5

103 17 17
                                    

Suara bel apartemen membangunkan (name) dari tidur pulasnya. Setelah seharian kemarin sukses menyelesaikan satu lukisan yang disebutnya sebagai masterpiece selama memulai karirnya sebagai pelukis, gadis itu langsung ambruk di sofa dan tak lama kemudian terdengar bunyi-bunyian yang keluar dari bibirnya.

Sayup-sayup ketukan pada pintu ditangkap oleh pendengaran (name) yang tajam setelah suara bel yang kecil gagal menyadarkan gadis ini dari alam mimpi. Perlahan kelopak matanya terbuka, dan cahaya lampu memaksa masuk menyebabkan (name) tak dapat melihat sementara. Tak lama kemudian kesadarannya terkumpul, kedua kaki menopangnya menuju pintu dengan malas.

"Siapa yang mengganggu tidurku di pa..." Ucapannya terhenti, tidak jadi protes. Memandang seseorang di hadapannya sudah cukup untuk membungkam mulut tajamnya.

Tampak raut wajah Iwaizumi mengerut, siap untuk menceramahi sahabatnya sejak kecil. "Kau tadi mau bilang pagi, kan? Lihat jam sekarang. Jarum pendek menunjukkan di angka satu yang seharusnya sudah waktunya jam makan siang. Kenapa kau tidak nyalakan alarm-mu?" Sebagai balasannya, (name) menghela napas berat lalu berpura-pura tidak mendengarnya sedikitpun.

"Ayo masuk." Pintu segera dibukakan dan Iwaizumi memasuki apartemen. "Jangan mengabaikanku, (name)," tegur pria itu terlihat sebal. Ia berjalan menuju sofa dan mendudukinya. Sekali lagi, gadis tersebut terlalu malas untuk menjawab sampai ia menguap dengan tidak sopan.

Ambang tali kesabaran Iwaizumi putus dan kedua tangannya lantas digunakan untuk mencubit kedua pipi (name) sekencang-kencangnya.

"Swetouwp! Hwajuimwe, swwetowip! Twimuwe owut! Mmwaafikankwu!" (Name) memohon-mohon dan terlihat agak ketakutan melihat ekspresi wajah Iwaizumi yang menakutkan.

"Tahu rasa. Lain kali kubawa Trashykawa itu kesini," balasnya melepaskan kedua tangan kemudian duduk tenang dengan tangan terlipat seolah tidak terjadi apa-apa.

(Name) pun mengusap kedua pipi merahnya yang menjadi korban seraya mendengarkan sahabatnya berbicara.

"Sesuai janji, aku datang kesini untuk membantumu. Cepat, ambilkan selembar kertas agar aku bisa membuat sketsa terlebih dahulu," perintahnya. Ia lalu mencomot sepotong biskuit yang tersedia di atas meja. Seharusnya snack tersebut sudah habis kemarin malam, sayangnya jiwa (name) sudah melayang ke alam sebelah-bukan berarti ia telah meninggal.

(Name) menggembungkan salah satu pipinya serta dipalingkan kepalanya ke samping, menghindari tatapan Iwaizumi. "Sebelum itu, semua catku sudah habis dipakai oleh lukisan pertama. Jadi, hari ini Hajime akan menemaniku berbelanja, kan?"

Pria bersurai hitam itu memutar bola matanya. "Ya, ya. Sana mandi dulu. Bau sekali." Ia menggesturkan tangannya-menutup hidungnya-seakan berada di dekat truk sampah.

Gadis itu tidak sedikit pun menggerutu dan menuruti kata Iwaizumi. Lima belas menit yang entah lama atau cepat bagi Iwaizumi yang selama itu membersihkan ruangan khusus yang dipakai (name) untuk melukis kemarin, berlalu. Dengan rambut basah, (name) keluar dari kamar mandi, menggunakan pakaian casualnya. Ia berlari kecil menuju kamarnya untuk memgambil kaos kaki. Setelah semua sudah lengkap, (name) yang bersemangat menarik Iwaizumi keluar dan mengunci pintu.

"Hei, mau coba toko baru di dekat taman bermain itu? Dengar-dengar, peralatannya disana jauh lebih lengkap." Iwaizumi memulai pembicaraan disaat atmosfer di antara keduanya menjadi canggung. Mereka terus berjalan melalui beberapa rumah dan mencapai distrik perbelanjaan.

(Name) menggosok kedua tangannya saat angin dingin menerpanya. Embusan halus keluar dari bibirnya. "Bilang saja kalau Hajime mau mengunjungi toko voli di sebelahnya," timpalnya. Iwaizumi tampak menyengir dan menjawab, "Satu batu kena dua burung."

"Terserah deh," balas (name) singkat. Keduanya memutuskan untuk mendatangi toko baru. Pada awalnya, (name) juga tidak peduli akan toko mana yang ia harus beli peralatannya. Asalkan harganya menjangkau serta enak dipakai, (name) tidak ambil pusing untuk memilih toko favoritnya. Tetapi sekarang, dengan kesempatan emas dimana lukisannya akan dipamerkan, gadis ini hanya mempedulikan kualitas cat ataupun kuas yang tinggi tanpa memikirkan harganya. Bahkan, Iwaizumi sampai menggeleng-gelengkan kepalanya saat (name) menyebutkan alasannya untuk berbelanja tidak di tempat biasa.

Tempat yang dituju sudah berada di jangkauan mata mereka. Sedikit mempercepat langkah, Iwaizumi berbelok ke kiri untuk memasuki toko voli setelah memberi pesan pada diri gadis tersebut. (Name) berhenti sejenak, melihat sahabatnya yang antusias mencari sepatu baru untuk acara reuni nanti. Teringat akan hal itu, ia segera melangkahkan kakinya menuju bangunan yang cukup besar bagi sebuah toko, dapat menandingi toko besar yang menjual pakaian, tas, sepatu, dan sebagainya. (Name) sempat terpukau sebelum didorongnya pintu itu dan angin yang berasal dari air conditioner lantas menyapa setiap jengkal kulitnya.

Dingin, batin (name).

Kedua bola mata miliknya menelusuri setiap sudut bangunan yang tidak terlihat lagi. Benar-benar luas, pikirnya seraya berjalan-jalan mengelilinginya dan tidak lupa akan tujuannya datang kesini.

Mendadak ia berhenti di depan sebuah etalase kaca dekat kasir. Dipandanginya hampir beberapa menit hingga penjaga kasir menegurnya. "Ada yang ingin dicari, Mbak?" tanyanya ramah.

Tersadar dari lamunannya, (name) menggeleng. "Tidak. Saya, cuman teringat akan sesuatu." Ia mencoba untuk tersenyum. Wanita yang sepertinya berumur sekitar tiga puluh tahun itu kembali mengurusi pekerjaannya disaat pengunjung lain datang untuk membayar apa yang dibeli.

(Name) juga kembali melanjutkan pencariannya. Ia berjalan dengan kepala bergerak dari satu arah ke arah lainnya, mencari-cari bagian toko yang menjual peralatan seni. Setelah dilihat-lihat, ternyata toko ini tidak hanya menjual kebutuhannya, juga kebutuhan lain seperti alat musik. Dipikir-pikir juga, uang yang telah dikumpulkannya tiga tahun terakhir ini, berencana untuk dipakai membeli gitar yang diidam-idamkannya sejak dulu. Dan lagi, fokusnya teralihkan. Ia setengah menampar pipinya agar dirinya tersadar dari dilema ini.

"S-sa-sakit," keluhnya pelan dan pada saat itu ditemukannya lemari yang ditempatkan berbagai jenis cat serta warna yang berbeda. Matanya menangkap samar-samar merek terkenal sebuah cat dan tanpa berpikir panjang lagi, (name) berlari kecil menujunya. Akibat kurang mempedulikan keadaan sekitar, gadis itu tidak melihat tanda 'Habis dipel' dan seketika terpeleset. Sekelabat bayangan datang kemudian menolongnya dengan menopang tubuh langsingnya ke pelukan sosok tersebut.

"Lain kali hati-hati, Nona." Suara maskulinnya terdengar indah di telinga (name).

"Kau?!"

Something Called Trust ▪ Kuroo TetsurouWhere stories live. Discover now