2. Seperti itu saja..

31 4 0
                                    

RIANA tersadar dari lamunan panjang tak berujung, kokokan ayam bersahutan dari tetangga sebelah. Langit mencerahkan warnanya, awan juga, bahkan mentari pun sama, ikut bermain bersama temannya.

Riana yang sedari tadi menopang tangan sembari bicara dalam hati memperkirakan perbedaan negara tiri yang menclaim bahwa indonesia memang pantas di kembangkan.

Selama peranan murid abal di sekolahnya, baru kali ini luasan sejarah merambah di otaknya. Entah kenapa gadis itu bisa mencari jalan keluar dari gandrungan metropolitan negeri ini.

Sungguh keajaiban nyata!

Riana beringsut bangun, memindahkan kursi ke sudut dan berjalan ke arah ranjang. Dingin masih mengguliti, disambut dengan suara-suara pagi yang semakin membuatnya semakin kesal. Suara sepeda motor yang melantang di depan rumahnya.

Tersisa coretan-coretan di dinding dan embun yang masih mengendap di sudut jendela. Disertai angin pagi dan suhu udara yang semakin menjadi-jadi, di balutkan tubuhnya dengan selimut tebal yang menutupi seluruh badannya.

"Males turun, males mandi, males sekolah. Tapi kalo ngga sekolah, catatan numpuk."

Dan saat itu, Riana meloncat dari kasurnya dan bersiap-siap sekolah.

***

Pagi tiba, menyerbak aroma mawar dari sebelah rumah. Di jalan, Riana memperhatikan jajaran antrian manusia yang berkepanjangan hingga hampir melewati sudut jalan kota, yang jaraknya hampir empat puluh meter dari posisi Riana memberhentikan langkahnya. Sekian detik ia tertegun.


Riana dengan cepat menyelinap masuk ke celah-celah antrian dan memberanikan tekadnya untuk mendengarkan ocehan-ocehan pahit yang dilanturkan. Tak lama setelah itu, Riana berhasil keluar dari kesempitan alur jalan yang di yakininya hingga siang sampai sore nanti.

Jalan-jalan yang di penuhi gersikan hujan semalam membuat ia susah melangkahkan kakinya menghindari lumut-lumut dan lelumpuran yang melengket. Terlihat beberapa supir-supir bajaj yang telah bertengger mulai pagi buta, yang menahan bekunya tubuh dan setipis kain lecek yang hanya dikenakan.

Hingga di sekolah, terlihat lekuk-lekuk datar menghiasi jalan masuk gerbang, dan satpam yang semakin menghangatkan tubuh mereka dengan suguan kopi manis di pagi hari. Hingga jarum jam dengan cepat beralih menggantikan teman baru. 07:28

Dengan segera Riana melangkahkan kakinya ke arah kelas atas. Terlihat debu-debu mengotorkan bibir kelas dan hanya mereka yang duduk manis sambil mengolok-olok seseorang lain yang melampoui mereka.

(Hey nyonya berseragam cupu, sampai jam segini?)

Atau....

(Sang idola guru telah datang menyambut kelas. Tepuk tangan!)

Begitulah ocehan itu bersahut-sahutan mengoper satu per katu bait kata yang akhirnya di abaikan.

****

Siang ini, tergambar raut-raut langit dan awan yang mulai memecahkan terik-terik matahari yang baru, sekejap menghampiri dunia itu dan mulai terganti dengan kabut hitam dan awan yang mulai menghitam.

"Hujan.." Sergah Riana sambil memandangi titik sudut langit yang tampak tidak bersahabat, dan setetes air hujan menyepi dan menetes di dasar matanya saat ia menengadahkan kepalanya.

Dan yang saat itu, diri diantara semua diri mulai terasa cemas dan menggigit jari jarinya. Tak terkecuali, hingga pandangan Riana hanya mampu melihay sejauh dua senti meter di kejauhan sana. Siswa-siwi mengacaukan niatnya. Bermalas-malasan, dan alasan lain yang bisa masuk akal.

"Hujan.. Lemah.. Lelah." Alasan itu mampu membuat guru-guru mulai memakhluminya.

Terdengar jeritan-jeritan pahit dan luruh di kelas itu.

"Kalian ini kenapa? Itu cuma petir. Jangan sampai ribut begitu!" Sang ahli dalam mengatur kelas sesekali mengumbar amarahnya. Sensi.

****






Ps: ini cma kata kiasan aja sih, soalnya gak ada dialoq yg resmi. Ini cuma sederet kata yang nemplok di otakku. Tentang rasa.

Rindu!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang