Semenjak istriku meninggal dunia, hanya tinggal diriku, putriku yang berumur tujuh tahun, dan putra bungsuku yang berumur sebelas bulan. Tidak mudah menjadi orang tua tunggal, yang juga sekalian mencari nafkah. Tunjangan dari Pemerintah hanya cukup untuk membeli beras dan minyak goreng, sedangkan untuk lauk pauk aku harus tetap bekerja.
Aku sering bekerja sebagai pekerja lepas, di sela-sela kesibukan mengganti popok dan menidurkan anak bayi. Kalian berpikir, itulah hal yang paling merepotkan aku. Sejujurnya, setelah istriku meninggal, putriku, Susi, selalu ketakutan terhadap gudang di atas loteng rumah kami.
Setiap siang, dia bermain normal bersama adiknya, Budi. Tetapi setelah gelap tiba, dia selalu berkata ada 'sesuatu' di gudang atas sana.
"Ayah, tolonglah," Susi memohon. "Aku bisa mendengarnya berbicara di tengah malam."
Bulu kudukku berdiri setiap kali dia berbicara seperti itu. Tapi aku yakin itu hanya efek stres karena dia baru saja ditinggal pergi ibunya.
"Susi, Ayah sering ke gudang loteng," Kataku. "Dan tidak ada apa-apa di sana."
Susi mengangguk, tapi malam harinya dia masuk ke kamar tidurku membawa guling dan boneka beruang miliknya. Aku tidur di pinggir kasur, dia di pojok, dan Budi di tengah-tengah di antara kami berdua.
Terkadang saat aku terbangun, aku melihat dia sedang meringkuk di sebelah Budi, dan di beberapa malam yang parah, dia terlihat gelisah dan berbicara di dalam tidur.
Malam-malam seperti itulah yang paling sulit.
"Kamu benar-benar ketakutan tadi malam," Kataku.
Dia mengangguk sambil menggendong Budi.
"Apakah karena sesuatu yang ada di atas loteng?"
Susi mengangguk.
"Malam ini, Ayah akan mengajakmu ke sana dan membuktikan bahwa tidak ada apa-apa di atas loteng."
Susi meggeleng-gelengkan kepala.
"Budi membutuhkan kakak yang pemberani," Kataku.
Susi ragu, lalu melihat ke arah Budi, dan akhirnya dia mengangguk.
Malam itu juga, sekitar jam sepuluh malam, kami menidurkan Budi, dan aku mengajak Susi ke atas loteng.
Aku mulai menaiki tangga ke arah loteng, kubuka kunci pintu gudang loteng dan aku masuk ke dalamnya, Susi tepat di belakngku. Saat dia masuk dia mencoba menyalakan saklar lampu loteng, tetapi langsung kularang.
"Kita masuk dalam keadaan gelap, Akan Ayah nyalakan lampu dari HP Ayah." Aku menyalakan lampu di HP. Susi menggigit bibirnya dan menurunkan tangannya. Jari-jarinya bergetar dan matanya melirik ke kanan-kiri menjelajah kegelapan.
"Ayolah, Susi," Kataku, masuk lebih dalam ke dalam gudang, melewati tumpukan kardus peninggalan mendiang istriku. Aku menoleh dan Susi masih di pintu masuk gudang.
"Jadilah gadis pemberani," Kataku.
Susi menggelengkan kepalanya. "Tidakkah Ayah mendengarnya?"
Aku fokus untuk mencoba mendengar, mengarahkan telingaku ke dalam kegelapan di depan. Aku mendengarnya, suara pelan seperti hewan yang terluka, datangnya dari pojokan gudang di ujung sana.
Suaranya semakin keras setiap langkah aku mendekat. Aku mengarahkan lampu HP ke arah suara tersebut. Ada seseorang di sana, tubuhnya terlihat ringkih, masih terlihat hidup, namun lemas dan terikat.
Aku mencabut lakban dari mulutnya dan mengarahkan lampu HP-ku ke arah wajahnya yang memar.
"Ayah," Gadis kecil itu berkata.
Jatungku serasa mau copot saat aku mengenalinya. "Susi?"
"Ayah, mahluk yang mirip denganku itu. Itu bukan aku."
Kudengar pintu gudang menutup, dan dikunci dari luar.
YOU ARE READING
SEBUAH CERITA UNTUK MENAKUT-NAKUTI ANAKKU
HorrorSebuah Cerita Untuk Menakut-Nakuti Anakku Dan kumpulan cerita pendek horror di Internet & Creepypasta lainnya. Disclaimer : Semua cerita berikut bukan karangan saya, saya hanya menerjemahkan dan mengumpulkan saja. Jika Anda membaca salah satu cerita...