Arka duduk diam di sofa panjang yang terletak di ruang keluarga. Ia tertunduk sembari memainkan jarinya. Sesekali matanya melirik sosok berbadan tegap yang sekarang tengah menatapnya tajam. Mendadak suasana di ruangan itu menjadi hening, mempersilakan penghuninya untuk berperang bersama pikirannya sendiri.
"Keterlaluan!" geram sosok tegap berbola mata hitam itu. Matanya masih menatap tajam Arka yang bergeming.
"Apa belum cukup semua fasilitas yang papa berikan selama ini, hah?" Sosok itu menaikkan nada bicaranya satu oktaf.
Dewi yang merasakan keadaan mulai menegang berusaha mencairkan suasana dengan mengelus bahu suaminya lembut, berusaha menenangkan emosi suaminya yang tersulut. "Mas, udah ...," ujar Dewi melerai. Namun, bola mata hitam itu masih terus menatap Arka tajam.
"Pah," ucapan Arka terjeda. Ia menelan salivanya, memberanikan diri menatap bola mata hitam yang sedari tadi menatapnya.
"Arka udah turuti semua kemauan papa. Papa mau Arka jadi juara umum di sekolah, Arka turuti! Papa mau Arka berhenti nge-band, Arka turuti! Papa mau Arka ikut olimpiade fisika dan jadi juara, Arka juga udah turuti itu."
"Tapi, apa? Semua yang Arka lakuin itu cuma buat kepentingan papa. Papa selalu nuntut Arka jadi yang papa mau tanpa peduli dengan perasaan Arka! Arka bukan boneka, pa!" ujar Arka dengan nada yang semakin meninggi, dadanya naik turun terbawa emosi. Ia merasa sangat kesal, semua yang ia lakukan selama ini memang atas kemauan papanya.
Terlepas dari itu, ia juga kesal karena semua yang ia lakukan tak berarti apapun di mata teman-teman sekolah dan lingkungan sekitarnya. Mereka hanya menganggap semua yang diperolehnya, tak lain berkat orang tuanya.
"Ya iyalah, papanya aja tentara."
"Mamanya juga pemilik yayasan, desainer terkenal lagi."
"Orang kaya, punya privillege, wajar selalu juara."
"Pasti ada kong-kali-kong sama guru."
"Hus, ditembak papanya lo nanti!"
"Hahaahaa ..."
Begitulah sindiran yang terdengar inderanya setiap ia meraih prestasi di sekolah. Meskipun banyak juga yang memujinya, namun ia cukup peka untuk memahami pujian itu, pujian yang selalu ditujukan kepada orang tuanya. Bukan dirinya. Ia muak dengan semua itu, dengan teman-teman yang baik hanya di depannya saja. Ia muak dengan tingkah teman-teman yang selalu menganggapnya remeh dan tak percaya pada prestasi yang diraihnya murni hasil usaha kerasnya tanpa embel-embel orang tuanya. Ia hanya ingin dihargai karena itu usahanya sendiri. Hal itulah yang membuat Arka membulatkan tekadnya untuk pindah sekolah. Setidaknya ke sekolah yang tidak begitu mementingkan statusnya, sekolah yang mampu menghargai dirinya.
Keputusan Arka untuk pindah sekolah sebenarnya tidak begitu menyulut emosi papanya. Namun ancamannya membuang nama keluarga 'Wicaksana' dari namanya membuat Arya, papanya menjadi naik pitam. Tak apa, ia sudah memprediksi itu semua. Lagi pula ini bukan kali pertamanya ia meminta pindah sekolah, beberapa hari yang lalu ia juga telah mengatakan hal ini kepada papanya namun selalu tak digubris.
Kali ini tekadnya sudah bulat. Ia tak mau lagi menuruti papanya dan hanya diam. Ia ingin bebas, terlepas dari kekangan yang membuatnya jengah. Mungkin sebentar lagi ia akan gila jika terus seperti ini.
Dan benar saja, ancaman yang ia ucapkan berhasil menyita perhatian papanya, padahal ia tak serius ingin membuang nama keluarga di ujung namanya itu.
"Benar-benar anak nggak tahu diuntung! Bagaimana kalau kamu nanti jadi tentara jika menjaga nama kehormatan keluarga saja kamu nggak bisa, apa lagi kehormatan bangsa?!" bentak Arya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine on Saturn
Teen FictionArsakha Narendra Pradhi Wicaksana, kerap dipanggil Arka. Terlahir dari darah militer dan keraton sudah membuatnya muak. Ditambah dengan hidup dalam kekangan yang keras membuat Arka tumbuh menjadi cowok pembangkang, angkuh, dan arogan. Perlakuan kur...