Chapter 2 - Kebetulan Terindah

70 33 14
                                    

Play Bryan Adams- Heaven

"Mungkin bertemu denganmu adalah suatu kebetulan terindah dan skenario tuhan yang paling mengesankan dalam hidupku"

Bel pulang sekolah telah berbunyi sekitar lima belas menit yang lalu. Vania dan Laras selalu menjadi makhluk terakhir keluar dari kelas. Bukan karena belom selesai mengerjakan tugas yang diberikan guru. Melainkan, mereka atau lebih tepatnya Vania lebih suka keluar terakhir. Biar tak perlu berdesak-desakkan dengan ratusan murid yang lain.

Vania suka berangkat paling pagi dan pulang paling akhir disekolah. Bukan karena ingin mendapat julukan murid teladan. Tetapi, karena Vania menghindari tatapan murid-murid saat dia berjalan sendirian melewati koridor yang ramai. Intinya, Vania tak suka jadi pusat perhatian.

Sejak Vania kembali dari perpustakaan hingga saat ini senyum terus merekah dibibirku, wajahnya juga terlihat lebih sumringah dibanding tadi pagi. Seolah senyum itu tak mau hilang. Mungkin orang yang melihat sikapnya saat ini, akan langsung men-cap dirinya seperti orang gila. Biarlah! Asalkan dirinya bahagia!

Sudah terbukti, Laras terlihat mencurigai sikap Vania yang mendadak berubah sejak kembali dari perpustakaan.

Saat berjalan dikoridor menuju gerbang depan sekolah. Dia menanyai Vania.

"Lo abis dapet apaan Van. Kok wajah lo sumringah banget. Mak lo abis dapet arisan ye..?" pertanyaan konyol. Apa hubungannya Vani sama arisan mama Vania?
Dasar aneh!

"Apasih Ras, ngaco lu"

"Cerita dong Van, gue parhatiin dari tadi lo senyum terus" Laras mendesak Vania untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Vania tak berniat sedikitpun untuk menceritakannya. Kepada siapapun. Cukup dirinya saja yang tahu.

"Atau jangan jangan lo sakit jiwa ya? Ke Rumah Sakit Jiwa yuk, gue anterin. Biar nggak tambah parah" dia kembali menuduh Vania yang tidak tidak. Oh, tuhan. Kenapa Vania bisa punya temen seoon dia?!

"Yang ada, lo tuh yang gila. Bukan gue." sergah Vania.

"Terserah lo deh. Gue lagi nggak minat adu mulut sama lo. Capek. Pelajaran matematika tadi nguras energi banget." mulai deh curhatnya. Aduhh.. Vania capek tuhan!

"Eh, Btw lo pulang bareng siapa Van?"

"Nggak tahu, kayaknya naik angkot aja deh. Papa pulang malem. Lah, kak Rahma jam segini pasti juga belum selesai ngampus. Lagian katanya pulang ngampus mau kerumah temen"

"Oh. Gitu ya. Yaudah gue duluan ya. Gue udah dijemput abang gue daritadi soalnya. Kalo kelamaan takut dia marah"

"Yaudah sana, hati hati ya"

"Iya. Bye.. See you" pekiknya sambil berjalan lebih cepat mendahului Vania.

Yah, kirain mau nebengin gue. Dasar temen kampret. Untung sayang. Batin Vania

🍁🍁🍁

Vania kembali meneruskan jalannya menuju kehalte. Disana masih ada sekitar enam, tujuh anak yang juga menunggu angkot lewat. Dia duduk dibangku paling samping. Mengeluarkan I-pod, memasang headset. Mendengarkan musik favoritnya sambil menunggu.

Tak seberapa lama, angkot yang kutunggu sudah sampai. Untunglah hari ini Vania dapet angkot yang lumayan lenggang. Jadi tak perlu berdesak-desakan untuk mendapat tempat duduk.

Dia meminta supir angkot untuk berhenti didepan gang rumahnya. Rumahnya tidak didepan jalan raya tepat. Harus berjalan kaki beberapa menit kedalam gang untuk mencapainya.

Kali ini dia tak langsung pulang kerumah.
Vania mampir ke toko bunga yang ada di dekat gang rumahnya. Dirinya ingin membeli bunga mawar putih. Bunga dikamarnya dikamar sudah layu, dia harus menggantinya dengan yang baru. Vania sangat menyukai bunga mawar putih,entah mengapa saat melihatnya sejenak hati Vania merasa lebih tenang.

🍁🍁🍁

"Mang Asep, mawar putih dua tangkai ya" ucap Vania saat sampai ditoko bunga tersebut.
"Iya, neng. Tunggu bentar ya. Silahkan duduk dulu." ucapnya mempersilahkan

Vania sudah mengenal mang Asep. Pemilik toko bunga yang dikunjunginya saat ini. Mamanya juga sering membeli bunga kepada Mang Asep. Biasanya dia yang disuruh kesini. Jadi Vania lumayan akrab dengan mang Asep.

Vania sedang mengamati bunga bunga warna warni yang terjejer indah. Mang Asep, muncul dari belakang dengan membawa bunga pesanannya. Vania membayarnya. Dan berbincang-bincang dengannya sejenak.

"Neng, nggak minat tanem bunganya aja. Biar nggak beli tiap hari. Kan enak punya sendiri dihalaman rumah"

"Nggak mang. Ribet. Vania nggak punya waktu buat ngerawat" Mama juga pernah menyarankannya seperti itu.

Tepat setelah Vania mengatakan ucapannya tadi. Terdengar suara bariton seseorang, yang Vania kira dia pernah mendengarnya.

"Mang. Bunganya seperti biasa ya"
Vania dan mang Asep menengok kearah sumber suara.

Dia?
Bukankah itu yang tadi?
Ah, tidak. Jantungnya kembali berdegup kencang. Vania ingin sekali menyapanya dan menanyakan namanya. Namun, dia keburu grogi.

Vania kemudian berpamitan kepada mang Asep untuk pulang. Dengan alasan mama pasti sudah menunggu dirumah.

Vania kembali berjalan memutar arah menuju rumahnya.Sepanjang perjalanan pulang Vania terus menerus merutuki dirinya. Merutuki ketololannya.

🍁🍁🍁

Sampai dirumah, Vania melepas sepatu dan menaruhnya diatas rak sepatu. Kemudian masuk dan mencari mama. Vania bertanya pada bi Iyem -- pembantu dirumah Vania-- apa mama berada dirumah. Katanya mama sedang pergi ke rumah temennya. Dan mungkin akan pulang sore.

Vania menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah agak cepat. Vania ingin segera merebahkan diri dikasur empuk nya.

Tasnya sudah dia taruh diatas meja. Sekarang Vania akan membersihkan diri. Mandi dengan air hangat. Mungkin akan membuat dirinya lebih rileks.

Selesai mandi, Vania merebahkan diri diatas kasur. Memikirkan dua kejadian beruntun tadi. Bahkan dia  tak mengira jika hari ini dia akan dipertemukan dengan lelaki tampan seperti malaikat.

Mungkin ini sebuah kebetulan. Jika ini memang sebuah kebetulan, maka ini akan menjadi kebetulan terindah dalam hidupnya.

Dan jikalau ini adalah rencana tuhan, maka ini akan menjadi skenario yang paling mengesankan.

Kritik saran sangat diharapkan

I amTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang