnya meledak. Nanti orang-orang mengira aku menganiaya Fatiya.
"Tiya sedih Mario bilang jangan ganggu dia lagi. Padahal Tiya kan ga pernah ganggu Mario. Dia teman Tiya, Ummi..."
Aku memeluk tubuh mungil Fatiya. Berusaha menenangkan dirinya. Fatiya tak menangis. Ku lepaskan pelukanku saat ku lihat ia akan mengatakan sesuatu.
"Kenapa Tiya?"
"Tiya baru ingat. Waktu Tiya masuk ke kelas, semua teman sekelas mengejek Tiya, Ummi."
Kasihan Fatiya.
"Mengejek bagaimana, Tiya?"
"Teman Tiya yang namanya Dio bilang gini, "dasar PHO, ga punya pacar sih makanya gangguin pacar orang."
Ada sedikit rasa geli. Anak SD berbicara layaknya sudah tau segalanya saja.
"Ah ada satu lagi, Ummi."
"Apa itu?"
"Gina bilang gini ke Tiya." Tiya berdiri sambil berkacak pinggang. Sepertinya ia menirukan gaya temannya. "DASAR JONES!!"
Dan aku pun tertawa. Begitu juga Fatiya. Kami tertawa bersama. Lega rasanya. Semua beban hilang hanya dengan mendengar kisah anak SD yang konyol.
Dalam tawa ku, aku teringat satu kata.
Pacaran.
Lalu aku tersenyum. Aku teringat apa katamu.
"Tak perlu pacaran, aku akan datang kerumahmu. Kita akan menikah."
🌇🌇🌇
Terima kasih telah mampir.
Jangan lupa tekan bintang dan mengisi kolom komentar
Rantauprapat, 17 Feb 2018
Tertanda
Pecandu langit senja
KAMU SEDANG MEMBACA
Di ujung Senja[COMPLETED]
Short StoryBahkan hingga di ujung senja, aku masih menanti mu, berharap kau datang. Aku juga... mendoakan mu.