Chapter 11 : Rapuh

498 34 3
                                    


"Kau mengambil pekerjaan lain? Pekerjaanmu disini sudah sampai jam 9 malam. Kau mau pulang jam berapa?!" bentak pria bersurai hitam itu.

Tanuma menyorot tajam Natsume, iris matanya meredup tanda khawatir. Sedang yang diajak berbicara hanya bisa menghela nafas. Tanuma tahu, temannya yang satu ini keras kepala. Sangat keras kepala!

"Tenang saja Tanuma, aku masih punya waktu untuk istirahat" seulas senyum terukir di bibirnya yang memutih. Lagi-lagi senyuman itu. Tanuma mengepalkan tangannya. Dalam benaknya penuh pertanyaan, 'kenapa sulit sekali untuk membujuk pria itu?'. Dia bahkan tidak memberitahukan alasan utamanya menambah pekerjaan lain.

Pelayan restoran dia bilang. Gila. Pelayan restoran bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi untuk pelajar sepertinya. Mondar-mandir membawa nampan, dan jika pelanggan lebih sedikit kau akan dipaksa mencuci setumpuk piring didapur.

Tapi sayang, ia tidak bisa menghentikan pria itu. Walaupun berkali-kali ia melarang Natsume. Natsume akan tetap melakukan hal yang baginya benar. Walau itu menyakiti dirinya sendiri.

*******

"Natsume! Bawakan ini ke meja tiga"

Pria berkulit putih salju itu sigap meraih nampan dari koki dan segera melaksanakan perintah. Diselingi sapaan ramah, dan mencatat pesanan dengan cepat. Natsume seakan sudah menjadi bintang bagi para pelayan lainnya.

Ia gesit. Mudah belajar dan ulet. Semua pegawai lain menyukainya, manajer memberinya gaji tambahan karena kerja nya yang bagus. Setiap hari, usai mengerjakan pekerjaan dipenginapan bibinya Tanuma, ia langsung melanjutkan pekerjaan ini hingga pukul dua pagi.

Semua itu harus dilakukan, surat tagihan hutang telah tiba dirumahnya beberapa hari lalu. Ia hanya punya waktu tiga minggu lagi. Ia harus mencari uang tanpa bantuan siapapun. Tanpa membebani siapapun. Itulah yang Natsume pikirkan. Ia harus tanggung semuanya sendiri. Sejak saat itu, rasanya tiada hari tanpa bekerja. Bahkan dihari minggu pun ia mengambil pekerjaan menjadi kasir minimarket.

Lelah. Menyiksa. Itu yang ia rasakan. Membagi waktu antara sekolah dan tiga pekerjaannya rasanya hampir mustahil. Tapi tak ada lagi yg bisa ia lakukan. Ia hanya bisa makan seadanya. Segalanya harus hemat. Semua gajinya ia tabung untuk melunasi hutang ayahnya itu. Sudah hampir seminggu ini, dia hanya makan ramen instan dan air putih. Ia sudah tidak peduli dengan kesehatannya.

Ia harus melunasi hutang ayah. Uang hutang yang dulunya digunakan ayah demi dirinya. Ia harus membayarnya. Natori-san tidak boleh tahu. Tanuma dan Taki juga tidak boleh tahu. Jika mereka tahu, mereka pasti menolongnya. Dan jika itu terjadi, ia sama saja dengan dirinya yang tak berdaya dimasa lalu.

Senin, 01.15 a.m
Salju pertama turun dari langit gelap berawan.

"Natsume, setelah kau mencuci piring. Pulanglah ya"

Seminggu ini dia benar-benar menghajar habis tubuhnya. Pekerjaan berat ditambah ujian sekolah. Dia tahu sekarang akhirnya ia kena batunya. Tubuhnya terasa lemas, kakinya sedikit gemetar. Kepalanya pening luar biasa, pandangannya terasa berputar.

"Natsume" manajer restoran memanggilnya. Natsume menoleh. Bibirnya memutih, keningnya berkeringat. Manajer membulatkan mata, menyadari ada yang tak biasa dari pegawainya itu. "Natsume, wajahmu pucat sekali. Kau sakit?"

Pria itu mencoba berdiri tegak. Menggeleng pelan. "Aku baik baik saja" jawabnya. Tentu saja bohong. Manajer meninggalkannya bersama tumpukan piring kotor didapur. Bibir tipisnya gemetar, nafasnya tersengal, udara terasa sangat dingin menusuk, pandangannya berkunang-kunang, tubuhnya hampir ambruk sebelum tangannya berhasil berpegang ke sudut meja cuci.

Reach the Sun (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang