Bab 4- Rooftop and Doctor

2.5K 129 0
                                    

***

Jam menunjukkan pukul sembilan malam lewat ketika ia sudah sampai di depan ruangan Adimas. Kopi dan Roti yang di belinya masih setia menggantung di tangannya.

Pintu ruangan Adimas sedikit terbuka, membuat Rindita memiliki sedikit akses untuk melihat ke dalam.

Adimas tidak sendiri, di sana ada seseorang berbaju putih yang menggenggam tangannya.

Bukan, Bukan Hantu. Rindita dapat menangkap suara yang tidak asing baginya itu.

"Mimpi indah, Adimas. Jangan takut, karena gue akan ada di samping lo." Ujar seseorang yang di yakininya adalah Beby.

Rindita menutup kembali pintu itu dengan pelan. Adimas kesepian, ia tahu hal itu. Adimas tidak pernah suka sendiri, maka dari itu Adimas selalu menginap di tempatnya ketika Nino ataupun Butet tidak datang. Meskipun hanya berbeda satu lantai dan sudah di larang oleh sang penjaga kos. Alasannya sederhana, Sendiri itu sepi.

Rindita memasuki lift, ia berniat pulang saja. Tapi tangannya tanpa sengaja memencet angka lima belas, lantai teratas dari rumah sakit itu.

Baru saja Rindita ingin memencet angka satu, tiba-tiba ia teringat akan Rooftop. Setiap gedung tinggi mungkin memilikinya. Bayangan akan berada di atas ketinggian, dan sejajar dengan gedung pencakar langit yang lain membuat Rindita mengurungkan niatnya untuk pulang lebih cepat.

Rindita membuka pintu yang menghubungkan antara ruangan terbuka dan bagian dalam rumah sakit. Angin malam menyapanya, membuatnya tersenyum.

"Wah!! saya suka.. saya suka.." Ujar Rindita takjub, mengikuti cara bicara salah satu karakter cartoon yang sering di tontonnya bersama teman-temannya.

"Kamu suka?"

Rindita hampir saja menjatuhkan kantongan Rotinya karena kaget. Ia berbalik, mendapati seseorang dengan jas putih, berwajah tampan dengan ekspresi tak terbaca.

"Dokter lagi!"

Mungkin takdir sedang mengajaknya bermain sehingga mempertemukannya dengan Dikter itu berkali-kali.

Rindita kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan di bawah sana setelah tahu siapa yang datang.

"Kenapa?" Tanya Rafa singkat. Tadinya Rafa melihat Lift yang di masuki gadis itu menuju lantai lima belas, dan karena ia sudah melakukan tugasnya memeriksa beberapa pasien. Maka dari itulah Rafa menyusul, takut-takut kalo Rindita berniat bunuh diri.

"Apa?" Rindita tidak mengerti dengan pertanyaan Rafa.

"Kenapa kesini?" Tanya Rafa lagi.

"Karena mau." Jawab Rindita enteng.

Rafa tersenyum tidak kentara, gadis unik dengan tingkah seenaknya. Rafa ikut melihat ke bawah sana. Menumpukan tubuhnya di pembatas Rooftop mengikuti yang di lakukan Rindita.

"Mau?"

Satu gelas caramel machiato di sodorkan Rindita padanya. kemudian gadis itu mengambil satu kotak roti yang tadi di belikannya.

"Minum aja, nggak di kasih sianida kok. kan tadi kita bareng belinya." Rindita berujar tanpa beban. Seakan-akan Rafa adalah temannya.

"Liat deh, di bawah sana," Rindita menunjuk jalanan yang menampilkan cahaya dari lampu-lampu kendaraan yang menambah kesan elok.

"Di bawah sana keliatan nggak terjadi apa-apa, semuanya keliatan sempurna dari atas sini. Nggak ada kecelakaan seperti yang di alami Adimas. padahal mungkin ada, Nggak ada umpatan kasar atau teriakan dari pengendara, padahal mungkin ada. Dari sini semua terlihat baik-baik saja, dari sini semua terlihat sempurna."

RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang