Pagi itu, Joy memakan sarapannya seperti biasa sembari menonton sebuah film action di TVnya, menghilangkan rasa bosan. Seketika, terdengar suara ketukan dan pintu terbuka, Joy mengalihkan pandangannya dari TV sebentar dan mendapati Irene masuk ke dalam kamarnya dengan senyuman manis menghiasi wajah mungilnya.
"Oh, unnie." Joy mematikan TV.
"Halo, Joy, bagaimana keadaanmu?" Irene duduk di samping kasur dan mengusap kepala Joy lembut. "Apakah kau sudah siap? Kau lebih baik bersiap-siap, Joy."
"Siap? Siap untuk apa?" Joy bertanya.
"Kau akan segera mendapatkan jantung baru." Irene tersenyum.
"Jantung baru? Itu artinya....."
"Betul." Irene menepuk bahu Joy. "Kau akan segera di operasi, dan kau bisa keluar dari rumah sakit untuk mengejar impianmu."
Joy membulatkan kedua matanya senang. "Jinjja !?" Joy memeluk erat Irene. "Kamsahamnida, unnie !!"
"Sama-sama, Joy." Irene membalas pelukan Joy. Setelah beberapa detik, Joy pun melepaskan pelukannya.
"Kapan aku akan di operasi?" tanya Joy
"Kau akan di operasi sekitar satu minggu lagi, jadi, persiapkanlah dirimu sampai selama itu, Joy" jawab Irene. "Unnie pergi dulu ne? Unnie harus merapatkan soal ini dengan dokter Hwasa, jaga dirimu, oke? Makanlah yang banyak."
Irene berjalan meninggalkan Joy sendirian di kamar. Setelah pintu tertutup, Joy tidak henti-hentinya tersenyum karena ia senang bahwa ia sebentar lagi akan keluar dari rumah sakit untuk mengejar impiannya selama ini; menjadi seorang dancer dan koreografer.
Rasanya, Joy tidak sabar untuk memberitahukan Yeri soal operasinya ini. Joy sudah melewati satu langkah mendekati impiannya, dan ia pun ingin Yeri juga mendapatkan langkah itu agar mereka bisa terus bersama.
.
.
.Di sisi lain, Yeri membuka kedua matanya yang terasa berat. Oh, jangan lupakan rasa sakit yang luar biasa di kepalanya, ya, Tuberkulosis Yeri kembali kambuh, dan itu terjadi semalam.
Wajah Yeri berubah menjadi sedikit pucat, kondisinya terus menurun tanpa sebab, dan nafasnya sangat berat. Tangan Yeri bergetar menggigil, meskipun AC pada kamarnya tidak dinyalakan, namun Yeri menggigil seperti sedang berada di Kutub Utara.
Yeri merasakannya, bahwa kematian telah berjalan semakin mendekat untuk mengambil jiwa malang Yeri.
Yeri turun dari kasurnya, berjalan keluar kamar, hendak pergi melihat Joy untuk menanyakan kabarnya. Ceklek. Yeri membuka pintu perlahan-lahan dan masuk ke dalam kamar, sementara si penghuni kamar sedang asyik membaca sebuah buku.
"Oh, Yeri ! Apa kab—"
Ucapan Joy terputus saat ia melihat Yeri yang sedang berjalan menuju ke arah kasurnya dengan memasang sebuah senyuman lemah yang menghiasi wajah pucatnya itu. Joy menatap sedih Yeri yang kondisinya justru kian memburuk itu.
"Bagaimana keadaanmu, Joy? Kau baik-baik saja?" Yeri menarik kursi dan duduk di atasnya, menatap Joy.
Joy menahan tangisannya yang hampir pecah saat ia melihat kondisi Yeri yang sudah seperti orang yang sebentar lagi akan mati itu, sementara yang ia tatap itu hanya tersenyum dan menggenggam tangan kanan Joy.
"Ta, tanganmu.... Dingin....." Joy menggenggam kedua tangan dingin Yeri. "Kau....?"
"Oh, maaf ya jika aku mendatangimu secara tiba-tiba. Kau kaget, ya?" Yeri tertawa kecil.
"Tidak, tidak, justru aku sangat senang." Joy berusaha menepis semua perkataan Yeri. "Kesehatanmu..... Kau baik-baik saja, kan?"
"Ah, maksudmu, ini?" Yeri menarik salah satu tangan Joy dan menaruhnya pada dahinya. "Silahkan kau nilai sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I Love You | PSY • KYR
Romance"Mencintaimu itu anugerah, keajaiban, juga hal terindah. Karena cintamu, aku bisa bertahan sampai sekarang. Terima kasih telah terlahir ke dunia ini, dan juga telah mencintaiku setulus hatimu, Joy." ~ Yeri