Ragu

27.5K 2.2K 57
                                    

Mataku perlahan terbuka beriringan dengan suara teriakan. Dan mataku terbuka sempurna ketika seseorang-entah siapa itu- berteriak lantang meminta ampun pada Tuhan. Mmm... Tunggu dulu. Aku merasakan ada yang berbeda. Di mana aku sekarang? Kenapa ruangan ini begitu asing?


Ruangannya berwarna putih, berbau obat-obatan menyengat, dan suara teriakan yang baru saja kudenga. Apa aku sedang berada di rumah sakit?

"Anjing, berisik banget sih," seseorang muncul dari balik tirai penyekat ruangan ini.

Ekspresi yang aku tangkap dari wajahnya adalah marah. Begitu sadar ternyata aku sudah membuka mata, cewek itu mendekat lalu menatapku lekat.

"Hai bitch, udah bangun? Gue kira lo mati," ujarnya menyapaku.

Dan mulut busuk cewek itu kembali melontarkan kata-kata sialannya. Namanya adalah Septania Deandra Prasetya. Septa yang terkenal dengan tatapan intimidasi serta kejudesaannya. Ia adalah teman dekatku dari jaman SMP. Kami sudah saling mengenal satu sama lain.

Satu yang kalian harus tahu. Tetapi, seharusnya kalian sudah menyadarinya sendiri kalau nama Septa mirip dengan seseorang. Apa kalian mengerti? Jika tidak mari kuberi tahu.

Gattara Dean Prasetya dan Septania Deandra Prasetya. Sudah paham? Ya. Mereka memiliki hubungan darah. Hell, cewek yang suka berkata kasar itu adalah adik kandung Gatta.

"Gue di mana? Kenapa bisa gue di sini?" tanyaku beruntun.

Bukannya menjawab pertanyaanku Septa malah terkekeh sembari menjitak kepalaku pelan. Sialan.

"Hahaha, anak anjing. Gak sekalian lo nanya gue ini siapa?"

"Aseppp, gue nanya seriusan ya. Kenapa gue bisa ada di sini?" tanyaku sekali lagi.

Mendengar panggilan 'Asep' dariku membuat Septa langsung berhenti tertawa. Cewek yang memiliki kemiripan delapan puluh persen dengan kakaknya ini memasang tatapan tidak suka.

"Coba aja lo nggak lagi terbaring di sini pasti udah gue tampar mulut lo karena berani manggil gue seperti itu!" ucapnya tidak terima.

Selain Gatta, aku juga suka membuat Septa marah. Bukannya merasa takut, tapi seperti ada kepuasan tersendiri saat melihat mereka cemberut atau memasang tampang garang.

"Gue serius, Sep."

Septa mencibir, tapi tak lama ia menjawab. "Gue gak tahu. Abang Atta juga nggak ngasih tahu. Dia cuman nyuruh gue buat jagain lo, terus main pergi gitu aja."

Gatta...

Brengsek sekali! Tega-teganya ia meninggalkanku sendiri-ah tidak benar-benar sendiri karena Septa ada di sini. Tapi sama saja! Gatta seakan tak peduli dengan keadaanku. Ck!

"Gue mau pulang," kataku mencoba bangkit.

Badanku masih terasa lemas. Kepalaku juga pusing. Karena itu aku jadi tidak bisa duduk apalagi berdiri. Sialan!!!

"Mas, sakit masss!!!!! Ya Allah..." Suara teriakan itu kembali mengintrupsi telingaku.

Septa kembali berdecak sebal. "Ck! Ganggu banget sih?! Kenapa suaminya diem aja ya? Kalo gue jadi suaminya pasti udah gue plester tuh mulut istrinya!"

"Siapa?" tanyaku.

"Orang sebelah mau lahiran. Gue kasih tahu ya. Dari tadi pagi gue ke sini sampai lo bangun, dia teriak terus. Awalnya cuma rengekan kecil, tapi lama-lama potensi bikin darah tinggi."

Aku sempat terkekeh karena kekesalan adik Gatta. Apa yang dikatakan Septa benar. Aku yang baru mendengar terikan pasien sebelah saja merasa terganggu. Apalagi Septa yang sudah dari tadi di sini.

"Iya aku ngerti, tapi kamu jangan teriak-teriak terus. Nggak enak sama pasien lain," ucap seorang pria yang kemungkinan besar adalah suaminya.

Septa mengangguk-angguk. Seolah setuju dengan perkataan barusan.

"Kamu nggak tahu gimana sakitnya mau ngelahirin! Sakit banget, Mas. Rasa sakitnya lebih parah dibandingkan saat kamu ambil keperawananku dulu!"

Septa mendelik sementara aku meneguk ludah. Detik selanjutnya cewek yang mengenakan lipstik warna gelap itu mulai tertawa sedangkan aku merinding.

"Antimainstream banget perumpamaan nya. Hahaha," komentar Septa diiringi tawa.

Beneran sesakit itu kah?

"Sep," panggilku.

"Hm?"

"Jangan ketawa. Lo pernah tahu posisi mbak-mbak di sebelah," kataku.

Septa benar-benar menghentikan tawanya. Ia sempat diam sejenak sebelum berkata. "Gue?" tanyanya menunjuk muka. "Lo lupa?"

Sekarang aku yang diam. Wajah Septa seketika pias. Ia tersenyum kaku. Rasa bersalah mulai menyerangku.

"Lupain. Males ah," katanya mengalihkan pembicaraan.

"Sep, sorry. Gue gak maksud," ucapku tidak enak.

"Santai aja kalo sama gue," katanya tersenyum ramah. "Mmm... Iya tadi Bang Atta sempat ngomong ke gue kalo lo nyuruh dia buat beli minuman soda. Apa itu bener?"

Aku mengangguk mantap. Septa duduk di sampingku.

"Lo pikirin matang-matang. Berembuk sama Bang Atta, minta pendapatnya. Jangan gegabah," katanya.

Soal itu, aku sudah yakin. Meski belum membicarakannya dengan Gatta. Ah, biarkan saja. Aku tidak butuh pendapatnya.

"Gue yakin, Sep. Yakin banget."

Kali ini Septa menatapku lekat. Tipe tatapan tenang, tapi mengandung arti yang dalam.

"Gue kasih tahu lo ya. Minum minuman soda secara berlebihan nggak baik untuk kehamilan lo, " awalnya. "Cukup gue aja yang pernah ngelakuin itu dulu. Lo jangan," lanjutnya berat.

Septa mengatur napas. Matanya yang tadi baik-baik saja kini mulai berkaca-kaca. Lalu selanjutnya meneteslah buliraan air bening itu.

"Demi Tuhan lo jangan pernah ngelakuin itu. Jangan sampai lo ngerasain penyesalan yang tak berujung seperti gue," katanya menatapku dalam.

Sorot permohonan dan ucapan yang terlontar dari mulutnya berhasil menggoyahkan pertahanku. Sekarang aku dilanda ragu.

Tbc.

#sasaji

Lara (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang