Ayah

55 1 0
                                    

MATAHARI tegak berdiri, tepat di tengah peredarannya. Tak ada bayangan yang nampak. Sinarnya menyerap banyak air dari bumi. Terasa begitu terik dan panas. Pohon-pohon tua yang daunnya mengering dan kini terjatuh mencium bumi. Kawanan bebek yang begitu asyiknya bermain air di sepanjang sungai Djati, membasahi diri lagi mencari makanan pengisi perutnya.

Di sisi lain, Aku yang terus saja berlari mengejar sepeda Ayah, yang berada jauh di depan. Aku tak tega, bila melihat Ayah yang mungkin akan kelaparan jika bekal makan siangnya tak ada. Aku terus berlari sekuat tenaga. Keringat yang terus bercucuran dan nafas yang mulai terengah-engah tak kuhiraukan. Yang penting, bekal ini harus sampai ditangannya.

Ayah merasa, ada seseorang yang mengikutinya sedari tadi. Ia menengok ke arah belakang. Anak sematawayangnya tengah berlari menuju arah dirinya. Ayah menyimpulkan bibirnya melihat tingkahku. Aku kini berada tepat di depannya.

"Ayah, ini bekal makan siang Ayah," ucapku dengan mulut yang kebingungan antara berbicara atau bernafas dahulu.

"Perasaan sudah ayah bawa tadi, kok..." balas Ayah keheranan.

"Iyah Yah. Ini buktinya makan siang Ayah ada di tanganku."

"He-he. Iyah juga yah. Makasih yah, anak Ayah baik banget," tangan pekerja kerasnya membelai lembut kepalaku.

"Gapapa Yah, masa bilang makasih segala buat hal sepele gini," jawabku dengan polos.

"Anakku. Hargailah hal apapun yang kamu miliki walaupun sebutir padi," Ayah yang kini memegang pundakku.

Aku hanya membalas dengan senyum. Apa yang ada dalam jangkauannya, Ayah pasti menganggap itu, hal yang berharga dan patut disyukuri. Bukan karena caranya yang tak gampang untuk mendapatkan itu semua, tapi Ayah begitu menghargai proses yang ia jalani. Ayah bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecilnya. Tebing dan jurang sudah sering ia lewati tapi rasanya ia baik-baik saja dan malah terus mengulanginya. Tiap hari ia mencangkul tanah berpetak yang dipenuhi unsur hara, lalu menanaminya dengan sumber penghidupan.

"Ayah akan ke kebun, kamu cepat pulang. Ibu pasti khawatir denganmu."

Aku tak berkata. Hanya membalas dengan kedipan sebelah mataku dibarengi dengan mengacungkan ibu jari tangan kananku. Lalu bergegas pergi meninggalkan Ayah, yang bersamaan Ayah pun kembali mengayuh sepeda ontel antiknya. Langkah demi langkah, gesekan demi gesekan karet sendal jepit pada jalan bebatuan menemani perjalanan.

Jalan bebatuan yang menambah asri suasana pedesaan. Pepohonan yang rindang di sepanjang pinggiran sungai, bergoyang ketika diterbak angin. Hamparan sawah yang hijau nan subur ikut mengayun-melenggok mengikuti irama angin. Layangan-layangan yang bergerak bebas di angkasa, menari-nari kesana dan kemari. Rumput di ladang yang tersapu oleh angin kini mengitari kakiku.

Langkahku yang kini terdiam. Melihat sekelompok anak kecil bermain gundu. Mereka tampak begitu riang. Duduk berjongkok. Sebelah mata dipejamkan, mengambil sudut yang tepat untuk menembakkan gundu pada gundu yang lainnya. Mengancang-ngancang tenaga yang dipusatkan pada jari tengah lalu siap untuk mendorong gundu melesat mengenai targetnya.

"Hei kau! Jangan cuma diam di sana. Sini ikut main," salah satu dari mereka menengok ke arahku.

Aku kebingungan. Menengok ke kiri dan kanan, melihat sekeliling dan mencari siapa yang dia panggil.

"Hey! Kok malah diam saja, sini ikut main. Aku berbicara denganmu," tambahnya sambil menunjuk diriku.

Kakiku dengan sendirinya berjalan ke arah mereka. Dekat semakin dekat, ternyata mereka adalah temannya Toni, temanku di sekolah. Tadinya aku pikir akan malu, berhadapan dengan orang baru. Aku bukanlah orang yang pandai bergaul. Entahlah, mengapa aku demikian.

"Ehhh, ternyata ada kamu. Habis dari mana?" tanya Toni yang melihat diriku datang.

"Ehhh iyaa," jawabku dengan menunjuk ke arah jalanan.

"Ayo ikut main," sambung Toni.

Bukan Bunga TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang