Chapter 2: Teardrops in the Rain

269 36 34
                                    



Bola mata berwarna coklat gelap itu menatapnya tajam dan semakin menyipit; menatapnya tak suka seiring detik berlalu. Sebuah helaan nafas terlepas dari bibir semi tebalnya ketika wajah masam pria pendek berambut merah itu menjadi semakin masam; persis seperti jeruk purut.

"Kenapa kau melotot seperti itu padaku, Tuan Lee?" tanya pria bersurai hitam legam dengan sedikit aksen kebiruan itu. Alisnya berkerut bingung dan mata sipitnya menatap wajah pria yang berdiri di depannya sambil bersidekap; mencari jawaban. Namun hanya hening dan tatapan tajam menuntut yang ia dapatkan dari pertanyaannya itu. Ia kembali menghela nafas. Baiklah, Ia akan mengabaikan saja bocah pendek itu.

"Kau menduduki pohonku." Geram pria berambut merah itu. Dan ia pun berkedip; mengangkat wajahnya kembali dan menatap datar wajah pria di depannya itu.

"Kau bilang apa barusan?" Ujarnya memastikan. Ia tidak salah dengar, kan? Namun kembali pria itu hanya berdiri di sana sambil menatapnya dengan pandangan menusuk. Gurat kemarahan terpampang jelas pada wajah berpipi sedikit bulat namun tirus itu. Ia pun bangkit dari duduknya dan berdiri persis di depan pria itu.

"Berapa umur anda, Tuan Lee? Lima tahun?" ujarnya dengan nada sedikit mengejek. Ia tak habis pikir, orang ini marah padanya hanya karena ia duduk di bawah pohon yang katanya miliknya itu? Oh, ayolah, pohon ini milik sekolah, bukan miliknya.

Sebuah dengusan menjadi jawaban pertanyaannya; lengkap dengan mata yang melotot kesal. Ia terkekeh, mata sipitnya sedikit melengkung membentuk bulan sabit. Ia pun tersenyum kemudian berjalan menjauhi sosok pria itu.

"Bukankah seharusnya kau ada kelas, Tuan Lee Jihoon?" ujarnya setelah beberapa langkah, menatap melalui bahunya.

"Hal yang sama berlaku padamu, Tuan Kwon Soonyoung." Jawab pria berambut merah itu dingin. Ia terkekeh kembali dan dengan tangan di saku celana, Ia melangkah kembali, meninggalkan pria itu.

'Such a feisty little one...'

-*-

"Wah, wah, wah... Lihat apa yang kutemukan di sini." Ujarnya. Kekehan kecil keluar dari mulutnya saat matanya menatap sosok pria tinggi berambut pirang yang tengah berjongkok di depannya itu.

"Bersembunyi dari para penggemarmu, Tuan Kim?"

Pria berambut pirang itu menoleh dengan sangat cepat, membuatnya sedikit merasa khawatir orang itu akan mematahkan lehernya sendiri karenanya. Yah, meskipun itu tidak terjadi, paling hanya akan terkilir.

"Ah, ternyata hanya kau." Ujar pria itu sambil membuang nafas lega.

"Apa yang selebriti sekolah ini lakukan dengan berjongkok di semak-semak sementara kelas sudah dimulai beberapa menit lalu?" tanyanya. Dan lelaki itu hanya memutar bola matanya malas.

"Oh, tolong, jika kau tidak menyadarinya, kelas akan segera berakhir. Dan seharusnya aku yang bertanya padamu. Apakah kau membolos lagi, Tuan Kwon? Untuk apa? Merokok lagi?" balas pria itu.

"Itu bukan urusanmu, Kim Mingyu."

"Hal yang sama juga berlaku untukmu, Kwon." Ujar pria itu ketus. Ia hanya menggedikkan bahunya dan kemudian berlalu pergi; meninggalkan pria berambut pirang itu untuk bertindak sesuka hatinya.

'Berpura-pura itu merepotkan...'

-*-

"Kau menghalangi jalanku, Jeon." Ujarnya dingin saat ia berdiri tepat di belakang pria bertubuh tinggi kurus dengan surai kecoklatan. Sesaat tubuh pria itu menegang sebelum akhirnya bergeser untuk memberinya jalan tanpa sekalipun berbalik atau melihatnya.

"Maaf." Ujar lelaki itu pelan. Ia menaikan sebelah alisnya, mata hitam keabuannya menatap sosok itu dengan penuh keingin tahuan.

"Kamu dicampakkan lagi, ya?" pertanyaan yang lebih seperti pernyataan itu meluncur dari mulutnya. Pria itu berbalik dengan cepat dan menatap nyalang padanya.

"Itu bukan urusanmu, Kwon." Geram pria itu.

"Tenanglah. Aku hanya mengatakan fakta."

"Kau mengolokku, Kwon." Geram pria itu lagi; tatapannya menusuk seolah-olah ingin mengulitinya hidup-hidup. Ia menghela nafas.

"Aku tidak mengolokmu, Jeon Wonwoo. Maaf jika perkataanku menyinggungmu." Ujarnya dan kemudian berlalu dari tempat itu.

'Hidup itu menyebalkan. Tetapi perempuan itu lebih merepotkan ketimbang kehidupan itu sendiri."

-*-

Ia berjalan perlahan. Tangannya kembali menyibak rambutnya. Sekali lagi ia kembali menemukan dirinya berada di lorong sepi itu lagi. Bola mata hitam keabuan itu kini terpaku menatap keluar jendela pada langit yang sekarang tak berawan. Bibirnya perlahan bergetar pelan membuatnya dengan segera menggigit bibirnya, berusaha menghentikan getaran itu. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, sebuah rintihan keluar dari mulutnya.

Matanya terbelalak sedangkan tangannya dengan cepat membungkam mulutnya sendiri. Namun satu rintihan kembali terlepas begitu saja. Tubuhnya bergetar. Segera, ia bergerak mundur, menjauhi jendela itu. Ia terus melangkah mundur, tanpa melihat hingga akhirnya langkahnya terhenti dengan punggung membentur tembok. Tubuhnya menegang sebelum akhirnya merosot ke lantai.

Dia terduduk di sana dengan tangan yang masih menutupi mulutnya. Sebuah isakan pilu terdengar dan mata itu semakin terbuka lebar, badannya bergetar hebat dengan setiap usaha yang ia lakukan untuk membungkam dirinya sendiri. Namun semuanya sia-sia belaka saat rintihan dan isakan keluar dari mulutnya tanpa bisa terbendung lagi.

Ia merasakan sesuatu yang panas yang disertai bau amis yang menguar, mengalir membasahi wajahnya. Dan ia pun akhirnya menyerah dalam usahanya membungkam dirinya sendiri. Tangannya perlahan terangkat; menyentuh wajahnya yang basah.

Setetes air membasahi ujung jarinya. Ia menunduk, menatap kosong tangannya yang basah. Perlahan semakin banyak air yang mengalir, membasahi wajahnya dan juga jemarinya. Dan kini tangannya yang basah bernoda merah itu bergetar.

"Dia aneh. Jangan dekat-dekat dengannya."

"Diam..." lirihnya.

"Dia monster!"

"Diam!" geramnya.

"Dia iblis! Tak ada manusia yang mengeluarkan darah saat menangis."

"DIAM!" teriaknya keras sembari memegangi kepalanya. Namun suara-suara itu tetap bergema di dalam kepalanya dan semakin keras. Ia merintih dan air mata darah itu mengalir semakin deras.

"Kwon Soonyoung?" sebuah suara rendah yang nyaris berupa bisikan itu menyapa telinganya. Ia terlonjak dan dengan cepat menegadahkan wajahnya, dengan air mata berwarna semerah darah masih mengalir deras membasahi wajahnya. Matanya membulat kaget menatap sosok yang berdiri tak jauh di depannya.

"...Jihoon..."

-*-

Halo!

Part kedua sudah terbit.

Apakah kalian menyukainya?

Salam,

-dRe-

Code Name: Blue (Enigma)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang