Part 12 Menikah

3K 217 0
                                    

Pemuda itu nampak rapi. Aura positif terpancar dari wajahnya. Secara visual terlihat lebih dewasa dari usianya. Mengenakan baju koko putih dipadu dengan sarung dan berpeci hitam. Dan..., menambah kadar ketampanannya naik berlipat-lipat.

Sudah tak nampak lagi sosok Willy yang identik dengan gaya masa kini, pakaian asal-asalan, sedikit urakan. Yah, sepertinya itu menjadi masa lalu yang sudah lenyap dari peredaran. Sebuah metamorfosa yang sangat menakjubkan. Willy.

Kadangkala sebuah perubahan tak perlu dirancang, Sang Maha Agung sudah mengaturnya. Tinggal bagaimana setiap insan menangkap sinyal-sinyal yang pancarkan kebaikan. Memilih menggenggam kemudian mempertahankannya atau membiarkan dan pura-pura tak terjadi apa-apa. Pilihan ada pada diri masing-masing.

Willy? dia mencoba menggenggam, meresapi, memperbaiki diri dan terus berbenah. Berat, tapi tak ada yang berat jika kamu selalu berusaha dan meminta pertolongan kepada-Nya.

Malam ini keluarga Rafael Putra Wijaya hadir dalam pengajian di rumah calon besan. Sebelum pernikahan digelar, terlebih dahulu diadakan pengajian, sebagai sarana untuk memberitakan dan memohon kepada Allah agar calon mempelai selalu dalam kerahmatan Nya.

"Willy..., ayuk keluar, ko malah diem aja," ajak maminya. Willy masih terpaku di mobil. Gelisah.

"Mi, Willy deg-degan," ucap pemuda tampan itu.

"Yaudah, sini sama mami." Wanita dengan tampilan senada dengan putranya yang nampak anggun, bergamis putih dan berkerudung itu menarik lengan pemuda yang masih nampak linglung.

Suasa rumah Annisa masih belum begitu ramai, ya saat ini baru pukul 18.30 sedangkan acara pengajian akan dimulai pukul 19.30.

Nampak umi dan abah Annisa sumringah menyambut calon besannya yang sudah hadir.
Rupanya keluarga besar ustadz Rahman sedang berkumpul semua.

"Oh, jadi ini calonnya nduk Annisa?" Laki-laki separuh baya bertanya dan mengamati sekilas Willy, berjabat tangan lalu tersenyum sumringah.

Willy nampak gugup saat menyalami satu persatu orang-orang yang berkumpul diruangan, hampir seluruhnya keluarga besar ustadz Rahman. Mereka sengaja hadir, beberapa diantaranya dari luar kota untuk memenuhi undangan pengajian. Bagaimana tidak gugup, baru kali ini dihadapkan pada situasi seperti ini. Dikenalkan sebagai calon menantu...

"Walah bagus (ganteng) tenan, calon suaminya Annisa ya?" Wanita sepuh yang berada di sudut ruangan, menyeletuk dalam suasana kekeluargaan itu. Willy tersipu.

Selama beramah tamah tak banyak komentar yang dilontarkan kepadanya, selain tampan. Dari tatapan mereka, dapat diterka mereka berfikir Willy terlalu muda. Walau tidak diungkapkan...

Willy celingak celinguk, mencari seseorang. Siapa lagi kalau bukan calon istrinya, bahkan sudah setengah jam beramah tamah, tapi yang ditunggu-tunggu tidak muncul-muncul. Rindu sudah menggebu, ingin bertemu.

Akhirnya Willy mencari cara untuk keluar dari ruangan yang sedari tadi seluruh tatapan ditujukan padanya. Walau lebih ke tatapan "You are welcome", tapi Willy nampak jengah lama-lama. Dia memutuskan mohon izin keluar.

"Permisi, maaf pak toilet ada dimana ya?" tanyanya pada seorang yang ada di ruang tengah.

"Terus jalan ke belakang aja, Gus"

"Makasih."

Willy mengedarkan pandangannya tatapnya terhenti pada sosok yang memang dicari-carinya. Rindu sudah menyergap seluruh jiwa. Annisa membuka pintu sepertinya hendak masuk ke dalam kamar.

"Annisa..," panggil Willy pelan.

"Willy..., ka kamu disini?" balasnya gugup. Membalikkan badannya.

"Aku..., aku kangen..," ucap Willy, seperti biasa ekspresif.

Mereka bertemu di ruang tengah, ruang yang lebih luas dibanding lainnya. sepertinya ruang keluarga. Masing-masing tetap bertahan pada posisinya. Berjarak.

Willy tak berniat mendekat, dalam situasi seperti ini sudah sangat membuat jantungnya berdegup kencang. Dia mencoba mengontrol diri untuk tidak melakukan hal-hal tidak terpuji. Padahal kerinduan sudah merasuki ruang jiwa. Ingin berhambur memeluknya...tapi...

"Kamu kembali ya, nggak enak dilihat orang," ucap Annisa meminta.

"Kenapa? aku nggak akan ngapa-ngapain, pengen ngobrol aja. Kalau di kampus aku merasa kamu seperti dosenku. Kalau begini kan, aku aku calon suamimu." Willy tersenyum memikat. Senyuman yang telah banyak menaklukan hati wanita. Namun Annisa wanita shalih, pesonanya tidak bisa meruntuhkan prinsipnya.

Willy menyandarkan tubuhnya di dinding. Tatapnya tak lepas dari wanita yang berada di seberang dibatasi dengan satu set meja dan kursi.

"Annisa...," ucapnya lembut. Sangat.

"Hmm..." Jawaban itu, mati-matian Willy menahan gejolak, setiap suara dari calon istrinya menimbulkan hasrat yang dalam. Itulah kenapa semestinya mereka tidak bertemu. Adabnya begitu, tapi Willy memilih melanggarnya.

"Kamu, yakin kan akan menikah denganku?" tanyanya hati-hati.

"Kenapa masih bertanya?" jawab Annisa. "Apa kamu ragu?" lanjutnya. Ada perasaan was-was menyusup ke dasar jiwa. Willy masih bisa berubah fikiran, seperti pengalaman sebelumnya dengan Ikhbal. Oh bukankah tentang Ikhbal sungguh menyakitkan. Apalagi, tidak bisa dipungkiri dia paham calon suaminya itu punya segalanya. Muda, tampan, dan kaya. Pasti dengan mudah mendapatkan wanita untuk menjadi pendampingnya.

Aku? bahkan secara usia aku lebih tua, aku tidak jelek tapi diluaran sana pasti lebih banyak wanita menarik yang masuk kriteria Willy. Astaghfirullah...ya Allah apa-apaan akui ini, batin Annisa.

"Tentu saja tidak, jika tak banyak aturan, aku juga menikahimu dari kemarin, percaya padaku Annisa," ucap Willy. Mengagetkan lamunan Annisa.

Annisa menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang merona. Sama dengan Willy, kini hatinya berdegup kencang. Wanita santun itu merasakan sedang berdiri diantara ribuan bintang yang berkelip cantik untuknya. Bahagia.

"Hhhh, Willy, kita berdoa saja semoga semua lancar."

"Annisa, aku cinta kamu."

"Terimakasih,"

"Hanya itu?"

"Kamu kembali ke depan ya, mereka pasti tengah mencari-cari calon menantunya yang menghilang." Willy tersenyum lebar.

Bahkan Willy merasa tak rela berpisah. Ingin mengobrol lebih lama.

....

Hari ini hari yang bersejarah bagi Willy dan Annisa. Ijab Kabul akan dilaksanakan di sebuah masjid yang berada tak jauh dari kediaman Annisa. Pagi ini masjid Annur terlihat sibuk. Beberapa orang nampak tengah mempersiapan untuk prosesi ijab kabul.

Pukul 09.00.

Terdengar mantap ucapan Ustadz Rahman, selaku wali nikah dari pengantin wanita (ijab):

SAUDARA/ANANDA (William Sonata Wijaya) BIN (Rafael Putra Wijaya) SAYA NIKAHKAN DAN SAYA KAWINKAN ENGKAU DENGAN (Annisa Rahman) BINTI (Arifin Rahman) DENGAN MASKAWINNYA BERUPA (seperangkat alat sholat dan uang sebesar 2.7 juta rupiah), TUNAI.

Kata yang diucapkan oleh pengantin pria (Qobul):

SAYA TERIMA NIKAHNYA DAN KAWINNYA (Annisa Rahman) BINTI (Arifin Rahman) DENGAN MASKAWINNYA YANG TERSEBUT DIBAYAR TUNAI.

Bagaimana para Saksi. Sah... sah...

Annisa dan Willy, mereka resmi menyatu dalam ikatan sakral yang diridhai Allah SWT.

Ukhti, Aku Cinta BeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang