Seorang gadis tengah menatap layar laptopnya dengan serius. Sudah beberapa hari ini kemampuannya merangkai kata, membentuk sebuah cerita, dirasa semakin menurun saja. Selma Naomi Amida namanya. Akrab dengan panggilan Nao. Sejak SMA, dia sudah berkecimpung di dunia tulis-menulis. Menurutnya, dengan menulis, semua yang tak bisa dikatakan, tetap bisa diluapkan.
Nao menenggelamkan kepala di atas lipatan tangan. Ia putus asa karena lembar microsoft word di hadapannya masih terlihat kosong. Jika biasanya langit kehitaman selalu menyimpan ide-ide manis dalam setiap butiran air hujan yang ditumpahkan, kali ini tidak. Otaknya seperti tak terisi sama sekali.
"Ini butek banget, Ya Allah," gumamnya. Nao rasa ia butuh piknik. Ke tempat di mana ide-ide mungkin menggunung di sana.
"Kalau kamu mau kuliah, harusnya kamu bisa menjadi orang yang lebih baik daripada sekarang. Lihat Namira, dia baru saja wisuda. Mama tadinya mau lihat kamu kayak gitu, Nao, bukan cuma duduk di kamar sambil melakukan hal yang sama sekali gak ada manfaatnya. Menghasilkan uang pun enggak."
Kepala gadis itu terangkat. Dengan kesal ia memutar bola matanya. Ini bukan kali pertama. Sang mama sudah berkali-kali bicara demikian. Tidak bermanfaat? Oh, ayolah! Nao bahkan bisa punya banyak teman dengan menulis. Dan tentang menghasilkan uang ... mungkin untuk sekarang memang belum karena Nao hanya memublikasi tulisannya di media sosial, tidak berani mengirimkannya pada penerbit. "Ma, Nao suka menulis. Biarkan Nao berkembang dengan apa yang Nao sukai, bukan karena apa yang Mama kehendaki."
Nao mendengar mamanya menggerutu, lalu pergi setelahnya. Namun, ia berusaha untuk tak menanggapi lagi karena merasa sudah sangat terbiasa. Nao tak mengerti, apa yang salah dengan menulis? Toh dewasa ini banyak sekali orang yang sukses berkat menulis. Nao yakin kalau dirinya adalah salah satu di antara mereka. Iya, Nao seoptimis itu.
***
"Bang, mau handphone. Semua teman-teman aku udah punya."
Orion menelan susah payah makan malamnya, kemudian mengembuskan napas. Semakin berat saja beban di pundaknya. Padahal ia sedang berpikir keras bagaimana caranya memperoleh uang untuk biaya study tour Alfa ke Yogyakarta dekat-dekat ini. Sekarang bertambah lagi karena Alfa meminta ponsel. Sebenernya Orion memiliki tabungan, hanya saja itu akan digunakannya untuk masa depan Alfa. "Abang usahakan, tapi gak dalam waktu dekat."
Alfa membuang pandangannya ke arah lain. "Abang tuh kayak gak sayang sama aku. Apa-apa ditunda. Temanku aja sekali minta langsung dikasih."
"Kamu harus bisa menempatkan diri, Al. Kita beda dari mereka."
Orion berusaha memberi penjelasan sehalus mungkin agar adiknya tak tersinggung, apalagi bersedih. Alfa memang harus tahu kalau mereka itu berbeda. Allah menjadikan keduanya tokoh-tokoh spesial dengan permasalahan yang kompleks. Orion Nadif Yudistira dan Alfa Nadif Yudistira adalah anak yatim piatu. Orang tua mereka meninggal dunia karena bencana alam beberapa tahun silam ketika sedang mengunjungi keluarga dari Hasbi——ayah Orion dan Alfa di Aceh. Beruntung pada waktu itu mereka dititipkan di rumah neneknya di Bandung, jadi tak harus menyaksikan betapa mencekamnya kejadian tersebut. Banyak orang berlari pontang-panting menghindari gulungan ombak. Walaupun, pada akhirnya banyak sekali korban berjatuhan. Tergerus ombak, juga tertimpa puing-puing reruntuhan——termasuk orang tua mereka. Orion sempat berpikir, kenapa mereka tak ikut saja ke sana? Agar ia, adik, dan orang tuanya bisa pergi sama-sama.
Semula Orion dan Alfa dalam asuhan nenek dari pihak mamanya. Namun, setelah sang nenek meninggal, mau tak mau Orion menjadi tulang punggung keluarga, membiayai kehidupan si bungsu yang kini duduk di bangku SMP.
"Iya kita beda! Kita yatim piatu, orang gak punya, dan Abang udah malas nurutin kemauan aku. Gitu, 'kan?"
"Al, bukan gitu. Abang cuma--"
"Aku ngerti," potong Alfa cepat.
Orion menekan pangkal hidungnya. Apa belum cukup rumit masalahnya selama ini, sampai-sampai Allah mengirimkan masalah baru lagi? Lelaki itu menunduk dalam, berusaha menahan diri agar tak menangis. Orion kehilangan masa remajanya karena sekelumit permasalahan yang ada. Sejak kelas XI, ia sudah bekerja paruh waktu. Ikut berjualan nasi goreng membantu tetangganya. Dari pukul 17.00 sampai 01.00 WIB. Orion tidak bisa bermain seperti teman-temannya yang lain. Namun, itu bukanlah masalah besar. Asalkan semua kebutuhan Alfa terpenuhi, Orion sudah bahagia. Ya, dengan gaji yang tidak seberapa itu, Orion berusaha membesarkan sang adik. Sekarang di usianya yang masih 23 tahun, masalah justru kian menumpuk. Membuat kepalanya seolah siap meledak kapan saja. "Ma, Pa, doakan Ori kuat menghadapi semuanya."
Bersambung ...
***
Hallo, aku gak sabar dan akhirnya posting juga. Jadi, gimana? Menurut kalian layak lanjut kah? Jangan lupa tinggalkan jejak, ya 😊
Terima kasih ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ORINAMI; Tentang Hati Yang Menjadikannya Alasan « Selesai »
RomanceSelma Naomi Amida adalah seorang penulis. Sejak duduk di bangku SMA, cerita sad ending selalu menjadi santapan favoritnya--terutama tentang kanker. Bagi Nao, cerita seperti itu lebih banyak menitipkan pesan. Bahkan, ia tak segan bertemu langsung den...