Orion : Aku nggak pernah seserius ini.
"Papa Nao deg-degan!" jerit Nao tanpa sadar. Namun detik berikutnya ia segera menutup mulut, terlebih ketika menyadari tatapan bingung papanya.
Pesan paling akhir yang dikirim Orion sungguh membuat perasaannya tak karuan. Seperti ada jutaan gelembung yang meletup dalam perutnya, menyebabkan hawa panas menguar membentuk rona merah di pipinya. Sedari tadi ia diam, menggigit bibir bawahnya, membaca bolak-balik pesan tersebut karena tidak percaya. Tapi, rasa bahagia itu terlalu besar sampai Nao tak sanggup menahannya lagi.
Anton hanya bisa mengernyit bingung melihat kelakuan putrinya. Bahkan, sekarang anak itu menangkup kedua pipinya, dengan senyum merekah sempurna, dan wajah semerah kepiting rebus. "Kamu itu kenapa, Nao?"
Nao menggeleng kuat. Kedua tangannya masih tertahan di pipi, berusaha menyamarkan rasa tersipu yang tercetak jelas di sana. Tapi, tunggu. Apakah ini benar Orion? Bisa saja Alfa sudah pulang, dan dia yang sedang menjahilinya sekarang. Daripada ia senang berlebihan hingga akhirnya menuai kecewa, lebih baik Nao menanyakannya sekali lagi pada Orion.
Nao : Ori, kamu nggak lagi ngerjain aku, 'kan? Nanti aku malu, udah geer duluan tahunya kamu cuma bercanda 😅
Orion : Terlalu cepat, ya, jadi kamu bingung.
Nao : Ha? Emh ... nggak sih, aku cuma kaget aja.
Nao memilih berpamitan pada sang papa untuk masuk kamar, menghindari teriakan susulan yang mungkin akan membuat papanya kembali terkaget-kaget. Entah teriakan karena terlalu senang atau justru kesal.
Gadis itu menyimpan laptopnya dengan baik di atas meja belajar, kemudian melompat ke tempat tidur, berbaring sembari menunggu balasan dari Orion.
Orion : Maaf kalau terkesan buru-buru. Jujur aku bingung dengan perasaan ini. Aku coba cari di google kebenaran tentang apa yang aku rasakan, tapi nggak ada jawaban. Jadi, aku memutuskan untuk bilang langsung sama kamu. Dan terbukti ... aku lega.
Lega?
Nao membenamkan wajahnya pada bantal. Berusaha mencerna kata-kata Orion. "Oke, Nao, napas dulu. Maksudnya ini gimana sih?"
Nao yang mendadak tulalit atau memang kata-kata yang dirangkai Orion terlalu sulit digali maknanya?
Orion : Mikirin kamu itu nggak beda jauh sama efek samping setelah minum salbutamol. Bikin jantung berdebar-debar. Itu yang aku rasakan.
"Ini Ori lagi gombal atau jualan obat sih? Ya ampun kok aku geli, tapi senang," gumamnya sebelum berguling-guling di kasur sembari tertawa. Demi apa pun Nao sangat bahagia.
Orion : Nao? Apa kamu marah? Maaf kalau aku terlihat kampungan, tapi sebelumnya aku memang nggak pernah mendekati perempuan. Jadi mungkin aneh.
Tawa Nao meledak lagi. Orion terlalu polos dan jujur. Namun, tak bisa dipungkiri, Nao merasa istimewa karena pernyataan laki-laki itu.
Takut Orion salah paham dan berujung dengan batalnya peresmian hubungan mereka nanti, Nao segera mengetik balasan.
Nao : Aku mau tanya dulu boleh? Selama ini aku sama sekali gak melihat gelagat orang jatuh cinta dari diri kamu. Kamu bersikap santai bahkan terkesan cuek. Apa yang pada akhirnya membuat kamu menyimpulkan kalau kamu jatuh cinta sama aku? Aku hanya mau memastikan. Kalau aku memang perempuan pertama yang kamu dekati, kamu pun laki-laki pertama yang akan aku terima (jika serius).
Orion : Aku tahu ini akan kamu pertanyakan. Tapi, kita harus berhadapan langsung untuk memperjelas semuanya. Dua pasang mata yang saling bertemu biasanya lebih bijak menjelaskan, daripada mulut yang cenderung banyak bohongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ORINAMI; Tentang Hati Yang Menjadikannya Alasan « Selesai »
Любовные романыSelma Naomi Amida adalah seorang penulis. Sejak duduk di bangku SMA, cerita sad ending selalu menjadi santapan favoritnya--terutama tentang kanker. Bagi Nao, cerita seperti itu lebih banyak menitipkan pesan. Bahkan, ia tak segan bertemu langsung den...