Fajar dan Senja - 4

18 6 0
                                    

Sejak saat itu, aku dan Senja sering menghabiskan waktu bersama. Ketika pulang sekolah, aku akan ke toko bunga milik Bibi Lea dimana Senja bekerja di sana. Menunggunya selesai bekerja, setelah itu kami akan pulang bersama. Awalnya Senja menolak karena tak enak hati membuatku menghabiskan waktu hanya untuk menunggu dirinya. Namun aku bersikeras bahwa hal itu sama sekali tidak membuatku keberatan. Sesekali aku membantunya melayani pembeli ketika toko sedang ramai.

“Terima kasih Bibi, sudah menjaga Senja. Kami pamit pulang dulu.”

Aku dan Bibi Lea tertawa ketika melihat Senja yang melotot ke arahku. Tak terima dengan ucapanku barusan.

“Baiklah, hati-hati di jalan ya..”

Aku dan Senja mengangguk lantas keluar dari toko. Langkah kami terhenti ketika melihat sepeda merah milik Senja.
Aku mendekat kemudian menghela napas. Aku menoleh ke arah Senja yang juga sedang menatapku. Dia tersenyum. Ah, bagaimana bisa dia tersenyum sedangkan ban sepedanya sudah kempes entah untuk yang ke berapa kalinya. Aku yang gemas sendiri tanpa sadar mengacak rambutnya.

“A-ah! Ma-maaf.”

Senja menggeleng tanda ia tak masalah dengan perlakuanku tadi. Aku menghela napas lega.

Kami pun berjalan bersama dengan aku yang menuntun sepeda merah itu. Selalu begini, kami tak pernah bisa pulang dengan menaiki sepeda bersama. Padahal aku sangat mengharapkan hal itu. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Aku hanya merasa kasihan pada Senja. Jarak toko bunga dengan panti asuhan lumayan jauh, Senja pasti kelelahan karena setiap hari harus berjalan kaki apalagi ia baru selesai bekerja. Tubuhnya pasti ingin cepat-cepat berisitirahat.

“Sebenarnya siapa sih yang mengempesi ban sepedamu setiap hari? Tidak punya kerjaan sekali.” Ucapku sebal tapi Seja dengan santainya mengendikkan bahu tanda tak tahu siapa pelaku yang mengempesi ban sepedanya.

Kakiku berhenti melangkah. Senja yang melihatnya ikut berhenti. Ia menatapku heran.

“Aku tak bisa melihatmu terus-terusan dijahili seperti ini. Kita harus mencari siapa pelakunya.” Ucapku sungguh-sungguh.

“Tak apa. Aku tak terganggu sama sekali. Selama dia tidak bersikap lebih dari ini, kurasa tidak apa-apa.”

Mataku melotot nyaris tak percaya dengan apa yang Senja katakan. Dia terlalu baik bahkan pada orang yang menyakitinya. Pada akhirnya aku hanya bisa menghela napas.

“Baiklah. Tapi aku benar-benar tak bisa melihatmu jalan kaki terus setiap pulang kerja. Kau pasti kelelahan setelah bekerja sampai sore hari.” Mataku menatap lekat wajah Senja berharap dia memahami maksudku dan memilih mengalah.

Tapi yang kulihat justru sebaliknya, Senja memicingkan sebelah matanya. “Kau khawatir ya?” ucapnya sambil menatapku jahil.

Aku ternganga melihatnya. Sungguh ini pertama kalinya aku melihat ekspresi itu di wajah Senja karena gadis ini lebih sering tersenyum dan menampakkan wajah lugunya. Sudut bibirku terangkat menyadari Senja yang mulai terbuka padaku. Benar kata Bu Nara, Senja sangatlah tertutup.

Dia masih menatapku jahil ketika tanganku terangkat mengusap rambut hitam panjang sepunggungnya. Kali ini, kulakukan dengan kesadaran penuh.

“Ayo pulang.”

*****

Bu Nara hendak membuka gerbang panti selepas mengantar tamunya ke depan ketika melihatku dan Senja sedang berjalan ke arahnya. Beliau mengurungkan niatnya dan memberikan senyuman pada kami. Aku dan Senja pun balas tersenyum.

“Selamat sore, Bu Nara. Ini Senjanya kuantar pulang dengan selamat.”

Detik selanjutnya aku merasakan cubitan di perutku. Aku menoleh dan melihat Senja yang sedang melotot. Tak terima dengan rasa sakit akibat cubitannya, aku balas dengan menatapnya tajam. Kami pun adu pelototan hingga tawa nyaring Bu Nara menghentikan aksi konyol barusan.

“Hahah.. kalian ini lucu sekali. Ibu jadi gemas sendiri.”

Bu Nara ternyata sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dengan wajah geregetannya dia mendekat dan menjawil pipi kami.

Tindakan yang sangat di luar dugaan bagiku tapi tidak bagi Senja. Dia memberengut sebal dan langsung melepaskan tangan Bu Nara. Barulah aku tersadar dari keterkejutanku dan diam-diam berterima kasih pada Senja karena Bu Nara melepaskan kedua tangannya dari pipi kami.

“Baiklah. Terima kasih nak Fajar sudah mengantarkan tuan putri kami dengan selamat. Jangan sungkan untuk terus menemaninya pulang ya..” gurau Bu Nara.

Aku melanjutkan sandiwara kami. “Saya pastikan tuan putri aman bersama saya.” Ucapku mantap dengan jempol teracung.

Suara gerbang dan hentakan kaki membuat kami menoleh secara otomatis. Aku dan Bu Nara terdiam sebelum akhirnya tertawa lepas melihat Senja yang kesal sambil mengerucutkan bibirnya.

Aku pun pamit pulang karena hari sudah semakin sore. Aku bahkan sampai lupa waktu ketika bersama Senja. Bibirku melengkung sempurna menampilkan senyuman lebar.

Sampai jumpa besok, Senja

*****

Hai, kembali lagi *yeay
Sedikit yaa? Hehe

Lagian ga ada yg nunggu juga kok *ehe

Oke, hope you like it!

Dizvalana

Fajar & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang