Fajar dan Senja - 3

28 10 4
                                    

Sudah lebih dari dua puluh menit aku berada di taman ini. Namun, berapa kali pun aku mengelilinginya, aku tetap tak bisa menemukan Senja. Bahkan di bangku taman tempat aku dan Senja pertama kali bertemu. Dia tidak ada. Jadi kuputuskan kakiku untuk kembali melangkah. Kali ini menuju ke panti asuhan.

Aku berhenti di depan pagar panti asuhan yang tidak terlalu tinggi. Ragu-ragu aku mendorongnya dan melangkah masuk. Suara anak-anak segera mengisi ruang pendengaranku. Seseorang menyambutku, dia Bu Nara—ibu panti.

Aku tersenyum lantas menjabat tangannya. “Bu, saya mau bertemu Senja. Apa dia ada?” ucapku tanpa basa-basi. Aku harus bertemu Senja sekarang untuk memastikan suatu hal.

“Kalau jam segini, Senja belum pulang. Dia masih ada di toko bunga.”

“Eh? Dia bekerja bu?”

Bu Nara mengangguk. “Setiap hari dari jam setengah tujuh sampai jam tiga sore.”

Aku menunduk lesu. Tidak mungkin aku mengganggu pekerjaannya hanya untuk menanyakan suatu hal padanya. Melihatku yang seperti itu, Bu Nara menatapku tidak tega. Ia pun bertanya, “Memangnya ada apa? Sepertinya nak Fajar ingin sekali bertemu Senja.”

Aku mendongak. Tanganku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Merasa malu karena Bu Nara dengan mudahnya menebak kegelisahanku. “Sebenarnya.. ada yang ingin kutanyakan padanya dan aku sangat ingin mengetahuinya sekarang.”

“Apa yang ingin kamu ketahui? Mungkin ibu bisa memberikanmu jawabannya.”

“Umm.. apa tidak apa-apa mengetahuinya dari ibu? Aku takut Senja tak menyukainya.”

Bu Nara tersenyum. “Hm.. bisa jadi. Tapi Senja juga tidak akan memberitahumu.”

Aku terkesiap, “Kenapa?”

Bu Nara mencondongkan wajahnya dan berkata pelan, “Dia anak yang penutup.”

“Bahkan meskipun kamu datang untuk menawarkan bantuan padanya, butuh waktu yang lama untuk bisa membuatnya terbuka.” Lanjutnya setelah menarik kembali wajahnya.

Hening sejenak. Aku masih memikirkan ucapan Bu Nara. Entah mengapa ada makna tersirat di balik suara tenangnya. Apalagi dengan kalimat terakhirnya barusan.

Bu Nara kembali bersuara, memecah keheningan di antara kami. “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan pada Senja?”

Otakku bergemuruh mempertimbangkan banya hal. Padahal apa yang Bu Nara ucapkan bukanlah hal yang sulit untuk dijawab. Dengan ragu, aku mengatakan apa yang selama ini meganggangguku.

“Aku... mendengar Senja bernyanyi.”

Di luar dugaan. Alih-alih terkejut, Bu Nara justru tersenyum seakan sudah mengetahui hal ini sebelumnya.

Siang itu, aku mendapatkan banyak sekali informasi mengenai Senja. Entah dia akan marah atau tidak. Tapi aku bersyukur bisa mengetahuinya sehingga keraguan dan kegelisahan yang selama ini menghantuiku menguap begitu saja. Layaknya abu yang terhembus angin.

Satu di antara semuanya, yang paling membuatku terkejut adalah fakta bahwa Senja tidak cacat sejak lahir. Ia sempat menjadi manusia sempurna yang tidak memiliki kekurangan secara fisik seperti orang lain. Hingga sebuah kecelakaan membuatnya kehilangan fungsi alat pendengarnya. Hal itu juga berdampak pada kemampuan berbicaranya, tetapi Senja masih dapat berbicara. Hanya saja karena pendengarannya yang tidak berfungsi dengan baik, Senja tak bisa mengontrol lisannya. Kadang ia berbicara seperti orang berteriak atau sebaliknya ia justru mengeluarkan suara yang sangat pelan. Hal inilah yang membuat Senja enggan mengeluarkan suaranya dan memilih menggunakan kertas atau bahasa isyarat.

*****

Kakiku kembali melangkah. Kali ini dengan langkah biasa malah terkesan lesu dan tak bersemangat. Beda sekali dengan langkah tergesa-gesa yang kulakukan tadi siang. Pikiranku kembali mengulang perkataan Bu Nara. Lagi-lagi sesuatu yang mengejutkan kudapatkan dari Senja. Aku tak pernah terpikir bahwa gadis lugu yang kutemui di taman mempunyai sejuta masalah di balik senyuman manisnya.

Aku menghela napas dan tanpa sadar menendang sebuah kaleng sebagai bentuk pelampiasanku. Kepalaku secara otomatis mendongak ketika mendengar suara kalengku yang menabrak sesuatu. Aku tak bisa menyembunyikan wajah terkejutku kala melihat Senja yang sedang menuntun sepeda berada tak jauh di depanku. Kulihat Senja juga sama terkejutnya denganku.

Mataku menangkap langit yang mulai berubah oranye karena matahari yang sudah berpindah ke barat. Ah, sudah sore rupanya. Pantas saja aku bertemu Senja di jalan. Dia pasti baru saja pulang kerja. Senja masih di tempatnya bahkan ketika aku melangkah menghampirinya.

“Senja, boleh kita bicara sebentar?” tanyaku setelah sampai di tempatnya.

Senja mengangguk kemudian berjalan sambil menuntun sepedanya ke sebuah kursi panjang di samping trotoar.

Kami sudah duduk sejak dua menit yang lalu. Namun, belum ada pembicaraan di antara kami. Padahal tadi dengan sangat pede aku mengajaknya berbicara. Tapi lihatlah sekarang aku justru diam sibuk dengan pikiranku sendiri.

Mungkin karena geram melihatku yang tak kunjung bicara, Senja memulainya walau dengan tulisan di sebuah kertas.

Apa yang ingin kamu bicarakan?”

Aku meringis malu setelah membacanya.

“Aku.. minta maaf.” Aku tak menjawabnya lewat kertas melainkan melalui mulutku ketika melihat Senja menyentuh telinganya. Ada alat bantu dengar yang terpasang di sana.

“Aku minta maaf karena sudah menghindarimu. Aku tahu sikapku lima hari yang lalu tak jauh beda dengan orang-orang yang selama ini menjahilimu. Padahal waktu itu aku dengan jiwa sok pahlawan menjauhkan anak-anak yang sedang mengganggumu. Aku benar-benar minta maaf.” Lanjutku sambil menunduk. Aku tak berani menatap mata Senja mengingat sikap pecundnag yang pernah kulakukan padanya.

Tidak apa. Aku sudah memaafkanmu. Justru aku berterima kasih karena kamu masih mau menemuiku setelah mengetahui kebenarannya.”

Aku mendongak, menatap Senja tak percaya. Begitu mudahnya ia memaafkanku bahkan berterima kasih padaku. Namun tak kupungkiri bahwa aku juga senang karena dia masih mau memaafkanku. Aku tersenyum melihat senyuman Senja.

Perhatianku teralih pada sebuah sepeda berwarna merah yang terparkir di samping kursi kami.

“Apa itu sepedamu?” ucapku sambil menunjuk sepeda merah itu.

Senja mengangguk.

“Kenapa kamu menuntunnya? Apa bannya kempes?”

Senja lagi-lagi mengangguk.

“Apa yang terjadi?”

Barulah ia mengambil note booknya dan menulisakn sesuatu di sana. Ulah orang jahil. Aku sudah biasa.”

Entah kenapa ketika membacanya hatiku terasa dicubit. Buru-buru aku mengalihakan pembicaraan. “Sudah sore, kuantar kamu pulang.”

Aku langsung berdiri dan mengambil alih sepedanya membuat Senja tak bisa memprotes tindakanku. Ia bangkit dan kami pun berjalan beriringan dengan senja sebagai saksinya.

*****

Cuman ngasih tau, kalau tulisan di ketik miring di cerita ini berarti mereka lagi bicara tapi lewat tulisan. Barangkali ada yang ngga tau:)
Hope you like it!

Dizvalana

Fajar & SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang