Sebuah Bisikan Sayang

38.6K 2.7K 69
                                    

Gatta mematikan lampu. Kini kamar kami-ah ralat kamar Gatta lebih tepatnya- gelap. Aku dan Gatta adalah golongan orang yang tidak bisa tidur dalam keadaan terang.

Cowok berhidung mancung yang ada di sebelahku itu tidak langsung tidur. Gatta masih terduduk sembari memejamkan mata. Aku tahu ritual apa yang akan dilakukannya sebelum tidur. Ia akan membuat tanda salib lalu merapal doa—kira-kira— seperti ini,

"Untuk Bapa di Surga terimakasih berkatmu hari ini. Terimakasih untuk rezeki dan kesehatan tubuh ini, " dan blablabla... Doa nya masih terus berlanjut sementara aku sudah muak mendengarnya.

Gatta sengaja berdoa dengan volume tinggi. Katanya, supaya aku bisa mendengar dan mengamini setiap permohonan yang terlontar dari bibirnya. Padahal tanpa ia sadari bahwa setiap berdoa, aku selalu menutup telinga.

Aku tidak suka dan tidak pernah lagi berdoa setelah hari itu. Hari dimana Tuhan mengambil seseorang yang sangat berharga di hidupku. Hari dimana luka yang tidak pernah ada, perlahan mulai terbuka. Hari itu bertepatan dengan munculnya keraguan hatiku pada keadilan Tuhan. Sejak hari itu aku berhenti memanjatkan doa pada Sang Pencipta.

"... Atas nama Bapa, Putera dan Roh kudus. Amin..." akhir Gatta menutup doa.

Aku kembali tersadar ketika pria yang tak mengenakan baju itu menarik bantal unicorn yang kufungsikan untuk menutupi telinga. Satu lagi kebiasaan Gatta setelah berdoa; ia akan menatapku tajam disertai dengan tersenyum sinis. Selalu seperti itu dan sialnya aku tidak pernah tahu artinya.

Puas menatapku, Gatta langsung merebut selimut yang tadinya membungkus tubuhku. Biasanya aku akan merebut kembali selimut motif unicorn itu. Tetapi, untuk kali ini aku tidak akan melakukannya. Aku malas berdebat.

Aku memunggungi Gatta. Berusaha memejamkan mata ketika kedinginan melanda. Ck, Gatta! Kenapa ditakdirkan menjadi cowok tidak peka? Normalnya ia tahu kalau aku tidak suka dingin. Lalu apa yang harus kulakukan untuk menetralisir rasa dingin ini? Gengsi jika harus merebut selimut darinya.

Ah persetan!

Pelan, tapi pasti aku akan mengabaikan rasa dinginya. Aku akan mencoba memejamkan mata.

"Gue takut anak yang ada di kandungan lo kenapa-napa. Lo berenti bisa kan? Bukan buat gue, keluarga lo, atau oranglain. Semua demi janin yang ada di kandungan lo."

Meski samar aku bisa mendengar suaranya.

Detik selanjutnya kehangatan mulai kurasakan. Gatta memeluk dari belakang.

"Kasihan anak kita kalau lo tetap keras kepala. Gue mohon berhenti. Berenti ngerokok, atau hal yang bisa membahayakan dia. So, please, berhenti. Lo mau kan?" bisiknya di telinga kananku.

Gatta mulai mengelus perutku pelan-penuh dengan ke hati-hatian.

"Gue akui kalau gue cowok brengsek. Gue juga gengsi untuk ungkapin kepedulian serta rasa sayang secara langsung ke lo. Tapi, yang pasti gue care sama lo. Gue cinta mati sama lo," lanjutnya berbisik dan kali ini berhasil membuatku merinding.

Sebelum ini Gatta tidak pernah memperlihatkan kepeduliannya secra gamblang. Ia jarang mengungkapkan rasa cinta padaku. Lalu sekarang untuk pertama kalinya ia mengutarakan isi hatinya?

Kupikir Gatta sedang merancau karena minuman alkohol. Tapi, kutahu malam ini ia tidak mengonsuminya.

Jadi apa itu artinya?

Ah Gatta... Aku tidak percaya.

Tbc.

#sasaji

Lara (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang