Bau obat-obatan.
Suara monitor detak jantung.
Tetesan air yang mengalir pada selang infus.
Yeri membuka kedua matanya, dan mendapati bahwa dirinya sedang berapa di dalam sebuah ruang rawat inap. Yeri memperhatikan sekelilingnya dan mendapati Wendy, kakaknya, sedang tersenyum lega saat ia melihat dongsaengnya sadar.
"Syukurlah, kau sudah sadar, Yeri" ujar Wendy
"Unnie..... Ini?" Yeri kembali memperhatikan pemandangan di sekelilingnya. Yeri agak sedikit asing dengan ruang rawat tempat dimana ia terbaring.
Tidak lama kemudian, seseorang masuk ke dalam ruang rawat Yeri. Sang dokter langsung menghampiri Yeri yang sedang terbaring lemas. Ia langsung duduk di sebelah Wendy. Yeri membuang pandangannya pada sang dokter dan memperhatikannya dengan seksama.
"Pertama-tama, aku ucapan selamat datang di rumah sakit, Yeri," sang dokter tersenyum. "Namaku adalah Seulgi, aku adalah dokter yang bertanggung jawab penuh atas perawatanmu disini. Oh, aku juga mendengar bahwa kau sering pindah-pindah rumah sakit, kan? Kau sungguh beruntung dibawa ke rumah sakit ini, Yeri."
"Ya, menghabiskan waktu dengan berpindah-pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lainnya tanpa pernah mengetahui luasnya dunia, dan terbaring menunggu ajal datang menjemputku" Yeri menyilangkan kedua tangannya
"Yeri !," Wendy mendesis. "Sudah kubilang, jangan berkata seperti itu lagi ! Tidakkah kau tahu kalau dokter Seulgi sedang berusaha untuk menyelamatkan nyawamu agar kau bisa hidup normal seperti yang lainnya?"
"Bagaimana pun juga, ini adalah resikonya," Seulgi berkata dengan tegas. "Kau tak bisa menggapai semua yang ada di dunia ini dengan semudah itu, kau harus mencicipi rasa pahitnya dahulu, baru kau bisa merasakan rasa manisnya."
"Aku tidak meminta apa pun. Aku tidak meminta untuk di sembuhkan, aku tidak meminta untuk diberi hidup panjang, dan aku tidak meminta untuk pindah ke rumah sakit. Aku hanya ingin mati agar Wendy unnie tak perlu bersusah payah mencari uang demi kesehatanku" Yeri menatap kosong dinding yang ada di depannya sembari mencengkram kuat selimut yang menutupi tubuhnya.
"Son Yerim." Wendy sedikit menaikkan intonasi suaranya, mengutarakan rasa kecewanya pada Yeri atas sikapnya terhadap Seulgi.
Seulgi menatap Yeri dan Wendy yang sedang saling berseteru dalam keheningan. Setelah itu, Seulgi membalikkan halaman file yang ada di tangannya.
"Hmm.... Masalah kesehatanmu, diberitahukan disini bahwa kau pernah mengalami demam parah selama kau dirawat disana, dan juga kau pernah muntah darah karena kau kelelahan setelah kau nekat untuk kabur dari rumah sakit. Begitu kau mencoba untuk lari, ditengah perjalanan kau merasakan sesak nafas dan kemudian kau muntah darah karena kelelahan berlari," Seulgi terus membaca isi file. "Untuk karena itu, kami akan terus mengawasimu selama kau dirawat disini untuk mencegah hal yang sama terulang kembali."
"Berapa lama?" Yeri membuka suara
Suara Yeri membuat Wendy dan Seulgi mengalihkan pandangan mereka pada dirinya.
"Maaf?"
"Berapa lama lagi aku harus berada disini? Butuh berapa lama lagi waktu yang harus kukejar sampai aku meninggal? Berapa lama?" Yeri bertanya dengan nada dingin seakan-akan kematian dan kehidupan tidak lagi sebuah hal yang penting.
Seulgi langsung terdiam seribu bahasa begitu ia mendengar perkataan Yeri. Sebetulnya, Yeri sudah tidak peduli lagi akan nyawanya sendiri yang sedikit lagi akan direnggut dari dalam tubuhnya itu. Semua kata-kata penyemangat yang selama ini ia dengar dari dokter rumah sakit sebelum-sebelumnya terasa begitu menjijikkan dan hanya membuat Yeri tambah sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I Love You | PSY • KYR
Romance"Mencintaimu itu anugerah, keajaiban, juga hal terindah. Karena cintamu, aku bisa bertahan sampai sekarang. Terima kasih telah terlahir ke dunia ini, dan juga telah mencintaiku setulus hatimu, Joy." ~ Yeri