Langit jingga dengan harum aroma tanah karena tetesan hujan membuat diriku tenang. Mata ku masih saja menatap jalanan kota Bogor, kota yang dulunya saksi bisu kejadian setahun yang lalu.
Ku pejamkan mata ini. Sudah setahun berlalu, tapi bayangan itu masih saja begitu menyayat hati jika aku mengingatnya. Saat mata cokelat miliknya menatap ku.
Satu tahun yang lalu saat semua peristiwa buruk itu terjadi. Aku masih bisa mengingatnya dengan jelas. Saat-saat Senja mengucapkan ijab di depan semua orang. Saat aku mencium tangannya. Saat ia juga balik mencium, keningku.
Aku juga masih ingat saat malam tiba, kau mendadak ingin membeli sarung baru. Aneh. Tapi aku sama sekali tak memiliki firasat apa pun. Padahal malam itu, cuaca juga... buruk. Aku masih ingat, kau tak biarkan aku ikut. Namun aku tetap ingin ikut.
Dengan motor hadiah dari ayah mu kita berjalan mengelilingi kota. Mencari toko yang masih buka. Dan lagi-lagi, masih teringat jelas kau menyuruh ku untuk bersholawat. Aku tak curiga. Lagi pula sudah menjadi kebiasaan ku bersholawat saat berkendara. Hingga akhirnya, diperempatan jalan, sebuah mobil melaju kencang. Kau berusaha menghindar dengan berbelok ke kiri hingga akhirnya kita sama-sama jatuh dari motor.
Baju putih yang kau kenakan berubah menjadi merah. Tak ada yang ku ingat lebih dari itu. Terakhir aku melihat mu tersenyum, setelah itu semuanya menjadi gelap.
Tanpa ku sadari, air mata sudah menetes hingga membasahi jilbab biru yang ku kenakan saat ini.
"Ada apa Fatimah? Kenapa menangis?" Aku mengusap air mataku dengan telapak tangan. Ku terbitkan senyum sambil melihat ke samping.
"Aku tak apa-apa, A-abi."
Ku lihat dia tersenyum. Ahtar. Ahtar Radimas. Sudah dua hari aku menjadi istri sahnya. Tak kusangka, dia memilih ku sebagai pendamping hidupnya. Bahkan saat ini ia mau mengantar ku mengunjungi Senja.
Mobil hitam milik Ahtar berhenti di depan TPU. Aku sudah bersiap untuk keluar, namun tangan halus miliknya menahanku.
"Sebentar, diluar masih gerimis."
Ahtar mengambil payung di jok belakang dan keluar. Dengan memutari sisi mobil, ia membuka pintu mobil untuk ku. Juga memayungi ku.
Aku tersenyum. Terima kasih, Ya Allah.
🌇🌇🌇
Dan disini lah aku. Di depan makam orang yang berarti dalam hidup ku. Orang yang dulu mengubahku dari jalan yang buruk menjadi ke jalan yang baik. Dialah... Senja.
Tepat hari ini, hari dimana ia meninggalkan ku. Hari yang paling aku sendiri tak harapkan terjadi.
Aku terduduk. Menatap kosong batu nisan di depan ku. Tak ku perdulikan tanah yang basah karena hujan. Air mata ini. Air mata ini... tak lagi bisa ku tahan. Aku menangis. Untuk kesekian kalinya. Menangisi takdir yang ternyata tak membiarkan ku bersama Senja.
Air mata ku terus saja membasahi pipi hingga jilbab ku. Ku rasakan tangan Ahtar di pundak ku.
"Pegang payung ini, aku akan kembali ke mobil."
Aku mengangguk. Ku pegang gagang payung yang Ahtar berikan pada ku. Sebelum ia pergi, ia membisikkan sesuatu pada ku.
"Jangan bersedih, aku selalu ada untuk mu."
Setelah kepergiannya, aku kembali meneteskan air mata. Kali ini entah apa yang ku tangisi.
Lihat lah Senja.
Allah benar-benar menyayangi ku. Ia mengambil dirimu dan memberikan Ahtar pada ku.
Senja, terima kasih atas segala yang kau lakukan. Terima kasih pernah menjadi orang yang selalu mengingatkan ku pada Allah. Terima kasih sudah menjadi Senja yang menghangatkan.
Setelah aku berdoa dan membersihkan sebentar kuburan Senja, aku bangkit dan berjalan menuju mobil. Tanpa berbalik. Menatap kembali bayang Senja.
Biarlah.
Biarlah di ujung senja ini, aku memulai lembaran yang baru.
Bukan berarti aku melupakan Senja. Bukan berarti pula aku tetap dalam bayang Senja. Aku hanya akan menjadikannya sosok yang berharga yang pernah aku temui di dunia ini.
Ahtar yang sedaritadi bersandar di sisi mobilnya kini berdiri dan tersenyum pada ku.
Aku balas tersenyum.
Terima kasih, Ya Allah.
Terima kasih pernah menghadirkan Senja di hidupku dan mendatangkan Ahtar sebagai pendamping hidup ku.
Terima kasih...
[END]
🌇🌇🌇
KAMU SEDANG MEMBACA
Di ujung Senja[COMPLETED]
Short StoryBahkan hingga di ujung senja, aku masih menanti mu, berharap kau datang. Aku juga... mendoakan mu.