Penyakit Tanpa Nama

44 0 0
                                    

     MENTARI menyingsing. Kawanan awan merangkak menutupi sinarnya. Langit mulai gelap. Hawa semakin dingin. Angin mulai menggerakkan dahan-dahan pohon yang kian menua tiap harinya. Penduduk langit mulai menampakkan kesedihannya. Tetesan-tetesan air matanya mulai membasahi bumi.

     Tetes demi tetes. Mengenai tanganku. Aku mendongak pada langit. Awan hitam, pertanda akan turun hujan.

     “Aku akan pulang,“ ucapku perlahan meninggalkan mereka.

     “Kenapa ?” jawab Toni.

     Tak sempat Aku menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba petir menyambar pohon kering di ujung lapang. Penduduk langit bersedih menjadi-jadi. Hujan menemui bumi dengan deras. Kami berlari menuju  rumah masing-masing, meninggalkan butiran gundu di tengah lapang. Aku lupa waktu, Ibu pasti khawatir denganku.

     Baju yang mulai basah kuyup. Jalan bebatuan yang mulai menggenang dan becek. Air membasahi sendal jepit, membuatnya menjadi licin. Aku tak peduli dengan hujan. Yang Aku pedulikan bagaimana caranya cepat sampai ke rumah. Ibu pasti menunggu.

     Cipratan-cipratan air hasil dari lariku. Petir bersuara menggelegar. Begitu takut Aku mendengarnya. Di ujung jalan sana, terlihat sebuah rumah pedesaan yang sederhana. Tempat dimana Aku tinggal. Terus Aku berlari, sampai akhirnya  meraih pekarangan rumah. Dan Aku mengetuk pintu. Tok...Tok...Tokk...

     “Ibu...Bu, ini Aku,” badanku yang mulai menggigil karena kehujanan.

    Ibu membuka pintu, kaget. Melihat anak kesayangannya basah kuyup. Ibu berlari mengambil handuk yang menggantung di dekat kamar mandi. Ibu mengusap-ngusapkan handuk pada kepalaku.

     “Kamu dari mana ? Khawatir Ibu denganmu,” tanya Ibu yang tengah mengeringkan badan anaknya.

     “Maaf Bu, Aku salah,” sahutku dengan wajah tertunduk, “Sehabis mengantarkan makan siang Ayah, Aku bermain di lapang.”

     “Aku lupa waktu. Padahal Ayah menyuruhku untuk langsung pulang kerumah.” tambahku.

     “Ibu khawatir, takut kamu sakit,” raut muka Ibu terlihat cemas.

     “Sudah tak apa. Lain kali jangan diulang ya. Kami sayang padamu,” Ibu memeluk diriku, “Cepat ganti pakaianmu, nanti masuk angin.”

     Aku membelitkan handuk melingkari tubuh, berjalan menuju kamar tidur. Beberapa langkah, membuka pintu kayu yang sederhana. Lalu membuka lemari baju antik warisan dari kakek. Memilih-memilah pakaian yang hendak kupakai. Diambil sepotong pakaian. Kaos santai. Melepas pakaian basah yang sudah tak karuan aroma dan bentuknya. Kupakai kaos polos berwarna dongker.

     “Nak... Kalau sudah ganti bajunya cepat makan. Nanti kamu masuk angin. Ibu tak mau melihatmu sakit,” suara Ibu terdengar dari luar kamar.

     Benar juga. Tak ada sesuap nasi yang kumakan sejak pagi. Genderang kelaparan berirama dalam perut. Cacing-cacing mulai berontak. Membuat getar dan perih pada perut. Aku memegangi perut dan berjalan keluar kamar menuju meja makan. Sebuah tudung saji yang terlihat dari jauh. Semakin terasa sakit dan perih perutku ini. Kadar asam lambungku naik.

     Segera kuraih tudung saji berwarna merah itu. Kuangkat. Terhidang ayam goreng dan tumis kangkung. Aku tak kuat lagi menahan rasa sakit ini. Mengambil sepiring nasi dan lauk-pauknya. Kumakan dengan duduk di kursi rotan di ruang tamu. Kata Ibu, kursi rotan ini telah ada semenjak Ibu kecil. Dan mungkin, berumur lebih dari usia Ibu saat ini. Sesuap demi suap nasi yang ditelan sedikit-sedikit. Perlahan sakit perut yang dirasa hilang. Tak sebutir nasi pun yang tersisa di piring.

     Aku berdiri mengambil obat di laci. Mengambil dua butir obat penghilang sakit perut. Obat yang rutin kumakan sedari kelas 1 SD. Entah apa nama penyakitnya. Yang pasti, begitu menyiksa diriku di kala penyakit ini kambuh. Aku telan dua butir itu, dengan disusul segelas air putih yang mendorongnya menuju dalam perut. Alhamdulillah, Aku masih sempat meminum obat sebelum pingsan, ucap syukur dalam batinku.

     Aku berjalanan menujukkan jendela di ruang tengah. Menyandarkan punggung pada lekukan kursi rotan. Aku mengatur nafas. Rasanya tak percaya aku masih tersadar. Bila saja tadi aku telat satu detik. Mungkin tubuhku sudah terbaring lemah. Sungguh, aku benar-benar bersyukur. Ini benar-benar menjadi tamparan telak bagiku. Benar kata sepuh, bila kita tak langsung mengiyahkan perintah orangtua. Balasan dari Allah langsung ditampakkan saat itu juga.

    Posisiku tak berubah. Masih menghadap jendela. Melihat matahari yang akan mengakhiri peredarannya. Burung-burung berterbangan. Mengepakkan sayapnya di depan cahaya senja. Pulang, menuju pohon yang menjulang. Jingga nampaknya sedang kasmaran. Ia tak malu menampakkan raut wajahnya kali ini. Selaput-selaput awan pun tak berani menghalangi bahagianya.

     Matahari terus berjalan menuju tempatnya di ujung barat. Cahaya jingga mulai meredup. Samar-samar langit jingga mulai berubah menjadi langit malam. Suara tabuhan bedug penanda masuknya waktu sholat maghrib. Menara langgar yang kini menggemakan panggilan-Nya. Ibu menepuk pundakku dan sekain sarung digenggam tangan kanannya.

     Aku tahu apa maksudnya. Aku mengambil kain sarung bermotif awan yang khusus ditenun oleh Ibu. Masuk ke kamar untuk mengganti baju dengan baju koko. Peci songkok tak lupa juga kupakai. Tangan kananku yang membawa al-qur’an dengan ditempelkan pada dada. Lalu mencium tangan Ibu. Berpamit dan memohon do’anya. Kaki mulai melangkah menuju langgar. Menapaki jengkal demi jengkal dengan menenteng petromak. Jalanan masih sedikit lembab akibat hujan tadi.

     Kunang-kunang yang menampakkan sinarnya di balik rerumputan sepanjang jalan. Dan langgar yang mulai terlihat dari kejauhan. Terlihat pula, anak-anak dan orangtua yang berdatangan menuju langgar untuk memenuhi panggilan-Nya. Semakin dekat. Hingga berdirilah aku di depan pintu langgar. Melepaskan jepitan ibu jari kaki pada sendal. Iqomah disuarakan. Tepat sekali. Aku sampai pada waktunya.

     Semua merapikan dan meluruskan barisan shaf sholat. Kami, anak kecil, diselang-selingi oleh orang dewasa. Katanya agar tidak menganggu kekhusyuan saat sholat. Maklumlah, namanya juga anak kecil. Tanah bernyawa yang masih suci itu masih harus banyak belajar kenapa dan mengapa. Seiring berjalannya waktu mereka akan mengerti. Dengan dan atau tanpa bimbingan dari yang lebih dewasa.

    Kedewasaan tak bisa diukur melalui ada-tidaknya rambut putih bernama uban pada kepala. Nyatanya, uban tak hanya disebabkan oleh faktor usia. Kedewasaan juga tak dihitung dengan sudah berapa tahun umurmu. Kedewesaan diukur dari seberapa lapang kamu menerima kenyataan. Sedingin apakah pikiranmu dalam mencerna sebuah masalah. Kedewasaan tak bisa diraih. Namun bisa kita dapatkan dari makna-makna kehidupan.

   Imam ibarat seorang pengembala kerbau. Saat imam berkata a, kita akan manut pada perkataannya. Seolah ia memiliki sihir dalam ucapannya. Dan, makmum ibarat kerbau yang dicocok hidungnya. Ia akan terus mengikuti kemana tuannya pergi. Tuannya berjalan ke padang rumput, ia mengikutinya. Tuannya berjalan ke tepian jurang, ia juga akan mengikutinya. Tuan yang cerdas akan membawa kerbaunya ke dalam kecerdasan. Namun tuan yang bodoh, akan menyesatkan kerbau yang dibawanya.

     Dengan seksama Aku mengikuti gerakan imam. Mulai dari takbir sampai tahiyat akhir dan membaca salam. Ibu dan Ayah mengamanatkan padaku agar senantiasa sholat berjama’ah di langgar. Setelah kalimat suci yang dibacakan sesudah sholat. Pengajian pun dimulai. Dulu aku belajar bagaimana menulisan huruf arab yang baik dan benar. Dan kini, aku sudah memasuki tahap membaca huruf arab melalui iqra. Sejenis buku panduan yang berisikan huruf-huruf arab disertai dengan tanda bacanya. Iqra ada 6 jilid. Setiap jilidnya memiliki tingkatan yang berbeda. Aku sudah berada di tahap terakhir iqra 6, sebentar lagi aku sudah pantas membaca alqur’an.

     Semua diajarkan dengan bertahap, agar kami senantiasa menghargai perjuangan daripada hasil yang diraih.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 05, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Bunga TidurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang