Part 4 Khitbah

2.4K 214 4
                                    


Kini aku tak sanggup beranjak dari tempatku berpijak, kurapatkan tubuhku pada pintu kamarku yang tertutup. Meringkuk, lunglai, luapkan tangis yang sedari tadi kutahan. Mengeluarkan segala beban. Sakit. Astaghfirullahaladziim.

Mengingat ucapan mas Ikhbal beberapa jam lalu, menyesakkan dadaku.

"Saya sangat ingin menghalalkan Annisa sebagai istri saya. Namun, disini sekaligus saya sampaikan di awal, sebagai sebuah permohonan. Saya mohon Annisa dapat menerima dan memberikan izin andaikata saya berpoligami." Duarrrrr...bak petir maha dahsyat menggelegar, memporakporandakan impian yang baru akan terbangun.

"Maksud nak Ikhbal?" sahut umi kaget.

"Saya...sudah menerima amanah seseorang di akhir hidupnya, saya berjanji menikahi putrinya kelak, jika sudah cukup usianya. Dia yatim piatu, kini menjadi salah satu santriwati kami..." Mas Ikhbal menghela nafas, berhenti sejenak, sebelum melanjutkan kalimatnya,

"Saya berjanji tidak akan menyakiti Annisa dan akan membahagiakannya, walau nanti bukan menjadi satu-satunya. Saya berharap Annisa percaya saya dan bisa menerimanya." Serasa ada yang hancur, terserak. Seketika aku tak mampu berfikir. Kalut. Namun tak ada yang lebih menyesakkan, dari melihat kecewa pada raut abah dan umi, yang beberapa menit lalu sempat tersirat bahagia. Sirna.

Bayangan-bayangan kesedihan umi dan abah, berputar-putar di atas kepala. Maafkan Nissa...

"Abah, lalu bagaimana?" Akhirnya, lirih terdengar suara umi memecah kebekuan, setelah keluarga mas Ikhbal berpamitan pulang.

"Semua tergantung Annisa, bagaimana?" Abah menatapku.

"Beri saya waktu berfikir abah," ucapku lirih, "Nisa butuh waktu untuk mempertimbangkan, ini menyangkut masa depan Nisa," lanjutku. Mencoba menahan semua beban.

"Kenapa tidak kita tolak saja, ini tidak adil, umi ndak rela," tangis umi pecah.

"Umi, sabar, kita sudah janji tadi, meminta waktu beberapa hari untuk menjawab lamaran ini." Mas Hanung merengkuh pundak umi dengan lembut, menenangkan.

"Baiklah Nisa, yang akan menjalani kan kamu, Sholat Istikharah, supaya ditunjukkan jalan Allah." Nasehat abah bijak, walau kecewa tersirat jelas dari wajah sepuhnya.

Di sepertiga malam aku menyerahkan diriku kepada Nya, memohon yang terbaik untuk hidupku. Membahagiakan abah dan umi, membuat mereka tersenyum di usia senjanya. Kuberpasrah Padamu ya Robb.

.......

Tiga hari sudah pasca Annisa di khitbah Ikhbal, dia tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Tak ada yang berubah, walau khitbah itu memberikan beban di pundak Annisa.
Masih tersisa waktu dua hari, untuk berfikir apakah akan menerima atau menolak khitbah dari keluarga Ikhbal.

Berada di mall, tepatnya di toko buku, di antara deretan karya-karya cerdas, menenggelamkan diri dalam lautan ilmu setidaknya dapat meredam kegundahan hati Annisa. Syukur memperoleh inspirasi untuk solusi dari masalahnya.

Brukk...sebuah benda terjatuh ketika sisi lengannya tanpa sengaja menyenggol seseorang yang sedang berdiri didekatnya,  Saking fokusnya menekuri buku-buku yang berjajar rapi.

"Astaghfirullah, maaf, saya nggak sengaja." Annisa membungkuk mencoba  mengambilkan buku yang terjatuh, karena ulahnya. Sedangkan, pemuda itu masih terpaku ditempatnya. Pemuda blesteran berpenampilan rapi dan sopan.

"Willy..." Mata Annisa membulat dengan senyum sempurna ketika ternyata mengenal siapa yang ditabraknya.

"I...ibu Annisa, assalamualaikum," sapa Willy sama kagetnya yang terlihat salah tingkah.

"Waalaikumsalam, bacaan kamu bagus,  tata cara khitbah sesuai syariat Islam?" Komentar Annisa sambil mengeja pelan judul yang tertera pada cover buku, sembari mengulurkan buku yang tadi dipungutnya.

"Iya, emm, bukan, anu, itu..," balas Willy gugup

"Alhamdulillah, good, Willy, justru ibu salut kalau kamu punya niat, itu sudah menjalankan syariat," ucap Annisa masih dengan senyuman. Setengah mati Willy menahan diri agar tak hilang kendali, meresapi manisnya senyuman sang dosen yang... memabukkan.

"Emm...tapi, saya belum pede, takut ditolak." Pemuda itu nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Masak anak muda takut aja. Yang penting kamu siap konsekwensi berumah tangga," balas Annisa sambil fokus mengamati buku-buku yang berderet di rak, tanpa menyadari pemuda didekatnya tengah menatapnya lekat.

Hey, dia itu kamu Annisa, benarkah kamu mau terima aku? Batin Willy bertanya.

"Emm...saya bukan orang baik, urakan dan nggak ngerti agama." Annisa meletakkan buku yang dipegang, pandangannya beralih kepada pemuda disampingnya. Yang terlihat putus asa.

"Nggak ada orang yang nggak ngerti, tapi belum tahu. Jangan merendah, semua manusia berproses. Tidak ada yang sempurna. Selama kamu mau belajar dan merubah diri lebih baik. Insyaallah, kamu pasti mampu," urai Annisa panjang lebar disertai senyum tulus. Serasa sedang di kelas ceramah kepada mahasiswanya.

"Hmm...dan lagi, siapa bilang kamu urakan, bahkan kamu terlihat rapi dan sopan. Artinya kamu sedang belajar," senyumnya melebar.

Berada didekatnya saja, dada Willy berdegup, apalagi memperoleh pujiannya. Merasakan sejuk menyergap seluruh tubuh. Jangan terlalu manis, nanti aku lupa. Batin Willy meracau.

"Oh God, eh, saya permisi dulu, bu." Willy menepuk jidatnya, teringat akan sesuatu. Diliriknya jam menunjukkan pukul 17.00.

"Saya ada perlu, terimakasih sudah mengobrol," ucapnya, dan hendak mengayunkan kakinya. Tapi terdengar Annisa memanggil namanya.

"Will, assalamualaikum," ucap Annisa, mengingatkan.

"Waalikumsalam, maaf lupa," balas Willy dengan raut malu, segera berlalu keluar toko.

Setelah memperoleh buku yang dicarinya, Annisa melangkahkan kaki keluar dari toko buku, hendak menuju ke toilet. Saat melewati mushola terlihat ramai, diliriknya jam tangan menunjukkan pukul 18.15., rupanya sudah masuk waktu shalat magrib. Kebetulan, dia sedang halangan sehingga tidak menunaikan shalat magrib.

Tanpa sengaja, jauh dari tempatnya berdiri, tatapannya jatuh pada sosok pemuda jangkung berbaju biru  yang sedang antri untuk sholat di mushola. Willy.

Ada degup lembut yang dirasakan Annisa, tak dapat dijelaskan, demi melihat pemuda yang saat ini sangat berbeda dari yang dia temui beberapa bulan lalu. Anak yang manis, batin Annisa, tanpa sadar tersungging senyuman samar di sudut bibirnya. Sepertinya anak itu sedang jatuh cinta, batinnya lagi.

Ukhti, Aku Cinta BeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang