Ketika banyak orang yang tidak menyukai kehadiran hujan, aku justru sebaliknya. Aku suka hujan, sangat suka. Tetesan air yang membasahi tanah hingga menimbulkan aroma khas hujan, yang dikenal sebagai petrichor, membuatku seperti hidup kembali setelah sekian lama menjelma seperti orang mati.
Hujan, bagiku dia seperti obat penenang. Sekali tetesan airnya menyentuh permukaan kulitku, rasa tenang dan damai berkali lipat memelukku, dalam dan hangat. Hujan, bagiku dia seperti morfin, obat penghilang rasa sakit. Sekali ku hirup aroma hujan yang membasahi tanah, rasa sakit yang begitu dalam kurasakan seketika hilang. Aku terlihat menyedihkan? Katakanlah seperti itu.
Aku tidak tau harus memulainya darimana untuk menceritakan kisahku, kisah yang begitu menyedihkan. Bahkan bagi diriku sendiri, airmata yang ku keluarkan saat mengingatnya kembali, tak akan bisa mengembalikan semuanya seperti sedia kala.
Berkali-kali mencoba melupakan, namun, tetap saja tidak bisa. Pikiranku seperti dipenuhi segala hal tentangnya, tentang aku dan dia, tentang kisahku yang pilu, tentang hidupku yang menyedihkan. Itu semua terjadi saat hujan belum menjadi canduku. Kini, hujan telah menjadi canduku, hujan membantuku mengikhlaskan semua hal yang memang harus di ikhlaskan.
***
Hari itu masih teringat jelas bagaimana senyumannya begitu manis hingga tidak bisa ku lupakan sampai saat ini, saat aku benar-benar mengikhlaskannya. Dia menghampiriku yang sedang duduk di atas tikar kecil yang dipenuhi berbagai macam makanan dan minuman, ya, saat itu kami sedang piknik di sebuah taman yang jauh dari hiruk pikuk suasana perkotaan.
"Hei, gadis yang lagi baca buku, yang pakai topi.." panggilnya dengan suara keras namun kelembutannya tetap bisa kurasakan.
Aku menoleh ke arahnya dengan wajah cemberut. Tapi, siapa sangka saat aku menoleh ke arahnya, tanpa seizinku dia mengambil fotoku sambil menertawakan wajah cemberutku yang mungkin baginya terlihat sangat konyol.
"Arfan. Sekali lagi kamu ngambil fotoku tanpa izin, aku bunuh kamu di rawa-rawa!" ancamku padanya
Arfan yang semula masih tertawa menjadi diam, dia mendekatiku dengan memasang wajah sok polos. "Tega ya kamu, Rin. Masa sahabat sendiri mau dibunuh di rawa-rawa".
Melihat wajah sok polos ditambah cara dia berbicara membuatku tertawa. Lucu dia memang. Sesekali kutatap matanya, kuamati setiap inci wajahnya dengan diam-diam tanpa diketahui olehnya. Tapi, jika ketahuan aku berpaling memandang hal lain. Aku tidak memiliki rasa terhadapnya, karena aku dan dia hanya sebatas sahabat. Menatap itu hal yang wajar, 'kan? Itu salah satu bentuk kekagumanku padanya sebagai seorang sahabat. Melenceng dari pemikiran orang lain memang, tapi itulah kenyataannya.
Hm. Akhir-akhir ini, entahlah, sudah beberapa tahun sejak kami--aku dan Arfan--bersahabat, aku merasa ada perasaan yang mengganjal setiap dia menatapku lekat, menggenggam tanganku, atau sekedar merapikan rambutku yang berantakan terkena angin. Ada sesuatu yang berdesir di dadaku ketika dia melakukan hal-hal kecil seperti itu. Kadang juga, ketika dia tiba-tiba menatap mataku, aku langsung salah tingkah dan langsung memalingkan wajah.
"Zarina! Cepat! Hujannya makin deres!" suara Arfan yang memanggil namaku lengkap membuatku tersadar kalau hujan turun dengan derasnya dan sudah membasahi setengah pakaian yang kupakai.
Aku dan dia, maksudku Arfan memilih berteduh di sebuah toko kecil yang jaraknya dekat dengan taman tempat kami piknik. Sambil menutupi motornya dengan jas hujan yang baru saja dia keluarkan dari jok motor, Arfan menyuruhku duduk di kursi panjang yang ada di depan toko tempat kami berteduh. Aku mengeluarkan IPod dan memasangkan earphone di kedua telinga dan mendengarkan lagu sembari menunggu hujan reda. Tanpa kuperhatikan, Arfan ikut duduk di sampingku dan melepaskan earphone di telinga kananku dan memasangnya di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Rindu
ChickLit"Bagiku, hujan itu pembawa rindu terberat, karena semua hal yang berkaitan dengan mengikhlaskan berawal ketika hujan turun."