Pagi yang dingin mengigilkan ulat bulu dan beberapa kupu-kupu yang hinggap di atas putik bunga mangga. Mentari mengintip malu, memandangi pepohonan yang masih nyenyak dalam dekapan selimut kabut. Sang embun pun masih menggelayut manja di pucuk dedaunan hijau menunggu datangnya cahaya mentari yang akan mengantarnya kembali ke angkasa. Namun, di sebuah gang, di depan gerbang kampus bercat kuning, telah ramai calon mahasiswa yang membawa atribut ospek sedang berjejalan masuk. Tak ada yang mau mengalah sebab beberapa menit lagi sirine akan segera dibunyikan. Jika sirine telah berbunyi, gerbang akan segera ditutup dan semua orang yang masih berada di luar akan mendapatkan hukuman.
Ngiiiiuuuuuuuunggg...!!! Sirine telah dibunyikan.
"Cepat, cepat! Lari! Gerbangnya sudah mulai ditutup!"
Beberapa calon mahasiswa yang masih jauh dari gerbang pontang-panting berlarian. Derap langkah kaki mereka memecah keheningan pagi.
"Awas!"
Bruk!
Satu dua orang terjatuh. Tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah.
Gerbang tinggal setengahnya.
"Cepat!" teriak seorang anggota Menwa. Wajahnya garang layaknya preman.
"Saya hitung sampai lima!" Matanya tajam menatap, tetapi bibirnya menyeringai. Sepertinya dia menikmati situasi ini.
"Satu!"
Kepanikan semakin melanda. Derap langkah kaki semakin nyaring terdengar.
"Dua!"
Beberapa orang yang telah sampai segera menyelinap masuk. Wajah mereka kembali cerah. Senyum kecil tersungging di sudut-sudut bibirnya.
"Tiga!"
Seorang pemuda bertubuh mungil berlari zigzag melewati beberapa orang yang masih tergopoh-gopoh. Di lehernya tergantung sebuah tanda pengenal. Rannan. Begitulah nama yang tertera. Larinya cepat. Dia terus menyelip orang-orang yang berada di depannya.
"Empat!"
"Auw!" seorang gadis kembali terjatuh. Satu, dua, tiga orang tumbang. Wajah mereka tampak pasrah. Gerbang hanya tinggal sebatas tubuh satu orang.
"Ayo, cepat!" Wajah dua orang penjaga gerbang itu semakin terlihat menyeringai.
Tinggal tujuh meter lagi. Rannan yakin bisa lolos. Kecepatan berlarinya membuat dirinya menjadi yang terdepan. Senyum telah terukir. Dada mulai membusung. Hari ini dia tidak akan kembali mengenakan kalung jam dinding. Dia juga tidak akan berlari mengitari lapangan sambil berteriak Aku tidak akan terlambat lagi.
Srruuugh! Tiba-tiba Rannan merasa celananya ditarik dari belakang. Tubuhnya oleng. Tubuhnya terjungkal. Wajahnya mencium aspal. Amarah menggelegak di atas kepala. Matanya merah antara emosi dan menahan tangis. Matanya menatap tas purun yang berisi semua bahan ospeknya tergeletak berhamburan.
"Ma... maaf," seru seorang gadis manis berambut kepang dua. Raut wajahnya tampak menyesal. Tangannya bergetar saat membetulkan kaca matanya yang retak sebelah. "Ma... maafkan aku. Aku tidak sengaja. Aku tadi terjatuh. Kamu tidak apa-apa?" tanyanya lirih. Wajahnya menunduk. Sepertinya dia amat merasa bersalah.
Emosi Rannan menguap melihat gadis yang berada di depannya itu menahan tangis. Kata-kata makian yang sudah dirangkai dalam kepalanya lenyap.
"Aku tidak apa-apa. Kamu sendiri bagaimana?"
Gadis itu menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja."
Rannan memandang gerbang yang telah terkunci. Tiba-tiba saja suasana menjadi hening. Matahari mulai meninggi. Wajah teman-teman seperjuangannya—yang belum dia kenal—tampak letih. Hancur sudah harapannya untuk tidak mendapat hukuman hari ini. Dengan perasaan berat, dia mencoba berdiri. Kakinya tertatih-tatih berjalan ke samping gerbang. Di atas aspal, dia menghenyakkan tubuhnya.
"Mila!" sebuah suara mengejutkannya. Ternyata gadis itu mengikutinya. Rannan menyambut uluran tangan gadis itu.
"Rannan," balasnya.
Hanya kata itu yang ia ucapkan. Sebaliknya, gadis itu—Mila—bercerita banyak hal padanya. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Mila hanya dijawab dengan anggukan maupun gelengan kepala.
Tiba-tiba dari dalam kampus terdengar sebuah lengkingan suara mikrofon. "Mari kita sambut, inilah mahasiswa-mahasiswa teladan kita. Pahlawan... kesiangan!"
Ranan dan beberapa orang lainnya tersenyum kecut. Dia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pintu gerbang terbuka. Deritnya memecah keheningan pagi. Sorakan ratusan mahasiswa laksana gemuruh ombak. Wajah-wajah sangar tiba-tiba muncul. Mereka membawa untaian kalung dengan jam dinding sebagai matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PORTAL ANOMALI
FantasyJika cinta menjadi tulang punggung kekuatan, Maka berilah aku cinta Agar dapat kulalui gelombang besar yang mengombang-ambingkan perasaan ini .. Rannan, seorang pemuda tanggung berambut ikal mengalami hal-hal aneh sejak kecil. Keanehan itu semakin...