00. Prolog

231 50 46
                                    

Prolog ini berlatar di sebuah tempat dimana orang pentingnya berlalu-lalang dengan terusan warna putih.

***

"Kau tahu El, aku sangat menyukai bakso sama seperti aku menyukaimu.
Aku menyukai cita rasa bakso, begitu juga dengan cita rasa yang kau berikan.
Ini sudah cukup,
tidak ada bumbu yang perlu ditambah ataupun dikurangi."

"Memangnya kenapa? Bukankah bagus jika aku memberikan lebih banyak bumbu cinta untukmu? Ups, ketahuan alaynya."

"Tidak,
tidak perlu.
Jika bumbunya terlalu banyak, nanti bisa sakit.
Kau tahu?
Yang lebih merasakan sakit itu bukanlah yang memakan baksonya. Tapi justru yang membuatnya."

"Hah? Kenapa lagi?"

"Ya.... Dia akan kesakitan, atau bahkan mati? Aku tidak tahu soal itu.
Namun yang ku tahu, si pembuat bakso itu mengeluarkan banyak energi untuk membuat cita rasa yang pas untuk baksonya. Dan jika dia menambahkan bumbu lagi, dia bisa kehabisan energi.
Bakso yang memiliki cita rasa berlebihan bisa membuat yang memakannya sakit.
Tapi lebih sakit si pembuatnya bila ia tahu bahwa bakso yang dibuatnya tidak dimakan sampai habis.
Bisa saja si pembuatnya tidak tega dengan buatannya sendiri lalu akhirnya memakannya, dan dia bisa saja mati. Paham tidak? Atau bahasanya sudah mulai aneh?
Hei, El...
Kau harus ingat, bahwa sesuatu yang berlebihan itu tidaklah baik bagi siapapun. Biarlah semuanya pas, sesuai ukurannya, sehingga bisa menghasilkan cita rasa yang baik dan dihabiskan oleh konsumennya."

"Hei, Leo.. Aku ingin kau menjadi guru privatku saja. Kau tahu? Kata-katamu itu masuk ke telingaku, dari sana tersalurkan lewat otak, dan tertanam di hatiku. Tapi Leo memang cocoknya jadi guru, sih."

"El! Jangan mengikuti gaya bicaraku!"

***

"LEO! GAWAT! TOLONG AKU!!"

"Bisa tolong kecilkan volume dan temponya tidak? Aku tidak mau ada biaya tambahan karena ini. Ada apa El? Oya, jangan lupa menutup pintu. Tolong agak tenang sedikit."

"Gawat, Leo... Aku ketahuan tidak pandai dan rajin sepertimu. Aku kepergok nggak pernah ngerjain PR, dan Papa udah ngurus surat pindahnya.
Duh gimana Leo?
Perjuanganku sia-sia dong?
Padahal kan aku sudah susah payah berusaha satu sekolah sama kamu.
Masa tiba-tiba dipindahin? Belum juga nginjek satu semester..."

"Memangnya aku bisa apa?
Justru kamu yang bisa melakukan apa saja, bukan aku.
Dengar, El..
Kau masih bisa bertemu denganku disini setiap pulang sekolah, sama seperti sekarang dan biasanya. Jadwal inapku tidak berubah kok, sampai aku benar-benar pulih."

"Berarti kita nggak bisa lagi dong makan bareng di kantin Bakso Mas Tresno?"

"Ngawur!
Memangnya pertama kali kita ketemu itu di sekolah?
Tidak kan?
First meet aja di kantin sini, baksonya juga enakan yang disini.
Kenangannya juga banyakan yang disini kan? Atau kamu sayangnya sama Mas Tresno?"

"Garing Leo...
Maafin aku. Kalau saja aku rajin dan ninggalin kejelekan SMP, mungkin kita masih bisa satu sekolah. Maaf,"

"El.. Kamu nggak cocok nangis! Berjanjilah padaku, jangan tunjukan air matamu di sekolah barumu nanti ya, atau aku akan marah."

***

"Leo kapan sembuh ya? Sudah 2 tahun kan kita kenal disini? Apa harus aku yang jadi dokternya?"

"Eltha kapan masuk sekolah baru?"

"Senin. Karena sekarang hari kamis, jadi tanggung banget."

"Sekarang hari kamis? Wah, cepat juga ya, tidak aku perhatikan. Apa karena hari ini aku bolos sekolah? Enak juga ya muntahber setengah jam di jam masuk sekolah. Hahaha.."

"Selera humormu rendah banget Leo. Nggak lucu. Seharusnya kemarin kamu nggak telat makan malamnnya. Alasannya jelek pula, ngehabisin novel Harry Potter."

"Kamu jadikan susternya sebagai intelmu ya?
Curang.
Padahal aku mau kamu khawatir, ternyata gagal."

"Leo.. Pertanyaanku diawal belum dijawab. Rencana sembuhmu kapan? Kamu UN kan tahun ini?"

"Aku tidak salah dengar?
Bukannya tadi kau hanya bertanya kapan ya? Tidak ada kata-kata rencana. Hahaha..
Aku tidak punya rencana untuk sembuh sampai kau jadi dokterku."

"Yang benar saja?
Jadi dokter sekolah terus kan? Ogah banget kalo nggak satu sekolah sama Leo! Aku kan sudah bilang mau jadi chef, mau bikin makanan enak yang lain selain bakso."

"Hahaha...
Kamu tuh,
kenapa sih pengen banget satu sekolah sama aku?
Toh hanya satu tahun kan? Kalaupun sekolah kedokteran, kamu juga nggak bisa bareng sama aku. Kan Leo disuruh jadi guru sama Eltha."

"Ketawa terus padahal nggak ada yang lucu.
Ngelucunya nggak lucu.
Aku kasian sama murid-muridmu di masa depan.
Aku mau satu sekolah sama Leo biar bisa ngawasin 24 jam nonstop tanpa harus ada intel. Di sekolah, di rumah sakit, dan dimana-mana."

"Kamu juga bisa lihat aku di langit."

"Maksudnya?"

"Kalau kangen sama sosok Leo di sekolah baru, coba lihat langit, bisa bikin suasana hati lebih tenang. Aku juga gitu kalau kangen sama Eltha. Kan ada lagunya, kita memandang langit yang sama, jauh di mata namun dekat di hati."

***

Author's Note :
Eaa nyanyi nggak tuh baca kalimat akhirnya? Wkwkwk.
Baca novel ini harus penuh kesabaran, ya. Karena author emang nggak bikin bablas 1 adegan 1 cerita 1 bagian, tapi author bikinnya maju mundur syantik. Jadi kalian bakal satu persatu menemukan potongan puzzle dari cerita ini. Updatenya juga pelan-pelan btw, soalnya Author orang she book (baca: syibuk). Tapi author usahain minimal seminggu sekali^^
Jangan lupa votenya ya, biar author semangat ngelanjutinnya^^

4 Feb 2019,
ruthgraciaa

CulinaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang