The Last

985 83 9
                                    

Tepat hari itu. Sore itu. Dia benar-benar tertidur. Matahari pun seolah tahu dengan akhir dari kisah ini. Semua benar-benar sudah usai.

Matahari hidupnya sudah benar-benar tenggelam. Tertidur. Dan tak akan pernah bangun lagi.

Seokminnya sudah tiada tepat di pelukannya. Di tempat ini, kemarin sore.

Sebuket bunga matahari yang kemarin ia berikan bahkan setia berada di bangku ini. Tapi itu sudah layu, tak indah lagi seolah menggambarkan benar apa yang telah terjadi.

Sekarang mingyu tahu kenapa kemarin Chan dan Yuna berbeda dari sifat nyatanya.

Seseorang yang sakit keras berada dalam performa terbaiknya adalah tanda. Itu adalah waktu yang Tuhan beri untuk berpamitan kepada mereka yang disayang. Dan Seokmin memanfaatkan itu dengan baik.

Mingyu tak menangis. Sudah tak bisa menangis lebih tepatnya. Air matanya sudah kering. Hingga satu tepukan di pundaknya mengalihkan lamunannya; Yuna.

Mingyu menggeser sedikit posisi duduknya untuk Yuna duduk. Yuna paham dengan isyarat itu.

Hening awalnya. Hingga sang gadislah yang membuka pembicaraan, "Kita menyayangi orang yang sama."

Bola mata Mingyu bergerak tak nyaman hingga beralih pada gadis di sebelahnya, "Apa maksudmu?"

"Seokmin pasti pernah memberitahumu kalau aku dan dia ada pada kelas yang sama saat sekolah dulu," Yuna tersenyum. "Dia orang yang baik. Dia berbeda dari kebanyakan orang. Dan saat itu, aku menyukai Seokmin."

Yuna memandang langit, "Aku sempat merasa iri padamu. Seberapa besar Seokmin mencintaimu hingga pada nafas terakhirnya hanya dirimu yang ada di pikirannya."

Migyu tak menjawwab apapun. Tatapannya memandang sendu rerumputan di depannya.

"Ini," Yuna memberikan toples bening berisi beberapa lipatan kertas berbentuk pesawat. "Seokmin sengaja meninggalkan ini di rumah sakit."

Ia ingat apa ini. Hal yang saat itu Seokmin minta padanya. Dan benar, ada saatnya untuk Mingyu membaca itu. Sendiri.

"Aku pamit dulu. Jangan terlalu lama bersedih. Seokmin tak akan suka dengan itu," Yuna mencoba memberi sedikit semangat.

Kepergian Yuna tak Mingyu hiraukan. Jemarinya memutar penutup toples.

Kertas pertama; biru.

Semoga Mingyu selalu sehat!

Kertas kedua; jingga.

Mingyu itu tampan, tapi akhir-akhir ini aku melihatnya sedikit kurus.

Semoga Mingyu selalu bisa makan makanan enak!

Kertas ketiga; kuning.

Senyum Mingyu enak dipandang.

Kuharap Mingyu selalu bisa tersenyum.

Kertas keempat; tosca.

Mingyu hampir menciumku, tapi segera kutahan.

Aku tak ingin Mingyu tertular dan sakit juga.

Biar aku saja yang sakit, dia jangan!

Kertas kelima; ungu.

Mingyu bercita-cita menjadi arsitektur.

Semoga ia menjadi arsitek yang handal!

Kertas keenam; hijau.

Semoga Mingyu dapat melupakanku dengan mudah.

Kertas terakhir; Putih.

Aku mencintai Mingyu. Dia yang selalu menemaniku.

Kalau aku harus pergi sekarang, setidaknya beri Mingyu kebahagiaan yang lebih.

Semua kenangan bersamanya adalah yang terbaik.

Kalau aku memiliki kesempatan hidup untuk kedua kalinya,

Tuhan, bisakah aku bersama dengan Mingyu?

Setidaknya, biarkan aku mengucapkan terima kasih padanya.

Terima kasih untuk segala kasih sayangnya.

Terima kasih untuk segala kenangan indah yang pernah dibuatnya.

Dan terima kasih untuk cintanya hingga akhirku.

Terima kasih.

-end-

.

.

(w/n)

Dah abis eheeee. Gatau mau ngomong apa, karena ini kurang berkesan pasti. Tapi saya mau promosiin work yang satunya. Kali aja ada yang belum baca. Buka akun saya aja, judulnya 'Heart'. Okedeeh, selamat ketemu di sebelah yaaa!!

.

.

-Omake-

"Sayang, kamu dimana?" teriakan nyaring dari seorang ibu muda di taman belakang rumahnya. Rambut hitamnya yang diikat setengah bagian menambah kesan hangat yang ditampilkan.

"Ibu! Lihat apa yang Seokmin bawa!" bocah berusia enam tahun itu menyodorkan setangkai bunga matahari. Pipinya tercoret oleh bekas pasir. Sang ibu menghela napas sambil melipat tangannya di depan dada.

"Kamu melakukannya lagi, hm?" Beberapa kali memang bunganya hilang. Tau-tau saja sudah ada di dekat dapur, kamar, bahkan di ruang TV. Ia paham, putranya hanya ingin membuatnya senang.

"Itu karena bunga ini cantik, seperti ibu," si kecil bernama Seokmin itu mengerucutkan bibirnya, "Oh– tidak! Ibu jauh lebih cantik!"

Tak jadi marah, sang ibu justru terkekeh, "Siapa yang mengajarimu menggombal seperti itu, Seokmin sayang?" pipi yang sedikit tembam dicubit pelan.

"Ayah yang mengajari Seokmin! Ayah bilang, ibu paling suka kalau dibilang cantik melebihi bunga matahari ini!" Oh, jadi suaminya yang berlaku begitu?

Tatapan seolah meminta kejelasan ia arahkan pada pria lain yang baru saja keluar dengan tangan dan wajah tak kalah kotor seperti sang anak, "Kau 'kan memang cantik Kim Yuna."

"Tapi bukan berarti kau bisa mengajari anakmu menggombaliku, Kim Mingyu! Kau mau anakmu dikejar banyak wanita karena bakat menggombal yang kau turunkan?"

"Bagus dong kalau Kim Seokmin kecil kita banyak yang suka. Tinggal pilih calon pendamping ahaha!" Ledakan tawa dari Kim Mingyu menggema akibat memperhatikan raut wajah istrinya.

"Ish!" Yuna mengalihkan pandangannya pada putranya, "Sayang, ayo kita masuk. Kamu harus membersihkan tubuh. Biar saja ayahmu tak makan pudding stroberi yang baru ibu buat."

Mingyu bergegas mengejar anak dan istrinya. Bibirnya sudah cemberut sedih karena tak mendapat jatah pudding favoritnya. "Yunaku sayang yang paling cantik, aku kan hanya bercanda. Beri aku pudding ya ya ya ya??"

Tak ada balasan dari Yuna. Si kecil pun hanya memandangi orang tuanya yang sibuk bernegosiasi dengan penuh ketidakpahaman. Ah, keluarga kecil yang lucu –atau aneh?

-Beneran End:')-

ThanksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang