Fajar dan Senja - 1

44 13 9
                                    

Setelah pertemuan sore itu, aku makin penasaran dengan sosok gadis di taman yang ku ketahui namanya Senja. Cantik bukan? Maksudku, namanya. Tapi kalau mau memujinya juga tak apa. Karena wajahnya juga cantik. Bersinar seperti senja. Jangan salah paham. Aku hanya memujinya saja, oke.

Setiap sore, aku keluar untuk ke taman. Berharap bertemu lagi dengannya. Bukan. Aku hanya ingin mengembalikan note book miliknya. Barangkali benda itu sangat penting baginya.
Namun aku harus menelan kekecewaanku karena selalu tidak menemukannya. Bahkan sampai satu minggu. Dia hilang tanpa jejak. Bagai angin yang berhembus. Aku bisa saja menanyakan Senja pada kakak atau ibu. Tapi aku merasa tak perlu. Karena aku yakin kalau aku dan Senja akan bertemu lagi. Entahlah, aku makin aneh saja setelah bertemu dengannya.

Seminggu berlalu, liburan pun selesai. Aku harus kembali ke sekolah.

"Fajar! "

"Ada apa?"

Liska menatapku lama. Aku tahu apa yang ingin dikatakannya. Jadi, sebelum dia berkata, aku langsung berbicara.
"Aku tidak apa-apa."

Dia tampak terkejut dan ingin melanjutkan, namun lagi-lagi aku memotongnya.
"Aku ke toilet." ucapku lalu keluar dari kelas.

Ini sudah lebih dari sepuluh kali aku mendengar kata-kata yang sama. Dan tatapan yang sama pula. Aku benci semua itu. Tidak, aku menghargai ucapan belasungkawa mereka. Tapi aku tak tahan jika harus terus menerus teringat akan kejadian yang menimpa Nita. Apalagi dengan hanya melihat tatapan iba mereka saja aku langsung teringat akan kejadian itu.

"Ah.. Menyebalkan. Kenapa mereka menatapku seperti itu. Semakin menyiksa saja."
Aku mengusap rambutku kasar hingga beberapa helai rambutku berdiri.

Bel masuk berbunyi. Aku segera mengambil air dan mengusapnya ke wajah sebelum bergegas menuju kelas.

*****

Hari ini tak ada yang spesial sama seperti hari-hari sebelumnya. Sekolahpun tak begitu menyenangkan. Sebenarnya aku termasuk anak yang pendiam. Jadi, aku tak punya teman dekat. Liska yang biasanya menempel padaku pun menjadi diam. Dia bahkan menghindariku. Aku tak tahu kenapa. Tapi mungkin ada kaitannya dengan tadi pagi.

"Hahaha... Dasar tuli."

"Uh.. Anak cacat. Jangan dekat-dekat denganku."

"Pergis sana! Membawa sial saja."

Aku mendongak ketika mendengar suara-suara itu. Dengan mata menyipit kulihat di depan sana ada segerombolan anak kecil yang sedang melempari seorang gadis dengan batu.

"Hei! Apa yang kalian lakukan?! Dasar anak-anak nakal. Pergi sana!" teriakku galak. Mereka langsung lari ketakutan.

"Masih kecil sudah membully orang." gumamku sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Aku menoleh ke belakang dan terkejut melihat Senja yang terduduk di trotoar. Memang tadi saat aku menghampiri mereka, aku tak melihat siapa gadis itu. Aku tak menyangka kalau kita akan bertemu lagi. Tapi..dalam situasi yang tidak menyenangkan.

"K-kau.. Baik-baik saja?"

Uh. Kenapa aku gugup?

Dia mengangguk. Tapi aku tetap membantunya berdiri. Kulihat ada beberapa luka di wajah dan lututnya. Karena tadi sempat kulihat anak-anak itu mendorongnnya. Hah, padahal mereka jauh lebih muda. Sungguh tidak ada sopan santunnya.

Aku menuntunnya duduk di kursi halte. Dia menurut saja. Kupikir dia akan lari lagi. Ah, mungkin karena luka di lututnya.

"Lukanya harus segera diobati. Kalau tidak kau bisa infeksi."

Dia menatapku takut. Aku panik.

"A-aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin menolongmu saja."

"Aku bersumpah." ucapku sambil mengangkat jariku yang membentuk huruf V karena sedari tadi dia hanya diam.

Kemudian yang terjadi selanjutnya justru kebalikan. Aku diam mematung melihatnya. Ini pertama kalinya aku melihat senyuman Senja. Dan efeknya luar biasa. Jantungku lagi-lagi nyeri dan deg-degan sama seperti pertama kali melihatnya. Apa aku harus ke rumah sakit? Kurasa jantungku bermasalah.

Aku tersentak kala merasakan sesuatu menyentuh lenganku. Dengan cepat aku menoleh dan mendapati sebuah kertas. Senja yang memberikannya. Aku mengambilnya dengan hati-hati.

"Eh? Apa ini?" tanyaku kebingungan sambil melihat kertas yg ada di genggamanku.

Senja lagi-lagi tersenyum. Tidakkah dia tahu bagaimana keadaan jantungku saat ini. Aku segera mengalihkan pandanganku dan memilih untuk membuka lipatan kertas itu.

Terima kasih.

Aku menoleh dan melihat Senja yang ternyata sedang memandangku.

Aku tersenyum. "Sama-sama... Senja."
Ini pertama kalinya aku memanggil namanya.

Dia tampak terkejut. Lalu, dia mengambil kertas dari note booknya. Aku baru sadar kalau dia membawa itu. Dia menulis sesuatu kemudian menyerahkan kertas itu padaku. Aku mengernyit. Merasa heran dengan tingkah Senja. Komunikasi lewat surat? Apa dia tidak mau berbicara denganku?

Aku membuka kertas itu dan membaca isinya. "Kamu tahu namaku?"

"Apa aku harus membalasnya di sini?" tanyaku sambil mengangkat kertas itu.

Dia mengangguk. Aku makin heran. Tapi tak ayal aku mulai menuliskan jawabanku di sana.
"Aku tahu dari note book punyamu--

Aku langsung teringat sesuatu. Dengan cepat aku membuka tasku dan mengambil sesuatu. Itu note book milik Senja yang waktu itu tertinggal di taman.

--yang tertinggal di taman. Apa kamu mengingatku? " aku menyerahkan kertas dan note book miliknya.

"Terima kasih. Aku kira sudah hilang. Ya, aku ingat--

Senja mendongak dan menatapku. Aku memiringkan kepalaku. Ada apa? Dia hanya diam. Lalu melanjutkan menulis.

--Siapa namamu?"

Aku tersenyum membaca isi kertas tersebut. Dengan semangat aku membalasnya.
"Perkenalan lewat kertas, huh? Menarik. Namaku Fajar."

Dia tersenyum. Sangat manis.
"Nama yang bagus, Fajar."

Baru saja aku akan menulis balasanku ketika bunyi hpku menginterupsi. Aku mengambil ponselku dan ternyata itu alarm. Rupanya hari sudah sore. Bersama Senja aku jadi lupa waktu.

"Ini sudah sore. Kuantar kamu pulang. Ayo."

Senja masih diam. Dia menatapku bingung. Oh, apa dia tidak bisa berjalan karena lukanya? Aku berjongkok membelakanginya kemudian menepuk punggungku.
"Naiklah."

Senja masih diam. Aku menoleh ke belakang dan melihatnya yang sedang menatap punggungku dengan risau. Sepertinya dia bimbang.
Aku menepuk lagi punggungku. "Tidak apa. Ini kuat kok, kamu tidak akan jatuh. Ayo." ucapku sambil tersenyum padanya.

Dia mulai bergerak. Kemudian aku merasakan punggungku yang bertambah berat. Tapi aku tak keberatan. Malah entah kenapa... Aku senang. Bahkan sepanjang jalan aku tak berhenti tersenyum. Rasanya ada yang menggelitiki perutku. Membuatku geli dan bahagia.

*****

Ini masih belum kurevisi, tolong bilang kalau ada typo. Barangkali ada yang mau kasih saran dan kritik juga. Jangan sungkan. Terima kasih.

Fajar & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang