Chapter 5 - The Interview

59 1 0
                                    

VANIA’S POV

Setelah menunggu lama, tibalah waktunya aku di wawancara. Aku sudah kembali dari kamar untuk menata ulang make up dan rambutku. Setelah tributes dari Thailand turun dari stage dan kamera dimatikan, aku dan Zidan diminta untuk bersiap di belakang stage. Zidan menggenggam tanganku yang basah oleh keringat karena aku sangat gugup. Aku teringat Mom, Dad, dan Julian di rumah yang aku yakin mereka sedang menyaksikan tayangan ini.

“Keep calm Vanz.” bisik Zidan.

“Yeah.” aku menghela nafas panjang.

“Three.. Two.. One.. Camera roll, ACTION.”

Aku melangkahkan kaki ke atas stage dan mencoba untuk tampil percaya diri. Bagaimana mungkin tributes lain melihatku gugup hanya untuk di wawancara. Aku yakin mereka pasti langsung menganggapku lemah dan akan meremehkanku di arena nanti. Zidan menoleh kepadaku dan menganggukan kepalanya. Sesampainya aku dan Zidan di atas stage, kami langsung membungkuk dan memberikan hormat ke kamera dan ke para tributes yang ada.

Di atas stage sudah ada Jesse Hutch yang selalu berpakaian yang agak aneh menurutku. Rambutnya yang lurus di keriting dibagian kanan dan kirinya. Wajahnya memakai bedak berwarna putih yang sangat tebal. Kau tau kue mocha? Ya, kurang lebih seperti itu lah wajahnya. Bibirnya yang menggunakan lipstick merah darah dan bulu matanya seperti bulu mata unta. Jasnya berwarna hijau muda dan celana panjang kuningnya kepanjangan. Bisa kau bayangkan?

“Hello Zidan Marsa and Vania De Vizio from Indonesia!”

“Hi Jesse,” Zidan balas menyapanya.

“Oh, take a seat dudes. Calm down. Hahaha.”

“Thank you.” kataku seraya melemparkan senyumanku ke kamera.

“So, I will start with you, Ms. De Vizio. Bagaimana reaksi keluarga kau ketika kau diumumkan mewakili Indonesia?”

“Mereka.. Umm.. Mereka sedih, pastinya. Terlebih aku, aku berpisah dengan Julian, kakakku satu-satunya. Setelah hari pemungutan itu, aku tak sekolah,  Dad tidak berangkat ke kantor, Mom selalu di rumah, dan Julian tidak pergi kuliah.” Zidan yang duduk di sebelahku menyeka air mata dari pipiku.

“Aww.. Sweet.. Keluargamu pasti sangat menyayangimu. And.. are you Zidan’s girlfriend?”

Aku terdiam. Aku tak tau harus menjawab apa.

“She WILL be my girlfriend Jesse. Please pray for our relationship.” Zidan menjawabnya sambil tersenyum.

“Of course I will. Hmm, bisakah kau menceritakan kepada kami tentang hubungan kalian?”

“I’m falling in love with her since our first met. Aku sudah menyampaikan kepadanya tentang perasaanku. Dan,” Zidan melihatku. “Dan ia belum bisa menerimaku, jadi kami belum resmi berhubungan. Aku mencoba untuk mengerti, mungkin ini karena ia ingin fokus memenangi Nation Fighter dulu.”

“I love your positive mind. Hmm, apa yang kalian suka dari Kypotripe?”

“What? Are you kidding me? It’s–“

“Kau tau tabung pengering di toilet? It’s amazing dude!” Zidan menyela omonganku. Tributes yang ada pun tertawa terbahak-bahak mendengar jawabannya terlebih Jesse Hutch.

“Hahaha, aku pun demikian. Terkadang aku sering berlama-lama di dalam tabung itu. Lalu, apa strategi kalian untuk memenangi atau bertahan di Nation Fighter?”

Astaga, aku tak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Dipikiranku hanya menang, menang, dan menang tanpa memikirkan cara agar aku dapat memenangi NF. Aku mencoba untuk berpikir cepat.

“Berlari.”  jawabku.

Semua tributes yang menyaksikan lagi-lagi tertawa mendengarnya. Mungkin aku terlihat bodoh sekarang. Aku tak boleh memalukan Indonesia di mata dunia.

“Aku mengerti maksudmu, berlari sambil berpikir cepat? Itu kah yang kau maksud?”

