Orion menekan-nekan dadanya yang terasa nyeri. Lagi, ini bukan sesuatu yang baru baginya. Seakan tak cukup itu saja, batuk pilek juga turut mengganggu.
Pemuda itu bersandar pada rak berbahan dasar kaca yang berisi obat-obatan sembari memejamkan mata, berharap rasa sakitnya lekas hilang. Namun, hingga beberapa saat bertahan dalam posisi seperti itu, sakitnya masih enggan menyingkir.
"Permisi."
Kelopak mata Orion terbuka. Ia buru-buru bangkit, berniat melihat siapa yang kali ini datang ke apotek.
"Loh, Nao?"
Nao tersenyum lebar. "Hai, Ori."
"Kamu sengaja ke sini? Mau beli apa?"
Bukannya menjawab, Nao malah mengulurkan tangan menyapu dahi laki-laki bertubuh jangkung itu yang sudah banjir keringat dingin. "Sakit, ya?" tanyanya kemudian.
Orion menggeleng. Di balik maskernya dia tersenyum menanggapi sebentuk perhatian dari Nao.
"Bohong aja terus!"
"Iya, tadi sakit. Pas lihat kamu di sini aku jadi merasa lebih sehat."
"Sejak kapan sih kamu jadi suka gombal gini?"
"Sejak suka sama kamu."
Nao tahu itu hanya bentuk pengalihan Orion saja, meskipun jujur kata-kata pemuda itu berhasil mengonyak pertahanannya. "Udah sini, nggak usah mengalihkan," kata Nao sembari menuntun Orion keluar dari rak-rak kaca yang mengelilinginya.
Ada perasaan cemas yang teramat sangat tatkala gadis itu memergoki Orion seperti tengah menahan sakit dengan posisi tangan kanan menekan area dada. Nao sadar ada yang tidak beres. Teka-teki penyakit Orion semakin mengerucut menuju inti. "Ini sakit?"
Orion menunduk, melihat telunjuk Nao yang kini terpusat pada dada bidangnya. "Iya. Masuk angin sih kayaknya, dua hari begadang nonton bola."
"Jangan begadang terus. Udah tahu kerjanya capek, dari pagi sampai malam. Kalau ada kesempatan istirahat, gunain baik-baik."
"Kamu sendiri juga begadang."
"Aku emang insom. Udah lumayan lama. Apalagi ide cerita biasanya muncul tengah malam. Tapi, aku juga pengin sih tidur nyenyak. Ada obatnya nggak?"
"Jangan pakai obat. Sebelum tidur, usahakan tempat tidur harus benar-benar bersih. Bersih dalam artian nggak boleh ada ponsel atau apa pun yang justru membuat otak merasa mendapat asupan hiburan."
Nao merasa gemas. Orion bisa dengan lancar menasihatinya, tapi dia sendiri tidak melakukannya. Namun, gadis itu mengurungkan niatnya untuk kembali mengomel, terutama saat mendengar Orion meringis, meskipun pelan. "Ori, kamu kenapa?"
"Dingin."
"Nggak bawa jaket?"
"Kena darah, bau amis," sahut Orion pelan.
Debaran di dada Nao semakin cepat hanya karena kata darah yang baru saja terlontar dari mulut laki-laki di hadapannya. Sudah separah itukah sampai-sampai cairan kental warna merah tersebut mulai dilibatkan dalam kesakitan Orion? Rasanya Nao ingin menangis.
Tanpa pikir panjang, ia melepas jaketnya, lantas menyerahkan benda itu pada Orion. "Ini pakai."
"Aku cowok kalau kamu lupa."
Nao mengerucutkan bibirnya. "Ya udah sih, lupain dulu gengsinya. Nggak ada yang salah juga sama jaket aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
ORINAMI; Tentang Hati Yang Menjadikannya Alasan « Selesai »
RomanceSelma Naomi Amida adalah seorang penulis. Sejak duduk di bangku SMA, cerita sad ending selalu menjadi santapan favoritnya--terutama tentang kanker. Bagi Nao, cerita seperti itu lebih banyak menitipkan pesan. Bahkan, ia tak segan bertemu langsung den...