"Jemputnya jangan telat lagi ya, Mas! Jangan kayak kemaren!" Nika mengingatkan Mas Aji untuk menjemputnya on time.
"Iyee dah, ah elah kemaren ketiduran!"
"Yaudah, Nika masuk dulu. Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumussalam!!" balas Mas Aji lalu menghidupkan motor vespanya dan melenggang pergi meninggalkan gerbang sekolah Nika.
Nika berbalik, masuk ke dalam sekolah. Bukan ke kelas, langkahnya langsung tertuju ke ruang musik. Hari ini surat izin meninggalkan pelajarannya sudah berlaku karena akan mengurusi festival musik yang akan diadakan besok. Dibukanya pintu ruang musik, sudah ada beberapa anggota band dan acapela yang berkumpul untuk latihan.
"Pagi semua!" sapa Nika ramah. "Kumpul dulu yuk, ada yang mau gue omongin!" perintah Nika membuat semua yang ada di ruang musik berkumpul kearahnya.
"Festival musik tinggal menghitung hari lagi, dan hari ini adalah kesempatan terakhir kalian buat latihan. Bakal ada sekolah lain yang ikut ke dalam festival besok, jadi gue minta tolong kalian maksimalin latihannya hari ini ya!" ucapnya tegas.
"Siap Nik!"
"Oke, aman Nik!" sahut yang lainnya.
Nika menepuk tangan sekali, "Oke, semangat untuk kalian, sorry kalo selama kalian latihan gue nggak maksimal ngoordinir kalian. Dan, buat kelancaran latihan terakhir hari ini, kita berdo'a dulu!"
Semua anggota menundukkan kepalanya sembari menengadahkan tangan. Setelah itu mereka membentuk lingkaran dan mengulurkan tangannya ke tengah. "Archata Music Club!" teriak Nika menyebut nama ekskul musik di sekolahnya.
"Sukses jaya!" sorak semua anggota sembari menghempas tangan mereka ke udara. Semua bubar, kembali ke aktivitas masing-masing. Begitu pula Nika, ia langsung keluar dari ruangan itu.
Langkah lebar Nika semakin ia percepat menuju ruang OSIS. Hari ini ia dan Darrel berniat menghadap Pak Joko untuk koordinasi terkait acara besok. Nika menarik pegangan pintu ruang OSIS, membuat pintu itu terbuka. Gadis itu sontak melebarkan matanya sedikit tertegun, mendapati seorang cowok yang begitu terkenal dengan wibawanya di sekolah sedang mengisap puntung rokok dengan santai. Cowok itu terlihat terkesiap melihat Nika, dengan sigap ia menyembunyikan puntung rokok yang masih menyala itu.
"Nggak usah disumputin, lanjutin aja gapapa," ujar Nika datar berusaha menetralkan ekspresi terkejutnya.
Darrel berdeham, "Sorry!"
Nika hanya mengangkat bahunya acuh, memberi sinyal kalau dia tak peduli dengan apapun yang dilakukan cowok itu.
"Pak Joko ada di sekolah cuma sampe jam sembilan pagi, kalo kita nggak gercep kita nggak bakal ketemu dia!" ujar Nika dingin, berlalu keluar ruang OSIS. Darrel meneguk salivanya sendiri, melempar puntung rokok yang tadi disembunyikannya keluar jendela. Kakinya beranjak menyusul Nika.
***
"Maaf nggak bisa, Pak!" elak Nika setelah setengah jam berdebat dengan guru super duper menjengkelkan itu.
"Lah ya kenapa nggak bisa? Guru-guru lain juga mintanya seperti ini!"
"Bapak, kita nggak bisa ngerubah konsep lagi karena waktunya mepet. Lagian dalam festival ini bukan hanya musik modern dan kontemporer, tapi musik tradisional seperti gamelan, ansambel angklung, dan yang lainnya juga ada, Pak," kekeuh Nika dengan pendiriannya. Ia jengkel dengan Pak Joko yang seenaknya sendiri meminta ganti konsep ke konsep musik klasik 90-an. Padahal berhari-hari lalu guru itu sendiri yang mengusulkan konsep acara dan menyuruh Nika merevisi proposal berkali-kali. Bahkan, saat proposal sudah di-acc sekalipun guru itu masih ingin mengganti konsep acara. Kadang Nika heran dengan pemikiran guru itu, kemarin-kemarin menyetujui konsep yang Nika ajukan, tita-tiba mengusulkan konsep acara sendiri, dan sekarang ribut minta ganti konsep lain lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sunshine on Saturn
Teen FictionArsakha Narendra Pradhi Wicaksana, kerap dipanggil Arka. Terlahir dari darah militer dan keraton sudah membuatnya muak. Ditambah dengan hidup dalam kekangan yang keras membuat Arka tumbuh menjadi cowok pembangkang, angkuh, dan arogan. Perlakuan kur...