Ini yang kumaksud dengan pertolongan Jesse. Ia selalu bisa menghandle berbagai sifat orang dan selalu membantu agar memecahkan suasana.

“Ya semacamnya. Aku mencoba menggunakan pikiranku dan Zidan akan lebih fokus di serangan dan pertahanan.”

“Good strategy guys. Okay, thank you so much Zidan and Vania. I promise I’ll pray for your relationship, young love. Good luck!”

“Your welcome Jesse.” sahutku  dan Zidan bersamaan.

“CUT. NEXT! Tributes from Singapore.”

Dari belakang stage aku melihat Stephanie dan Will sedang mempersiapkan diri. Mereka tak kalah gugup jika dibandingkan denganku tadi. Ketika Steph melihat kearahku berdiri sekarang, aku mengangguk dan tersenyum kepadanya lalu membentuk kalimat YOU CAN DO IT dengan mulutku.

Zidan menarikku keluar dari belakang stage. “Apa-apaan sih?”

“Kau ini, apa yang kau ingin katakana tadi di stage? Apa kau gila? Kau mau mereka langsung membunuh kita di arena nanti karena menjelekkan Kypotripe?”

“Kau yang gila. Aku hanya berusaha untuk jujur. Itu saja kok.”

“Jujur katamu? Kejujuran yang berakibat dibunuhnya kita?”

“WHATEVER.” aku langsung pergi meninggalkannya sendiri dan berjalan keluar dari kerumunan tributes.

***

ZIDAN’S POV

“WHATEVER.” Vania pergi tanpa permisi lagi kepadaku.

Pasti karena si makhluk pendek Vania jadi keras kepala. Padahal aku memberitahukannya kenyataan. Aku hanya tak mau ia menanggung resiko nantinya. Ah sial. Sudahlah aku kembali ke kamar saja. Bisa gila aku lama-lama di sini. Belum lagi kalau nanti bertemu si pendek. Bisa-bisa aku emosi lalu kuhabisi dia langsung.

Aku melewati lorong-lorong yang sama seperti yang kulewati tadi. Kira-kira di mana Vania? Kalau ia kembali ke kamar, ia pasti melewati lorong ini juga. Wait, who’s that? Aku melihat sekelebat bayangan dua orang di ujung lorong ini.

VANIA’S POV

Aku berlari menyusuri lorong-lorong yang tadi aku lalui. Sampai akhirnya tak sengaja aku menabrak seseorang dan aku terjatuh. Orang yang kutabrak tadi mengulurkan tangannya kepadaku dan aku meraihnya.

“Jayden?”

“Yeah, please be carefull next time.”

“I’m so sorry Jayden.”

“That’s okay Vania.”

Ia masih mengenakan pakaian yang ia pakai untuk wawancara tadi. Rambut cokelatnya masih tertata rapi. Dan kedua matanya memandangku. Aku tak kuasa memandangnya. Aku malu.

“What happened Van? By the way, tadi aku melihat wawancaramu. Kau cocok lho dengan Zidan.”

“NO– I mean, maksudmu apa? Aku tak ada perasaan dengannya kok.”

“Huh?”

“Yeah, where’s Clarisse?”

“Oh, ia kembali ke kamarnya. Katanya kelelahan. Van,”

“Hmm?”

Tiba-tiba ia mencium pipiku. Aku terkejut. “I HATE YOU JAYDEN SIERRA!” aku berteriak sambil tertawa.

“I LOVE YOU TOO VANIA DE VIZIO!” tiba-tiba ia terdiam. Kemudian ia salah tingkah di depanku. “Gotta go, Clarisse menungguku di teras. Aku ingin menyusun strategi dan mempersiapkan diri untuk latihan yang akan dimulai lusa.”

ZIDAN’S POV

Aku mendekat ke arah itu. Seorang perempuan dan seorang laki-laki. Aku mendengar tawa dari mereka berdua. Kelihatannya mereka sedang bercanda, tak ada salahnya aku ikut bergabung dengan mereka. Siapa tau mereka bisa ajak bekerja sama nanti.

Ketika jarakku tinggal 5 meter, aku baru bisa melihat jelas siapa mereka. Dan tiba-tiba aku mendengar suara si pendek..

“I LOVE YOU TOO VANIA DE VIZIO!”

“JAYDEN SIERRA.” panggilku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nation Fighter [The Collective - The Hunger Games]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang