3

664 95 2
                                    

Kim Mingyu.

Kugenggam jemari dengan selang infus yang tertusuk di punggung tangan. Hangat tanpa pergerakan. Dua hari sudah Seokmin tak sadar.

"Bangunlah.." lirihku. Tenagaku bahkan seperti menguap antah berantah, "Aku ingin melihat senyummu lagi," Hanya satu yang dapat mengembalikan semua; senyumannya.

Ruang ini sunyi. Hanya ada suara angin dari luar jendela yang membelai lembut dedaunan. Bukan tenang, tapi takut yang kurasakan. Takut kalau-kalau nanti angin bawa yang kusayang ini pergi.

Kejadian dua hari lalu, masih terngiang jelas di mataku. Semua berputar bagai film yang distel ulang. Darah dimana-mana.

Akan kuperjelas, dua hari lalu Seokmin pingsan di toilet dengan darah yang keluar dari mulut dan hidungnya. Dokter bilang, penyebabnya masih belumlah jelas.

'tok..tok!'

Ketukan pada pintu membuatku terlonjak, "Masuk!" suaraku agak keras.

Dokter rupanya, "Hasil labnya sudah keluar. Bisakah aku bicara dengan kedua orang tuanya?"

"Ah, akan kutelponkan sebe-" ucapanku terpotong oleh suara pintu.

'krieeet'

Beruntung, itu ayah dan ibu Seokmin, Choi Seungcheol dan Choi Jeonghan, "Kebetulan sekali. Aku ingin bicara dengan kalian," Dokter yang mulai, "Ikutlah ke ruanganku!" ujarnya sambil beranjak dari tempat.

"Mingyu, kau tunggulah di sini. Biar ibu dan ayah yang keruang dokter," ucap ibu lembut. Sebenarnya aku ingin tau apa yang terjadi, tapi biarlah. Mereka pasti memberitahuku nanti.

Kini tinggal aku dan Seokmin. Lagi. Berdua ditambah keheningan. Kusingkap rambut yang menutup keningnya, "Ayah, ibu, aku, dan teman-teman merindukanmu, sembuhlah untuk kami, sayang..."

Terserah kalau kalian mau bilang aku ini gila karena bicara dengan orang yang sedang dalam keadaan kritis. Aku tak peduli.

Aku hanya ingin kekasihku ini bangun. Aku ingin ia bahagia seperti dulu. Aku ingin bisa kembali bersamanya seperti dulu. Aku ingin melihat senyumnya. Aku ingin melihat tawanya. Aku ingin dengar suaranya. Aku ingin dia kembali. Aku ingin dipeluk manja lagi. Aku ingin-

"Sial!" Aku benar-benar kacau.

Kutatap langit-langit, menghindari air mata yang siap tumpah. Aku tak mau menangis, Seokmin tak akan suka kalau aku sampai menangis.

Detik hingga menit berlalu. Pintu kembali terbuka. Ibu kembali dengan mata sembab, pasti beliau habis menangis. Ya Tuhan, tolong jangan jadikan ini tanda berita buruk. Kumohon.

Ayah menatapku sambil menuntun ibu menuju sofa khusus. Ayah tak menangis seperti ibu, tapi aku tahu, kesedihan amat kentara di matanya.

"Mingyu, ikutlah aku sebentar," kuikuti langkah beliau; keluar ruang inap.

Di kursi tunggu kami berada. Ayah menatapku, lagi. Firasatku benar-benar tak enak.

"Kim Mingyu, kuharap kau siap dengan segala yang akan kukatakan."

.

.

.

.

.

****

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang