1

284 26 2
                                    

Rintik-rintik air hujan membungkus Tokyo dalam kegelapan yang mendatang. Matahari sudah tertidur lelap, tetapi sedari tadi sang terang selanjutnya belum tampak. Kerlap-kerlip benda angkasa mulai bermunculan di cakrawala luas. Menyisakan satu tempat kosong yang masih bersembunyi di rumahnya. Bersamaan dengan itu, seakan bersiap menyambut kedatangannya, angin pun mulai meniup kencang daerah tersebut. Sekejap mata terlihat badai, tapi hanya fenomena alam biasa. Meskipun para manusia memutuskan untuk menetap di kandangnya disertai selimut tebal.

Tetap saja ada beberapa manusia yang tidak peduli akan cuaca abnormal ini. Jika mata jeli, sepasang makhluk dapat terlihat jelas di sebuah taman. Ayunan yang sudah basah diduduki oleh seorang gadis. Menganyunkannya pelan sambil melantunkan melodi indah yang beriringan dengan butir air hujan yang jatuh mengenai tanah. Seolah mereka telah menjadi satu. Alam dan manusia.

Sementara, lelaki seumurannya tengah menundukkan kepala. Berdiri di hadapan gadis itu, ia mendapati dirinya penuh dengan rasa bersalah serta penyesalan. Ia tahu semua kejadian tidak bisa diulang kembali dan hanya bisa tersimpan rapi dalam otaknya. Dikepalkannya kedua tangan sambil menggigit bagian bawah bibir. Mulutnya sedikit terbuka, lantas dikatupkannya cepat-cepat. Tenggorokan tercekat membuatnya tak bisa mengeluarkan suara-entah apakah ia sudah tahu apa yang harus diucapkannya-dan memutuskan untuk berdiam sejenak.

Tempat itu lengang. Hening bercampur ramai oleh nyanyian bernada yang dibentuk oleh alam. Tak terasa niat meluapkan amarahnya. Gadis itu tetap bersabar menunggu lawan jenisnya berbicara. Lantunan yang keluar dari bibirnya terus terdengar dengan halus. Alam sepertinya menyukainya dan menyambut dengan bahagia. Sekali-dua kali, suara derum mesin mobil yang melewati mereka mengusik konsentrasinya.

Waktu berlalu cukup lama, dan masing-masing masih berpikir. Alam senantiasa menemani mereka tanpa mempedulikan kedua sahabatnya akan jatuh sakit atau tidak.

Pada akhirnya, bunyi klakson mobil yang memecahkan keheningan di antara mereka. Lelaki itu tetap tidak bergerak, walaupun sang gadis sudah beranjak dari tempatnya. Tangan gadis itu menelusuri rambut panjangnya yang sudah basah dan membuang muka. Kepala laki-laki masih ditundukkan, tetapi sepasang mata elangnya bergerak cepat menangkap gerak-gerik gadis tersebut.

Terdengar helaan napas yang bertujuan mengeluarkan kelelahan dalam diri gadis itu. Ia mendongak menatap langit dan menemukan dirinya dalam pandangan gelap.

"Menghabiskan waktu saja," keluhnya. Lelaki itu tersentak akan perkataan tersebut. Dahinya mengerut bertanda bahwa dia tidak setuju.

Entah gadis itu tahu atau tidak, ia tetap melanjutkan pembicaraan serius ini. "Dari awal memang sudah tidak berjalan lancar," kedua kaki membawanya menjauhi taman, "dan kita berdua tahu itu."

Sol sepatu ketsnya menapak di atas aspal jalan raya. Kemudian langkahnya terhenti beberapa saat sebelum kembali melangkah.

"Cerita kita berakhir disini."

Kalimat itu terngiang di pikiran sesosok pria jangkung bernama Akaashi Keiji yang sedang diguyur oleh hujan lebat yang tak kunjung berhenti.

Something Called Trust ▪ Kuroo TetsurouWhere stories live. Discover now